Sabtu, 31 Oktober 2020

THINKING SMALL, MENGATASI KECEMASAN MENULIS

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

“Writing was a relationship I had with myself. When I was writing, nobody else mattered” – Jane Anne Staw (2018)

.

Sangat banyak penulis pemula yang menulis dengan penuh kecemasan. Baru menulis satu kalimat, sudah mulai merasa cemas. Baru menulis satu paragraf sudah mulai diserang kecemasan. Dampaknya, memilih tidak meneruskan menulis. Atau tetap meneruskan menulis, namun dengan diliputi kecemasan tiada henti.

Ada beberapa faktor yang memicu kecemasan menulis. Saya akan fokus pada lima kecemasan menulis (writing anxiety)berikut.

Pertama, kecemasan atas isi tulisan –takut salah

Kadang seseorang menulis sambil diliputi kecemasan, “Apakah isi tulisanku ini benar?” Ata, “Apakah aku menulis hal yang salah?” Kecemasan seperti ini membuat seseorang merasa tidak nyaman. Dirinya berada dalam situasi takut salah.

Kedua, kecemasan atas kualitas tulisan –takut jelek

Ketika secara isi sudah yakin benar, tak ada yang salah substansi, muncul kecemasan berikutnya. “Apakah tulisanku ini bagus?” Jangan-jangan kualitas tulisanku ini jelek, cuma ecek-ecek.

Ketiga, kecemasan karena perbandingan –takut kalah

Kecemasan lain yang sering muncul adalah takut kalah dalam sebuah ‘persaingan’. Ini tidak selalu terkait dengan lomba atau kejuaraan. Namun karena membandingkan tulisannya dengan hasil karya orang lain. “Jangan-jangan kalah sama tulisan si itu”.

Keempat, kecemasan atas penilaian –takut kritik

Kecemasan berikutnya adalah karena penilaian orang lain. Terlalu berharap pujian, justru melahirkan kecemasan dalam menulis. “Jangan-jangan tulisanku tak ada yang membaca. Jangan-jangan tulisanku dikritik orang. Bagaimana jika tidak ada yang memberi komentar?”

Kelima, kecemasan atas penerimaan –takut ditolak

Kecemasan jenis lainnya adalah saat menulis artikel untuk koran atau majalah. Muncul ketakutan bahwa naskahnya ditolak. Jika ingin menerbitkan buku, takut naskahnya tidak diterima oleh penerbit mayor.

Mengatasi Writing Anxiety dengan Thinking Small

Saya tertarik anjuran yang disampaikan oleh Jane Anne Staw. Sebagai penulis, ia juga pernah mengalami writing anxiety. Maka ia menyarankan teknik mengatasi kecemasan menulis dengan “thinking small”, atau berpikir kecil. Apa yang dimaksud denga metode ‘thinking small’? Berikut beberapa bentuknya.

  • Melihat dari bagian yang kecil

Saat Anne mengalami kecemasan, maka ia akan melihat bagian-bagian kecil dari tulisan. “I made a deal with myself”, ujar Anne. Ia mulai dengan membuat kesepakatan dengan diri sendiri untuk melihat bagian yang kecil.

Anne memaksa diri untuk menyelesaikan satu paragraf penuh, sebelum ia berhenti untuk membaca kembali tulisannya. Ketika ia merevisi, hanya boleh membaca paragraf itu sekali. Tidak boleh berkali-kali.

Ketika ia mulai bisa menulis lebih lancar, ia memaksa diri untuk menulis satu halaman penuh. Sebelum selesai menulis satu halaman penuh, ia tidak akan membiarkan dirinya membaca ulang apa yang telah ditulis. Ia juga hanya boleh membaca halaman itu sekali untuk melakukan revisi.

Lambat laun, Anne makin mampu menulis dengan lancar. Ia bisa duduk manis dan menulis dalam waktu lama tanpa merasa kecemasan lagi. Saat itu ia tidak perlu mengulang-ulang dari paragraf atau halaman. Ia bisa fokus menulis tanpa harus berhenti untuk membaca ulang bagian-bagian kecil tersebut.

  • Menetapkan kepingan waktu yang kecil

Anne menyarankan hal unik, agar Anda menyempitkan waktu untuk menulis. Jika suatu hari Anda merasa memiliki waktu yang luang, maka justru cenderung membuat santai dan tidak menulis. Namun jika Anda membatasi waktu yang kecil, sempit dan sedikit, maka Anda justru akan benar-benar mengoptimalkan kepingan waktu yang kecil tersebut.

Saat Anne merasa memiliki banyak waktu, ia justru akan melakukan banyak hal, dan memberi porsi sedikit untuk menulis. Ia membersihkan kulkas, menjawab email, menanggapi pesan chat. Sampai akhirnya sampai batas waktu limit yang kecil, mungkin 30 menit, untuk benar-benar menulis.

