Oleh : Sri
Rohmatiah
Leon
Edel menuliskan Writing Lives, bahwa beberapa pengarang menulis tentang
seseorang karena Ia kagum dan “jatuh cinta” kepada subyeknya, benarkah?
***
enuliskan seseorang seperti kata Leon Edel ada unsur-unsur
kecintaan kepada subyeknya, sedangkan menulis my story, apa bisa dikatakan kagum atau mencintai diri sendiri?
Sulit bagiku menjawab hal itu.
Mungkin saja kisahku ini biasa saja. Bukan hal heboh atau
fantastis. Namun aku selalu yakin bahwa setiap kisah perjalanan kehidupan
manusia, ada hikmah yang bisa diambil dan dipelajari. Sebesar gunung atau
sebesar biji dzarrah, semua tergantung dari cara memberi makna atas peristiwa
tersebut.
Masa Kecil hingga Dewasa
buku perempuan hebat. Ayahku lelaki bijaksana. Bersyukur
aku menjadi anak mereka.
Namaku Sri Rohmatiah, anak kedua dari lima bersaudara.
Nama yang tentu saja di telinga Anda, sangat sederhana. Namun, nama itu
mengandung harapan yang tidak sederhana.
Mimi, begitu aku memanggil Ibuku, selalu menuturkan adanya
harapan-harapan besar di balik nama sederhana itu. Sri itu menunjukkan
identitas perempuan. Tidak semata-mata menjadi perempuan, namun diharapkan aku
hidup dengan penuh rahmat dan kasih sayang Allah. Sejak kecil, hingga dewasa,
dan kelak ketika sudah menghadapNya.
Hidup penuh dengan rahmat, adalah sebaik-baik
kehidupan. Masa kecil bisa bersenang-senang, masa remaja penuh ceria, saat
dewasa penuh makna, dan mati masuk surga. Itu harapan di balik kesederhanaan
namaku.
Ayahku pekerja keras. Ia guru di sebuah
Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan gaji yang sangat minim, ayah berjuang untuk
membesarkan lima putra-putrinya. Bersyukur aku memiliki Mimi yang hebat, selalu
setia mendampingi ayah dalam kerasnya benturan kehidupan.
Meski penuh keterbatasan, namun kehidupanku
di masa kecil, serasa sangat menyenangkan. Aku bisa leluasa bermain, berlarian
di pematang sawah yang membentang, dan berjalan-jalan di area perkebunan desa.
Itu semua membangun keceriaan kami anak-anak desa yang jauh dari keramaian
kota.
Sejak SD, aku mulai suka membaca buku.
Teringat saat kelas lima hingga enam Sekolah Dasar. Setiap hari Minggu bersama Neng Ade, teman
karibku, selalu berjalan kaki enam
kilometer hanya untuk berburu buku ke perpustakaan.
Kami meminjam buku selama satu pekan dan
pekan berikutnya mengembalikan sambil meminjam lagi yang baru. Sejak itulah aku
selalu berimajinasi “seandainya aku
penulis buku.”
Hidup di kota kecil, sangat banyak
keterbatasan. Aku kesulitan untuk membeli buku, tak ada anggaran untuk itu.
Satu-satunya cara adalah pergi ke perpustakaan terdekat, meminjam setumpuk buku
dengan harga terjangkau.
Majalah yang aku sukai pada masa itu adalah
Bobo dan Si Kuncung. Selain itu ada buku yang sangat berkesan, seperti
Petualangan Lima Sekawan karya Enid Blyton, dan Trio Detektif yang menjadi teman waktu libur sekolah.
Melihat kesukaanku terhadap buku dan sering
coret-coret di kertas membuat puisi,
Ayahku tekun mengajariku membuat puisi dan cerita anak. Bukan hanya
mengajari cara menulis, namun ayah juga membantuku mengetik naskah menggunakan
mesin ketik kantor. Saat itu aku sekolah di SMP, dan mulai mengirim naskah
berupa puisi dan cerita anak ke koran. Mendapat honor Rp. 25.000 setiap kali
naskah dimuat, sudah menjadi kebanggan bagiku.
Ayah belum memiliki mesin ketik sendiri, sehingga
untuk membantuku mengetik naskah, harus meminjam dari kantor atau tetangga. Aku
merasa kasihan harus merepotkan ayah, belum lagi harus mendengar suara ribut
mesin ketik manual saat tengah malam. Diam-diam semua puisi dan cerita aku
tulis dalam buku, dan mengatakan kepada ayah kalau aku tidak ingin menulis lagi
karena sibuk sekolah.
