Jumat, 28 Agustus 2020

MENGGAPAI KEBAHAGIAAN AUTENTIK DENGAN MENULIS

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Martin Seligman dalam buku Authentic Happiness menyatakan bahwa kebahagiaan autentik berasal dari hasil penilaian diri atau hasil mengidentifikasi dan menumbuhkan kekuatan fundamental dalam diri. Artinya, kebahagiaan adalah hal yang bisa dipelajari, diajarkan, juga ditumbuhkan.

Selanjutnya, Seligman menemukan bahwa kebahagiaan terkait dengan enam nilai (virtue). Virtue menjelaskan tentang nilai-nilai kebaikan utama yang unik dan merupakan tujuan dari segala sesuatu.

Misalnya, virtue dari gula adalah memberi rasa manis. Jika tidak dapat memberi rasa manis, maka gula tidak memiliki makna. Virtue dari garam adalah memberi rasa asin. Jika tidak bisa memberi rasa asin, maka garam telah kehilangan makna.

Dalam tulisan kali ini, saya membawa enam nilai (virtue) ini khusus dalam konteks menulis. Bahwa kita bisa menggapai kebahagiaan autentik melalui tulisan, apabila menjaga enam virtue dalam diri kita. Enam nilai itu adalah sebagai berikut:

Pertama, Nilai Kebijaksanaan dan Pengetahuan (Virtue of Wisdom and Knowledge)

Penulis harus terus mengasah kebijaksanaan dan pengetahuan. Jangan lelah untuk terus menerus belajar, menambah ilmu pengetahuan dan wawasan. Jangan lelah untuk menggapai syukur yang dihasilkan dari proses pembelajaran seumur hidup terhadap kehidupan itu sendiri.

Jika penulis memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan, akan terekspresikan dalam hasil karya tulisnya. Tidak sekedar menulis hal-hal bombastis, tidak sekedar bermain kata-kata untuk memesona. Namun benar-benar muncul tulisan yang berisi kebijaksanaan dan pengetahuan, yang mampu memberikan kekuatan pengaruh kepada pembaca.

Kebahagiaan autentik akan hadir, apabila nilai-nilai kebijaksanaan dan pengetahuan bisa menjadi kepribadian penulis. Makin banyak menulis, makin bijak dan makin mendalam pula pengetahuannya.

Kedua, Semangat dan Gairah (Virtue of Courage)

Penulis harus mampu menjaga semangat dan gairah dalam kehidupan. Ada sangat banyak kesulitan dalam menulis, namun jika selalu bersemangat dan bergairah untuk memecahkan kesulitan itu, pasti akan ada kemudahan menyertai. Semangat dan gairah ini mampu mengalahkan segala bentuk kesulitan.

Semangat dan gairah dalam menulis, akan tersampaikan kepada pembaca. Tulisan seakan memiliki nyawa, dan mampu menggerakkan serta memotivasi pembaca. Di saat yang sama, semangat dan gairah menulis akan melahirkan kebahagiaan yang semakin berkembang dalam jiwa penulis.

Di luar sana, banyak penulis senior yang gagal menjaga semangat dan gairah, maka mereka tertinggal oleh para yunior yang terus belajar dan berkembang. Kebahagiaan akan melejit seiring dengan terjaganya semangat dan gairah dalam menulis.

Ketiga, Kemanusiaan dan Cinta (Virtue of Humanity and Love)

Menulis bukan hanya sekedar mengejar kekayaan dan popularitas. Namun ada nilai-nilai kemanusiaan dan cinta yang menyebabkan kita mampu menulis berjam-jam tanpa bayaran. Kita menulis karena dorongan nilai kemanusiaan yang terdalam, karena dorongan cinta yang sangat menghujam.

Menulis itu berbagi. Inilah salah satu nilai kemanusiaan dan cinta, bahwa hidup harus bersedia berbagi. Atas nama kemanusiaan dan cinta, kita bisa melakukan sangat banyak hal. Berjuang, mengatasi kesulitan, demi menjaga kehidupan yang dipenuhi keindahan, kemanusiaan dan cinta.

Melalui tulisan, kita bisa menyapa semesta. Kita bisa berbagi kebahagiaan, berbagi pengetahuan, berbagi ketrampilan, juga berbagi semangat. Melalui tulisan kita bisa menyapa mereka yang terluka, bisa menghibur mereka yang berduka, bisa mencerahkan mereka yang hidupnya gelap gulita. Inilah nilai kemanusiaan dan cinta melalui tulisan kita.