Menurut Anne, terlalu banyak waktu, justru menimbulkan banyak kecemasan. Maka ia tidak mau terjebak dalam banyak kecemasan. Ia sempitkan waktu, dengan menentukan  sekeping waktu kecil, yang membuat dirinya benar-benar menulis tanpa kecemasan.

  • Menulis untuk populasi yang kecil

Salah satu kecemasan menulis adalah membayangkan tentang publikasi yang luas. Mungkin naskah Anda akan ditolak koran atau penerbit. Jika sudah diterbitkan, akan ada banyak komentator, juga ada banyak kritikus. Ini membuat cemas saat menulis.

Ini cara Anne yang unik. “When I wrote, I shrank my writing universe to a population of one. Writing was a relationship I had with myself; when I was writing, nobody else mattered”, ujar Anne.

Ketika Anne menulis, ia ‘mengecilkan’ dunia tulisan menjadi ‘populasi satu’. Ia menganggap menulis adalah hubungan yang dibangun dengan diri sendiri. Saat ia menulis, tidak ada orang lain yang penting. Seakan ia tengah menulis untuk diri sendiri.

Jika tidak menulis untuk diri sendiri, pikirkan satu orang pembaca potensial saja. “To have at the most one ideal reader in mind when they write”, ujar Anne. Pikirkan satu pembaca ideal saja saat menulis. Tak usah membayangkan ribuan atau jutaan pembaca.

Once I had finished the piece, I could think about readers and publication”, lanjut Anne. Setelah menyelesaikan tulisan, ia baru berpikir tentang pembaca dan cara publikasi. Dengan demikian, saat menulis benar-benar ia menikmati proses bersama dirinya sendiri. Tak ada orang lain.

  • Ambisi yang kecil

Ambisi yang terlalu besar terhadap kualitas tulisan kita, adalah pemicu kecemasan. Saat menulis telah memiliki ambisi prestisius terhadap karya yang akan dihasilkan. “Many people I know are ambitious about their writing”, ujar Anne. Ternyata ambisi itu justru memicu kecemasan.

Menurut Anne, pada dasarnya ambisi tidaklah buruk, namun akan melahirkan gangguan dalam menulis. “Ambition is not bad in and of itself. But it definitely interferes with your writing”, ujar Anne. Maka hendaknya kita pandai menyederhanakan ambisi dalam menghasilkan karya tulis.

Mungkin saja tulisan kita tidak mendapat aplaus dari jutaan pembaca. Namun cukuplah kita berbahagia apabila ada satu atau dua orang pembaca yang mendapat kemanfaatan dari tulisan yang kita publikasikan. Ini contoh ambisi yang sederhana.

  • Fokus pada proses

Beberapa penulis cemas memikirkan penerbit dan model penjualan buku. Baru mulai menulis, sudah diliputi kecemasan penerbit mayor yang akan melirik, serta cara cepat menjual buku. Pemikiran seperti ini memicu kecemasan saat menulis.

Saran Anne, “To focus on the moment they are writing about—the current word, scene, or paragraph– and not the entire writing project”.  Hendaknya kita fokus pada proses menulis — pada kata, kisah, atau paragraf yang tengah dikerjakan. Bukan fokus pada keseluruhan proyek yang hendak ditulis.

To concentrate on the process, not the product. To stay with the writing and not the publication of their project”. Hendaknya Anda fokus pada proses menulis, bukan pada produk yang hendak Anda buat. Untuk tetap fokus menulis dan bukan memikirkan publikasi.

Dengan cara-cara kecil ini, kecemasan menulis akan lenyap. Itulah metode “thinking small”, agar menulis bisa lancar tanpa kecemasan.

Bahan Bacaan

takut ditolak.


Bagaimana mengatasi kecemasan menulis?


Mengatasi kecemasan menulis (writing anxiety) dengan berpikir kecil (thinking small) pendapat ini adalah cara yang dilakukan oleh Jane Anne Staw yang disarikan oleh Cahyadi Tariawan sebagai berikut:

1. Melihat dari bagian yang kecil.

2. Menetapkan kepingan waktu yang kecil.

3. Menulis untuk populasi yang kecil.

4. Ambisi yang kecil.

5. Fokus pada proses.


Terima kasih pak Cah


Minggu, 18 Oktober 2020

Being a Mother Has Made Me a Better Writer

 "" -- Barbara Kingsolver

Barbara Kingsolver, penulis buku The Lacuna, Unsheltered, Prodigal Summer dan belasan buku lainnya, memiliki pengalaman menulis yang unik. Sembilan bukunya terpilih sebagai best seller New York Times. Uniknya, ia menjadi penulis buku saat bayi pertamanya dibawa pulang ke rumah, setelah melahirkan di rumah  sakit.