Kecintaanku kepada buku terus berlanjut hingga SMA.
Perpustakaan sekolahku menjadi arena melepas kehausanku akan membaca. Buku
“Pada Sebuah Kapal” karya NH. Dini, “Aku” karya Chairil Anwar, “Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka, aku lahap semua. Termasuk kumpulan puisi
W.S Rendra si Burung Merak, puisi “Ibu” karyanya sangat menusuk perasaanku.
Pada banyak anak remaja, masa SMA disebut masa yang
sangat indah. Mereka menikmati dengan versi masing-masing. Masa remajaku
menjadi sangat indah bersama buku-buku. Ya benar, buku pelajaran ataupun
buku-buku fiksi. Duniaku benar-benar dunia buku.
Rajin membaca karena aku memiliki mimpi, mimpi
terbesarku adalah kuliah di IKIP Jurusan MIPA, itu sebabnya ketika SMA masuk ke
jurusan Fisika atau dulu disebut A.1. Namun karena terbentur biaya dan support
orang tua yang tidak ada, angan-angan untuk kuliah kandas. Saat itu aku merasa
terpuruk dan beranggapan percuma aku sering membaca dan belajar, pada akhirnya
tidak dapat melanjutkan pendidikan. Semua buku aku tinggalkan dan memilih
bekerja di salah satu SMK Negeri Bandung dengan hanya
bermodalkan Ijazah SMA yang bagus dan keahlian mengoperasikan komputer.
Tahun 1998 aku kembali ke kota kelahiran dan bekerja sebagai Pegawai Tidak Tetap
(PTT) di SMAN tempat dulu
menamatkan Sekolah Menengah Atas.
Pada waktu itu sekolah hanya memiliki dua unit komputer, satu untuk Tata Usaha dan satu
lagi digunakan untuk keperluan kesiswaan. Namun, tahun
berikutnya baru ada program pengadaan komputer bagi kelas
dua dan tiga, di situlah aku mulai terlibat mentransfer ilmu komputer kepada
siswa SMA kelas dua.
Selain bekerja di SMAN aku juga aktif di PGSI
(Persatuan Gulat Seluruh Indonesia) sebagai bendahara untuk wilayah kabupaten,
kebetulan para atlet akan menghadapi PON 2004 di Cirebon.
Di tengah-tengah kesibukanku bekerja, Ayah mendorongku
untuk menulis kembali. Alasannya karena aku sudah bisa menulis sendiri di
komputer. Aku menolaknya karena merasa tidak memiliki ilmu tentang teknik
kepenulisan yang bagus.
Pada saat yang sama, entah ide
dari mana, Ayahku meminta aku meramaikan remaja masjid dan membuat bulletin
atau koran kecil untuk dibagikan ke desa-desa atas perintah dari pak camat.
Mendengar nama pak camat dan ketua Muhammadiyah, aku
tidak dapat menolak. Akhirnya dengan dibantu ketua remaja masjid di kecamatan, aku mengumpulkan remaja masjid yang memiliki potensi
menulis di berbagai bidang.
Posisi sebagai sekertaris, semua naskah dari remaja
masjid yang ditunjuk masuk ke tanganku. Kembali aku membaca buku untuk mengisi
rublik yang aku pegang. Walaupun hanya bentuk koran kecil dan penanggung jawab
kecamatan. Aku merasa senang, karyaku dan remaja lainnya bermanfaat bagi orang
lain, khususnya remaja masjid yang berada di desa-desa.
Pembuatan koran kecil ini sifatnya sukarela, dana dari
kecamatan hanya cukup untuk biaya produksi, sama seperti gajiku di kantor
sebagai tenaga honorer yang kecil. Namun, Mimi selalu berkata “Jangan pernah melihat jumlahnya, yang
penting cukup dan berkah.” Apa yang dikatakan Mimi memang benar, gajiku ternyata cukup untuk membantu
membiayai kuliah adik perempuan, saat itu dia kuliah di UPI.
Kegemaranku membaca dan menulis aku tularkan kepada
adikku. Di tengah kesibukannya kuliah, adikku memenangkan lomba karya tulis
ilmiah tingkat Nasional dan mendapatkan beasiswa setiap semesternya hingga lulus.
Pernikahan
ekerja
di sebuah sekolah mendekatkanku
kepada dunia buku yakni perpustakaan. Sehingga aku bisa melupakan
tentang usia yang semakin bertambah, namun belum juga
mendapatkan jodoh. Orang tua mulai
gelisah, khawatir anak gadisnya menjadi perawan tua.