Kisah ini diangkat oleh James Clear dalam blog pribadinya, "The Daily Routines of 12 Famous Writers". Sebuah kisah perjuangan novelis sukses, sekaligus mampu membina kehidupan berumah tangga. Kunci untuk menyeimbangkan keduanya, diceritakan oleh Barbara Kingsolver. Ini bisa menjadi inspirasi bagi kita semua, terutama kaum Hawa.

"Saya terbiasa bangun sangat pagi. Terlalu dini. Jam empat adalah standar. Saya berusaha untuk tidak kedahuluan oleh terbitnya matahari". Demikian penuturan Kingsolver tentang waktu menulis.

Sebagai ibu rumah tangga dan sekaligus penulis buku, setiap hari selalu menemukan ide menulis. Kehidupan di dalam keluargabersama suami dan dua anaknya, membuat Kingsolver mendapat banyak hal yang bisa ditulis. Semua yang dilihat, semua kejadian, bisa menjadi ide untuk dituliskan.

"Saya melakukan rutinitas itu, karena kepala saya terlalu penuh dengan kata-kata. Saya harus  mengeluarkannya. Saya hanya perlu ke meja kerja dan mulai memindahkan kata-kata ke dalam file", ujar Kingsolver.

Sangat banyak hal berdesakan di kepalanya, ingin segera dikeluarkan. "Saya selalu bangun dengan kalimat yang mengalir deras di kepala. Ketika menuju meja kerja setiap pagi, seakan keadaan darurat yang panjang", ujarnya. Begitulah ketika telah memiliki habit sebagai penulis. Tak ada yang perlu ditunggu.

Karena ia telah menjalani kebiasaan menulis setiap pagi, maka dirinya justru heran saat ada teman-teman yang bertanya --bagaimana Kingsolver bisa mendisplinkan diri untuk menulis? Baginya, itu adalah ritme kehidupan. Setiap pagi, selalu begitu. Seperti kebiasaan orang lain, ada yang tiap pagi joging, gowes, atau memasak. Itu sudah tidak perlu pendisplinan diri. Sudah habit yang dinikmati.

Maka ia menjadi geli atas pertanyaan ini. "Orang sering bertanya, bagaimana saya mendisiplinkan diri untuk menulis? Saya tidak dapat memahami pertanyaan ini. Bagi saya, disiplin adalah mematikan komputer dan meninggalkan meja kerja untuk melakukan hal lain", ujarnya.

Bagaimana Mengatur Waktu Menulis dan Mengurus Rumah Tangga?

HALAMAN :
  1. 1
  2.  
  3. 2
  4.  
  5. 3
  6.  

GURU DAN TANTANGANNYA DI ERA GLOBALISASI

 


Oleh : Ledwina Eti Wuryani, S.Pd

Guru SMA Negeri 2 Waingapu, Sumba Timur, NTT

 

 

Jika  kita  berbicara tentang  guru.  Ini adalah  topik yang tidak pernah  habis untuk dibahas. Dari  jaman  nenek moyang kita dulu hingga sekarang, tak akan hilang ditelan waktu,sampai kapan pun. Kita berbicara Sekurang-kurangnya  sepuluh tahun terakhir saja. Selalu menarik. Selalu kompleks dan selalu seru.  Walau guru-guru sudah banyak yang berlalu (pensiun). Muncullah guru-guru baru, dengan semangat baru,  sebagai guru penggerak  untuk Indonesia terus maju.

Ada ketidakpuasan masyarakat terhadap guru.  Tidak sedikit orang tua yang merasa kecewa pada guru. Mungkin karena ada yang anaknya tidak lulus ujian. Bisa juga karena nilai ujiannya jelek. Ada juga yang kecewa karena  anak kesayangannya tidak  diterima di perguruan tinggi yang diharapkan. Pemandangan semacam ini  akan terlihat setiap  akhir tahun.  Setelah  penerimaan bukti kelulusan dan kenaikan kelas.   Mereka kecewa, karena seolah-olah  guru tidak bisa mengajar. Guru kurang bisa melatih dan mendidik siswa.

Keberhasilan seorang peserta didik  sebenarnya tidak sepenuhnya karena guru. Tidak serta merta  keberhasilan  murid itu karena ketidakmampuan  guru dalam mengajar. Benar. Guru  tetap harus berinovasi, tapi tanpa  peserta didik  yang  pro aktif, ya sama saja bohong. Tak ada  seorangpun sukses  tanpa  sentuhan  guru. Jadi Apapun  kita saat ini, guru-guru kita  pasti ikut mewarnai dan  menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan peserta didik.

Gelaja  yang ‘kurang’ bagi guru  untuk saat ini.  Ketika ada guru yang tak mau belajar. Guru tidak mau menggerakkan  siswanya  untuk terus belajar dan membuka pikiran.  Guru Tidak berani  mengajak siswa  untuk kreatif dan tidak pandai  berkolaborasi dengan tuntutan kemajuan zaman seperti saat ini.

Apalagi  pada jaman  milenial seperti saat ini.  Guru  harus belajar untuk mengikuti  kemajuan teknologi yang semakin pesat. Selain  mempelajari iptek, kita juga harus membangun  pendidikan karakter. Membangun karakter agar kelak tidak hanya  unggul dalam sumber daya  manusia  tetapi   juga kuat dalam karakternya. “Mayoritas  mengatakan, intelektual yang membuat seseorang hebat, mereka salah.  Yang membuat hebat adalah karakter” (Albert Einstein).

Kita saat ini sudah memasuki era globalisasi.  Era ini dapat dipandang  sebagai era pengetahuan dan teknologi. Tugas guru mendidik , mengajar,  membimbing , mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi  setiap peserta didik.  Diharapkan guru untuk selalu meningkatkan kualitas agar memiliki  kompetensi yang sesuai dengan  perkembangan jaman.

 

 

 

 

Apalagi Program utama menteri pendidikan  yang akan ditingkatkan  demi menghadap  revolusi  industri 4.0 adalah sumber daya  manusia, salah satunya  guru.  Membangun  karakter sebuah keharusan. Guru  menjadi pintu  lahirnya  generasi muda. Guru Harus  berani beradaptasi  dengan teknologi. Guru  tidak lagi berjibaku berpegang teguh  dengan kapur dan berkotor-kotor  dalam sistem mengajarnya. Namun  guru  harus  menggunakan  teknologi  demi  menciptakan  sistem pembelajaran  yang up to date dan semakin menarik.

Ada beberapa perubahan  kecil yang bisa  guru  lakukan mulai dari sekarang. Yakni  mengajak  siswa untuk berdiskusi  dari pada mendengar. Memberikan  kesempatan kepada murid  untuk mengajar di kelas (pesentasi aktif). Mencetuskan  proyek  bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Menciptakan karya atau produk, ketrampilan, portopolio dan praktek. Menemukan bakat  dalam diri  peserta didik. Siswa  harus  mandiri. Siswa juga harus berinovasi.

Menurut Indra Djati Sidi,Ph.d. Dalam bukunya Menuju masyarakat belajar, guru mempunyai 2 permasalahan eksternal, Yaitu : Tantangan Krisis etika dan moral anak bangsa (manusiakan manusia) dan tantangan masyarakat. Guru diharapkan bisa  menjawab tantangan itu. Guru harus  memiliki kepribadian  yang kuat dan matang untuk dapat menanamkan  nilai-nilai moral dan etika. Guru mampu  memberi bekal kepada peserta didik, selain ilmu pengetahuan dan teknologi  juga menanamkan  sikap  disiplin, kreatif, inovatif dan kompetitif. Tentunya supaya masyarakat juga  bisa melihat bahwa peserta didik  mempunyai  bekal yang memadahi.  Mempunyai karakter dan kepribadian yang kuat sebagai Warga negara, sebagai anak bangsa, yaitu bangsa Indonesia

Adanya tuntutan peserta didik  yang harus terus  berinovasi dan berkreasai. Guru  harus lebih  menguasai teknologi. Menguasai Iptek.  Mengendalikan siswa  dengan kemajuan yang pesat seperti saat ini. Ketika  guru mempunyai  ikhtiar dalam budaya  literasi, membaca  berbagai buku, dia akan mampu  merespon  setiap perubahan. Guru mampu menjawab tantangan jaman. Yaitu lahirnya  inovasi-inovasi di dunia pendidikan. Tentunya berawal dari membaca, numerik, menganalisa  dan kemudian menciptakan. Perubahan  dimulai dari atas, semua  berawal dan berakhir dari  guru itu sendiri.

Jauh rasanya  ketika  kita berharap dalam meningkatkan  kualitas guru hanya menunggu adanya program seminar, pelatihan tanpa  dibarenagi  mencari  ilmu sendiri  yaitu membaca. Guru Ideal hari ini harus ‘tangguh’  dalam karakter unggul dalam skill  dan oke dalam teknologi. Ketika guru tidak cakap  dalam teknologi, yang mana setiap perannya digantikan teknologi. Kita harus  siap  menjadi pengguna teknologi,  bahkan kalau mungkin bisa ‘menciptakan’. Siap untuk membuat inovasi  dan kreasi dalam dunia pendidikan.