Sepertinya, suatu hal yang wajar jika perempuan atau
laki-laki belum menikah, teman dekat, saudara akan mencarikan pasangan yang
tepat. Sama seperti halnya denganku. Berawal dari kedekatanku dengan teman satu
kantor di SMA, semua orang memanggilnya Bu Ika, namun sayang kedekatan kami hanya
sebentar karena dia ikut suaminya pindah ke Madiun. Namun, komunikasi kami berlanjut
lewat telepon.
Melalui Bu Ika itulah perkenalan dengan seorang
laki-laki asal Madiun yang notabene kakak iparnya terjadi lewat telepon. Selang beberapa hari sebuah foto
dikirimkannya kepadaku. Ketika melihat foto itu, aku sempat kaget,
ternyata laki-laki yang dikenalkan itu
seorang difabel.
Sebelum kedua orang tua mengetahui kisah ini, pertama
kali aku menceritakan kepada Kepala Tata Usaha, Bu Euis. Beliau tahu aku sering
menerima telepon dan mendapat surat tersebut. Sebagai seorang ibu
di kantor tentu dia sangat bijaksana menanggapi dilema yang kuhadapi. Surat
izin diberikannya supaya aku bisa pergi ke Madiun menemui Bu Ika.
Mendapat izin dari Ayahku untuk pergi ke Madiun sangat
sulit. Namun, aku juga tidak bisa menceritakan yang sebenarnya, hanya Mimi yang
tahu akan hal itu. Mimi berhasil membujuk Ayahku untuk mengizinkan pergi ke
Madiun. Ini adalah perjalanan panjang pertama dan paling
menakutkan seumur hidup. Setibanya di statsiun Madiun, yang paling pertama saya
cari adalah telepon umum. Bukan untuk mengabari Bu Ika kalau aku telah tiba
tetapi memberi kabar ke kantor khususnya Bu Euis yang telah memberi dorongan
untuk memastikan semuanya.
Satu hari berada di Madiun, semua yang tergambar di
foto ternyata benar adanya. Apa yang bisa aku ceritakan kepada kedua orang tuaku, ternyata yang hendak melamar itu seorang difabel.
Sepanjang perjalanan pulang, berbagai pertanyaan aku ajukan pada diri sendiri,
namun hingga tiba di rumah tidak mendapat jawaban apapun.
Di kantor, Bu Euis sudah tidak sabar menunggu berita
hasil perjalananku. Dengan penuh ambisi ditariknya tanganku ke ruang komputer tempat aku bekerja.
Ada air mata yang keluar dari mata seorang ibu saat kuceritakan
apa yang terlihat semuanya, Bu Euis memeluk seranya berkata “Aku beri
izin Neng Sri untuk tidak masuk kerja selama satu minggu.” Saat itu sekolah
sedang penerimaan siswa baru, aku tidak pernah libur selama itu. Namun, izin libur aku
ambil dan dipergunakan sebaik mungkin
untuk konsultasi dengan sang Maha Penggerak Hati. Ada proses pertanyaan yang aku
ajukan kepada Tuhan melalui salat istikharah selama tujuh malam dan puasa
selama tujuh hari. Tidak lupa Mimi menemani proses ibadahku. Jawaban terbaik
datang di malam ke-7 dengan isyarat keyakinan ini yang “Terbaik.”
Sebagian orang di kantor bahkan Ayahku sendiri awalnya
mengatakan, ini sebuah keputusan yang tidak masuk akal memilih calon suami
seorang laki-laki difabel. Kemarahan sempat
tergambar dari wajah Ayah yang keriput tanda lelah mengurus putra putrinya yang
sudah remaja. Aku paham maksud kemarahannya, intinya tetap
ada kekhawatiran
anak gadisnya akan salah memilih. Bila diterjemahkan, menikah dengan siapa saja
boleh, namun, harus ada petimbangan.
Kita boleh saja memiliki tiga atau sepuluh sekalipun
pertimbangan dalam menentukan pasangan, namun adakah yang sempurna? Itu yang aku katakan ketika Ayahku mengumpulkan seluruh orang tua dari pihak Ayah dan Mimi untuk dimintai pendapat. Malam itu terasa
diadili tidak ada yang berpihak kecuali Mimi dan adik perempuan.
“Bagaimana dengan keturunanmu kelak? Siapkah jika
mendapatkan keturunan yang difabel juga?” tanya Mbah Dali, orag tua dari Ayah.
“Bagaimana jika anak-anakmu merasa malu mengetahui
ayahnya difabel?”
Berbagai pertanyaan dilontarkan seolah-olah aku
terdakwa.
Mengapa harus mengkhawatirkan yang belum terjadi, ketika memutuskan dan
merasa yakin, Allah akan memudahkan semua urusan. Kita lupa kepada siapa anak
gadis harus dinikahkan? Nikahkan dengan laki-laki yang bertaqwa dan aku melihat
semua itu pada dirinya.
Ketika aku mengajukan satu pertimbangan lain yakni
menikah karena Allah hanya untuk beribadah. Ayahku yang pada dasarnya seorang
ustadz dan aktif di Muhammadiyah, menangis. Aku tidak dapat menerka apa yang
ada dipikiran Ayahku saat itu, senangkah? Sedihkah?
Keyakinan untuk menikah terjadi, tidak perlu waktu
lama, sepuluh hari kemudian ijab qabul dilaksanakan secara agama. Ayah
mengucapkan ijab atas nama Sri Rohmatiah dan Agus Yusuf mengucapkan qabul
(penerimaan) untuk mengikat jalinan perasaan sebagai suami istri. Satu bulan
kemudian, pencatatan di KUA dilaksanakan dengan
saksi Kepala KUA kebetulan dia adalah keponakan Ayahku. Ketua Muhammadiyah beserta pengurus lainnya, keluarga dan keluarga besar tempat aku bekerja menjadi saksi pernikahanku.
***
Setelah Menikah
etika memutuskan
menikah di situlah harus ada jiwa yang ikhlas karena kita memiliki kewajiban
untuk mengurus keluarga. Aku rasa semua
sama, mungkin yang terlihat berbeda adalah bagaimana bisa membina rumah tangga
dengan seorang suami difabel. Mungkin sepintas
tidak berdaya secara fisik. Namun jika kita melihat lebih dekat, tidak ada
bedanya dengan kita, memiliki pekerjaan, bisa melakukan apa saja yang dilakukan
orang pada umumnya, hanya caranya saja yang berbeda.
Ada bisikan dari seseorang kalau aku materialistis, terus apa
bedanya jika teman atau aku menikah dengan seorang laki-laki pekerja memiliki
gaji namun tidak cacat? Bisakah dikatakan materialistis? Tentu jawabannnya tidak. Dikatakan materialistis karena suami difabel, namun memiliki penghasilan
layaknya pegawai negeri sipil. Materialistis boleh saja, namun jangan perhitungan karena
menikah bukan jual beli yang harus ada untung rugi.
Dengan penghasilan dari melukis, suami bisa memenuhi
kebutuhan keluaga dengan baik. Selang satu tahun aku dikaruniai seorang putri
dengan nama Najwan Sabila Yusuf dan dua tahun kemudian lahir pula putra kami
dengan diberi nama Farhan Miftahul Yusuf. Alhamdulillah keduanya dalam keadaan sehat dan normal. Apa yang dikhawatirkan keluarga dahulu, tidak
terbukti.
Bagaimana dengan kekhawatiran kedua yakni merasa malukah anak-anakku
memiliki seorang ayah difabel? Tentu tidak karena aku sudah mendidiknya sejak
dalam kandungan. Memeriksakan kandungan ke dokter bersama suami, itu adalah cara mendekatkan bayi yang ada dalam
kandungan mengenal ayahnya.
Ketika anak-anakku menginjak TK, kami berdua
mengantarnya. Awal bertemu, teman-teman anakku terlihat kaget, wajar anak kecil
jika melihat sesuatu yang berbeda akan kaget dan mendekat, jika ada keberanian akan bertanya “Om kenapa tangannya?” yang malu orang
tua anak itu. Anak-anak kami santai saja bahkan terlihat bangga memiliki orang
tua difabel. Sering anak-anaku mengajak teman-temannya ke rumah.
Untuk menambah percaya diri
anak-anakku memiliki ayah difabel, kami sering mengajak mereka ke tempat umum.
Kami pun berbaur dengan lingkungan seperti keluarga lain.
Semua yang terjadi dan aku
alami selama ini adalah bukan pilihan, itu jawaban-jawaban dari setiap doa yang
dipanjatkan. aku hanya memiliki cinta semata-mata karena Allah SWT.
Jalaludin Rumi berkata;
“Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang
tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi
pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa
perubahan-perubahan bagi siang dan malam.”
***