Menjadi guru  ikut perjuangan.  Berjuang untuk  selalu memenangkan  di setiap proses  pembelajaran. Berjuang  untuk mengentaskan setiap kesulitan pembelajaran. Berjuang untuk  selalu membangun iklim positif  ketika menghadapi kesulitan. Seorang guru akan merasakan puas jika  kita sudah bertanggungjawab akan keberhasilan peserta didik.  Bukan hanya  sekedar mengajar. Inilah  kemenangan dalam dunia pendidikan. Karena mendidik  itu kepuasan batin. Jika kita mendidik dengan penuh tanggung jawab, kita akan  merasakan suatu  kebahagiaan dan  kebanggaan tersendiri.

Pendidkan karakter,  bukan hanya teori tapi perlu dibarengi dengan aksi dan diekspresikan  dengan keteladanan. Karena  itu  peluang  membangun karakter dan sumber daya  manusia dalam  revolusi industri 4.0  harus mulai sejak  duduk di bangku SD. Tentunya dari guru  yang memiliki dedikasi  tinggi  dan jiwa yang tulus. Tentunya  guru yang  setia  menerima tantangan. Guru yang menjemput peluang.  Guru yang  bisa menjadi teladan, yang selalu  di hati dan dinanti oleh setiap peserta didik, wali  murid dan masyarakat.

Guru tak akan bisa tergantikan oleh kemajuan teknologi. Guru  harus menjadi penggerak untuk terus maju. Keberlangsungan  generasi dan masa depan anak bangsa  ditentukan oleh guru. Ayo, sebagai guru teruslah kita berinovasi. Apalagi  guru seperti saya, yang  sudah  tua, ya harus  tahu diri, tetap terus belajar  supaya tidak tinggal tetap   dilandasan. Ada pepatah mengatakan ‘Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya  belajar,   maka  kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan’ , Imam Syafi’i. Salam untuk para guru. Semangat!.

#LonglifeEducation.

#Betterlatethannever.

 #GoodLuck!.

 

Tak perlu menjadi #unicorn. Mari menjadi manusia biasa saja. Yang bersedia dan rela belajar, terus belajar dan terus berusaha untuk menjadi lebih baik setiap harinya.

Selamat Hari Guru Nasional, semoga semakin maju, berinovasi dan berkreasi.

Hari   Guru Nasional,  25 November 2020 

 

Kamis, 15 Oktober 2020

DOA ARWAH PERINGATAN 40 HARI

 


 

Bapa  dalam  Surga  , kami  berdoa  bagi …… yang  meninggal …  hari  yang lalu, berilah     istirahat  yang kekal, dan  semoga  cahaya  yang  kekal  menerangi  dia. Ya  Allah  yang  Maha  rahim ,  bersama  para  Kudus  yang berbahagia  di Surga, Engkau  menghimpun  kami di  dalam  persekutuan  abadi. Maka  berilah agar  kami  senantiasa  ingat akan  persatuan  yang membahagiakan,  dengan didorong  oleh  rasa  kesatuan  ini ,  semoga kami  bangga  menghormati  saudara-saudara  yang masih  di dalam  api  penyucian,  dengan  iklas hati  menolong  semua  orang  yang masih  hidup  di dunia  ini. Bapa trimalah  ……   di Sisi kananMu di Sorga,  ampuni salah  dan  Doasanya yang  mungkin  telah  diperbuat  di Dunia  ini ,  Ya  bapa  kami mohon  belas kasihMu bagi  Saudara2 kami  yang  masih  di Api  penyucian . Ringankanlan penderitaan mereka dan perkenankanlah  mereka segera menikmati istirahat kekal di alam  kedamaian abadi.  Perkenankanlah agar mereka beralih  dari alam derita ke alam  bahagia, dari alam kematian ke alam kehidupan, yang telah  Engkau janjikan  kepada Abraham dan segala keturunannya. Ya Yesus Kristus, juru  selamat  yang Maha  Pengasih, raja  kemuliaan   dan terang  abadi , kami  mohon  rahmatMu bagi Jiwa Saudara kami …..yang  Sudah  meninggal  . Bebaskanlah  dari  hukuman  dosa dan  perkenankanlah mereka  menikmati kebebasan anak-anak Allah di dalam tanah  air Sorgawi.

            Ya Tuhan , Engkau  telah   menebus  mereka  dengan  darah-Mu. Maka  Janganlah  mereka kau tolak. Utuslah malaikat2 menghantar mereka  ke PangkuanMu, Berilah mereka  Istirahat dalam ketenteraman.

  Inilah Tuhan Doa  dan  harapan kami Demi Kristus  Tuhan  dan Pengantara  kami. Amin.

Kenangan Pertama Coba Usaha

 


 

Mengingat tanggung jawab berat,

Ana-anak ‘titipan’  tinggal di  rumah

Mereka semua sekolah, SMP.SMA.SMK bahkan ada juga yang  kuliah...

Anak-anak dari keluarga,

Mereka  numpang ,

Diterima  berattt!! Ya, berat sekali sebenarnya.....

Tak di terima  ‘betapa....’  orang bilang apa....

Mereka  menganggap kami 2 orang kerja, pasti gajinya  besar

 

Mereka tak pernah mengerti...

Iya mereka pasti kurang mengerti

Kalau kita juga  punya kebutuhan,  punya  kerinduan,

Ingin ketenangan, kedamaian, menikmati yang ada.......

 

Rumah kami   biasa tapi ada teman yang menganggap rumah saya  seperti asrama

rasa hati ini kadang, antara, sedih, menangis, terharu, bangga campur tertawa...

yaaa,,,,seperti nano-nano...

 

Setiap hari saya berdoa,

Tuhan....cukupkan  makanan  untuk hari ini

bersama-sama  anak-anak yang tinggal bersama kami

 

Mungkin orang lain pun tak pernah percaya,

Pergumulan hati,  perasaan yang saya alami...

 

Tuhan Maha tahu,...Tuhan  paling tahu...

Berkat Tuhan selalu ada

Iya, berkat  selalu ada terus menerus tak pernah putus

Karena ternyata kami  tak pernah kekurangan..

Kami selalu  dicukupkan....

 

Ternyata mereka yang membawa berkat

Kusayangai mereka semua

 

Tuhan, berilah selalu  kelonggaran hati

Lapangakan dadaku ini

Jauhkan dari kesesakan

Agar semua berjalan lancar tanpa kendala

Bersama anak-anakku yang di luar kandungan

Semoga mereka  tetap belajar, berhasil menuju cita-citanya.........

 

Trimakasih semua...

Semuanya yang  mungkin secara tak sengaja..

Ternyata ikut andil  menyumbang anak-anak kami

Dengan cara memberi produk rumahan dari kami

Terkhusus Bp/Ibu Sambudi.....yang  sampai pesan 190  paket,...Wow, Sejarah dalam hidup!

Hasil karya tangan mereka yang kurang trampil, ternyata membawa hasil.

....sekali lagi Trima kasih  sudah  berpartisipasi memberi “sedekah anak Soleh”

 

Salam.

 

Selamat siang,

Hari Minggu

Waingapu, 19 Juli 2020

Lagu guru 2

 


 

Pagiku  cerah ku, Matahari bersinar

Kugendong tas merahku, Di pundak

 

Slamat pagi semua, kunantikan dirimu

Didepan kelasku menantikan kami

 

Guruku tersayang  ,Guru tercinta

Tanpamu apa jadinya aku

Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal

Guruku, terima kasihku

 

Nakalnya diriku, kadang buatmu marah

Namun segala maaf kau berikan

 

 

 

TULISAN FIKSI DAN KEBOHONGAN

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Dalam Kuliah Umum yang digelar Ahad 11 Oktober 2020 kemaren, Mbak Afifah Afra sempat menyinggung soal kebohongan. Kuliah Umum dengan tema “Bagus Mana, Fiksi atau Nonfiksi” tersebut digelar melalui media Zoom Meeting dan live streaming Youtube Cahyadi Takariawan Official.

Mbak Afifah, penulis novel Balada Cinta Isvara dan 59 buku lainnya, menceritakan bahwa dirinya telah terbiasa menulis fiksi sejak SD. Namun saat beliau dewasa, sempat berhenti menulis sekitar tiga tahun, karena mendapatkan ‘fatwa’ bahwa fiksi adalah kebohongan dan oleh karena itu hukumnya haram.

Sebagai muslimah, tentu dirinya sangat takut jika melakukan perbuatan yang tergolong haram. Untuk itulah dia memutuskan untuk berhenti menulis fiksi, karena meyakini bahwa fiksi adalah kebohongan. Namun akhirnya mbak Afifah memulai menulis fiksi kembali setelah mendapat jawaban yang menenangkan dari temannya.

Apakah Tidak Nyata Itu Bohong?

Sebagaimana diketahui, fiksi adalah jenis tulisan yang berdasarkan imajinasi. Bersifat tidak nyata atau tidak benar-benar terjadi. Menceritakan kejadian, setting tempat, setting waktu, setting karakter, serta dialog yang imajiner. Tidak nyata, tidak benar-benar terjadi.

Nah, pertanyaan yang perlu dijawab pertama kali adalah, apakah “tidak nyata” itu sama dengan bohong? Apakah imajinasi adalah kebohongan? Berikutnya, apakah semua jenis kebohongan itu sama?

Jika kita cermati, perdebatan seperti ini, sudah terjadi sejak zaman dulu. Di Indonesia, kisaran tahun 2000 – 2008, telah terjadi diskusi seru di kalangan para sastrawan sendiri. Artinya, bukan hal baru, bukan perdebatan yang baru ada di zaman sekarang.

Mari saya hantarkan Anda untuk mengingat kembali perhelatan debat di kalangan sastrawan. Sangat banyak pendapat, namun saya cuplikkan debat seru antara dua sastrawan besar Indonesia. Antara Hamsad rangkuti dengan F. Rahardi.

Hamsad Rangkuti dengan yakin menyatakan, sastra adalah kebohongan. Sementara F. Rahardi dengan yakin menyatakan fiksi bukanlah kebohongan. Simak cuplikan berikut ini, yang akan saya akhiri dengan ulasan ustadz Mokhamad Rohma Rozikin.

Hamsad Rangkuti[i] : Sastra Adalah Kebohongan[ii]

Saya sampai sekarang tetap beranggapan bahwa ”sastra = kebohongan”, dan semua orang saya kira paham maksudnya. Betulkah saya harus menjelaskan kepada Rahardi bahwa kata kebohongan di sana adalah kiasan, perumpamaan, dan sebagainya. Sebagai bukan orang sekolahan yang tak paham teori-teori, saya menyebutkan bahwa sastra = kebohongan.

Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan, sastra adalah fiksi alias kebohongan. Tentu saja kalau saya katakan kebohongan, maka tidak ada kaitannya dengan kebohongan para petinggi atau politisi yang gemar korupsi serta menebar janji palsu.

Apakah Sukri benar-benar membawa pisau belati seperti yang digambarkan dalam cerpen saya ”Sukri Membawa Pisau Belati” sama sekali tidak penting. Apakah Garin tua dalam ”Robohnya Surau Kami” AA Navis benar-benar ada dan benar-benar membunuh dirinya gara-gara kata-kata Ajo Sidi, sama sekali tidak penting.

Sastra bagi saya adalah sebuah kebohongan kreatif, kebohongan yang indah untuk mengajak pembaca melihat kenyataan dengan lebih baik lagi. Putu Wijaya pernah mengatakan bahwa karya-karyanya adalah sebuah Teror dan F. Rahardi menulis Pidato Akhir Tahun Seorang Germo. Bagi saya kedua ungkapan itu bukan fakta.

Sebagai seorang sastrawan, saya mengaku dengan jujur bahwa ”sastra = kebohongan” dan saya tidak perlu tersipu atau pura-pura alim untuk membuat macam-macam argumentasi moral yang baik-baik untuk menutupinya atau sekadar ”meluruskannya”.

F. Rahardi[iii] : Sastrawan Bukan Pembohong[iv]

Sastrawan bukan seorang pembohong. Sastrawan yang baik justru selalu menyuarakan kebenaran. Ini bukan pendapat saya pribadi tetapi ada di Webster, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Encyclopedia Americana, Encyclopedia of Writing, Ensiklopedi Indonesia, dan lain-lain.

Padanan kata imajinasi adalah khayalan, rekaan, angan-angan. Lawan kata imajinasi adalah kenyataan, fakta, realitas, sesuatu yang benar-benar ada dan terjadi. Dua hal tadi tidak ada sangkut pautnya dengan kebohongan. Bohong, padanan katanya adalah dusta, tipu dan ngibul. Lawan kata bohong adalah benar, jujur, tulus.

Jadi sastrawan jelas sangat berlainan dengan pembohong. Imajinasi seorang sastrawan bisa berupa harapan tentang sesuatu yang seharusnya terjadi tetapi sampai saat tersebut belum menjadi kenyataan.

Misalnya, bagaimana hukum diterapkan dengan baik. Bagaimana keadilan ditegakkan seperti zamannya Nabi Sulaiman. Bagaimana agar rakyat bisa hidup makmur dan damai dan sebagainya.

Ustadz Mokhamad Rohma Rozikin[v] : Fiksi Bukan Kedustaan yang Dilarang[vi]

Definisi dusta/bohong adalah “memberi informasi yang tidak sesuai dengan realita”. Hanya saja dalam dusta disyaratkan harus ada unsur “iham” (الإيهام) yakni “menciptakan persepsi keliru”. Selama sebuah pernyataan tidak ada unsur “iham” maka tidak bisa disebut dusta. Dengan demikian “isti’aroh” (bahasa metaforis) tidak bisa digolongkan dalam dusta.

Misalnya ada orang yang mengatakan, “Umar adalah singa.” Dalam bahasa Arab, ungkapan ini bukan untuk memberitahu bahwa seorang laki-laki yang bernama Umar itu adalah seekor hewan buas bercakar tajam dan bertaring runcing yang bernama singa. Tetapi untuk memberitahukan bahwa Umar ini memiliki keberanian yang membuat ditakuti oleh lawan sebagaimana singa. Nah, bahasa semacam ini adalah bahasa metaforis yang disebut dengan istilah “isti’aroh”.

Kalimat seperti itu tidak digolongkan dusta karena tidak ada unsur “iham”. Orang tetap tahu bahwa Umar adalah manusia dan bukan singa. Tidak ada manusia sehat akalnya yang membayangkan bahwa Umar adalah hewan singa.

Kriteria “iham” inilah yang paling menentukan untuk membedakan mana yang digolongkan dusta dan mana yang tidak. Cerita fiksi seperti cerpen, roman, novel dan semisalnya tergolong karya sastra. Semua orang tahu tulisan dalam cerita fiksi itu tidak dimaksudkan menyajikan data dan kejadian untuk menipu masyarakat.

Semua orang yang membaca fiksi juga tahu jika semua kejadian dan kisah yang ada di dalamnya hanyalah khayalan dan tidak dimaksudkan untuk dipercayai keberadaannya. Jadi dari sisi ini sebenarnya cukup jelas bahwa menulis cerita fiksi tidak tercakup dalam definisi dusta karena tidak mengandung unsur “iham”.

Lagi pula, semua cerita fiksi itu pada awal kalimat pertama ada perkiraan lafaz “takhoyyal” (khayalkan, wahai para pembaca). Dalam ilmu “balaghoh”, kata perintah termasuk termasuk insya’, bukan khobar. Redaksi “insya’” tidak pernah mengandung kedustaan. Hanya redaksi “khobar” saja yang memungkinkan dihukumi dusta atau jujur. Dari sisi ini pula, menulis cerita fiksi tidak tergolong dalam kedustaan.

Semua argumentasi ini menunjukkan bahwa menulis cerita fiksi itu tidak termasuk kedustaan karena tidak termasuk definisi dusta, tergolong sighat insya’, dicontohkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kisah-kisah perumpamaan, ada taqrir Nabi Saw pada syair Ka’ab bin Zuhair,dan juga senafas dengan izin Nabi mendengarkan kisah Bani Israil yang mengandung banyak cerita ajaib.

Atas dasar ini, boleh hukumnya menjadi penulis cerita fiktif seperti cerpen, cerbung, novel, kisah detektif dan lain-lain tanpa membedakan apakah ditujukan untuk anak-anak ataukah orang dewasa, juga tidak membedakan apakah tujuan pendidikan, kritik sosial, penyadaran sebuah ketimpangan/penyimpangan/keganjilan, atau sekedar hiburan.

Hukum menulisnya mubah dan menjadikannya sebagai profesi juga mubah dengan syarat isi ceritanya tidak bertentangan dengan Islam. Malah bagus jika isinya mendidik akhlak, menguatkan iman, menginspirasi kebaikan dan semisalnya. Wallahu a’lam.

Catatan Kaki


[i] Hamsad Rangkuti adalah cerpenis, sastrawan, peraih Khatulistiwa Award, Penghargaan Khusus Kompas 2001, Mantan Pemred Horison

[ii] Hamsad Rangkuti, Akrobat Kata-kata, Kebohongan, dan F. Rahardi, Kompas, 24 Agustus 2008

[iii] F. Rahardi adalah penyair, sastrawan, wartawan, penulis esai, peraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2009

[iv] F. Rahardi, Antara Fiksi dan Kebohongan, Kompas, 19 Maret 2000

[v] Ustadz Mokhamad Rohma Rozikin adalah Pengasuh Pondok Pesantren Irtaqi, Malang

[vi] Artikel asli, tulisan ustadz Mokhammad Rohma Rozikin, berjudul Hukum Menjadi Penulis Cerita Fiksi, dimuat dalam web Irtaqi, www.irtaqi.net/2018/02/02/hukum-menjadi-penulis-cerita-fiksi, pada 2 Februari 2018

HAIKU DELAPAN KUCING

 


Oleh : Cahyadi Takariawan

Malam mengeram

Kucing melepas tali

Berjuntai juntai

.

Melirik rindu

Bulu bulumu terbang

Di kegelapan

.

Sepi bertanya

Ada siapa saja

Masih tersisa

.

Delapan kucing

Bercakap cakap mesra

Tertawa tawa

.

.

Yogyakarta, 24 Juli 2020

  6 kali dilihat

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...