Keempat, Nilai Keadilan (Virtue of Justice)

Penulis dituntut memegangi prinsip keadilan, artinya tidak curang dan tidak pula dicurangi. Ini menyangkuat kualifikasi moral dalam penulisan. Adil itu tidak zalim, tidak melakukan pemalsuan dan penipuan data, tidak mencuri informasi milim orang lain dengan mengklaim sebagai miliknya.

Bahkan dalam tradisi periwayatan hadits, sifat adil adalah salah satu kualitas yang memengaruhi derajat hadits yang diriwayatkan. Hadits bisa jatuh ke dalam status dhaif atau lemah, jika di antara perawinya ada yang dinilai tidak adil. Adil adalah moralitas keilmuan yang sangat dijunjung tinggi.

Kezaliman akan merusak kebahagiaan. Kecurangan akan mencelakakan. Maka dengan memegangi prinsip keadilan dalam membuat tulisan, kebahagiaan justru akan nyata didapatkan.

Kelima, Temperamen (Virtue of Temperance)

Penulis harus mampu mengekspresikan perasaan, pemikiran dan keinginan dengan baik. Kebahagiaan sangat erat kaitannya dengan kemampuan kendali diri (self-control) atau regulasi emosi. Apapun yang terjadi dalam kehidupan, jangan menuliskan sesuatu yang nantinya akan kita sesali. 

Menulis dan memosting tulisan hendaknya dilakukan dilakukan dengan sepenuh pengendalian diri, kontemplasi, dan regulasi emosi.  Meskipun sedang marah, jengkel, bahkan frustrasi, jangan menulis hal-hal yang melanggar kebenaran, atau bisa menyinggung pihak lain. Milikilah kemampuan mengendalikan temperamen diri.

Jika menulis di tengah emosi, endapkan terlebih dahulu. Biarkan emosi mengendap, kemudian editlah tulisan tersebut dengan hati-hati, sebelum mempublikasikan tulisan. Ledakan-ledakan emosi saat menulis, bisa melahirkan kata-kata dan kelimat yang merendahkan diri dan orang lain. Ini harus dihindari.

Keenam, Nilai Transendensi (Virtue of Trancendence)

Bagi masyarakat Indonesia yang religius, menulis tidak pernah bisa dilepaskan dari nilai-nilai transenden. Proses transendensi dalam tulisan, merupakan kemampuan untuk menghubungkan diri sendiri dengan sesuatu yang besar atau permanen; misalnya masa depan, ketuhanan atau alam semesta.

Kita menyadari sepenuhnya, tulisan kita akan dipertanggungjawabkan, dunia akhirat. Kita sadar sepenuhnya, tulisan kebaikan —sekecil apapun, akan membuahkan hasil kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya, tulisan keburukan —sekecil apapun, akan membuahkan keburukan pula di dunia dan akhirat. Inilah nilai transenden yang membuat kita lebih bertanggung jawab dalam menulis.

Demikianlah enam nilai fundamental yang perlu dijaga oleh penulis, agar mampu menumbuhkan kebahagiaan dalam dirinya. Jika penulis berbahagia, akan lahir pula karya tulis yang membahagiakan. Meskipun diolah dengan kesedihan, namun hasil akhir bagi pembaca adalah kebahagiaan.

Bahan Bacaan

Martin Seligman, Beyond Authentic Happiness, Menciptakan Kebahagiaan Sempurna dengan Psikologi Positif, Kaifa, Jakarta, 2019

BAGAIMANA MENGHASILKAN TULISAN POSITIF?

 


Oleh : Cahyadi Takariawan

Sangat banyak ragam tulisan, salah satunya adalah jenis tulisan positif. Pilihan fiksi ataupun nonfiksi, adalah selera. Namun tulisan positif, ada hal prinsip. Maka apapun selera tulisan Anda, hendaknya selalu menjadikannya sebagai karya tulis yang positif. Tulisan positif, akan menginspirasi kebaikan kepada para pembaca —seperti apapun jalan cerita atau kisahnya. Tulisan positif, akan menggerakkan pembaca untuk melakukan hal-hal positif. Tulisan positif, akan menebarkan kedamaian dan kesejahteraan spiritual.

Bagaimana menghasilkan tulisan positif? Agar karya tulis anda masuk kategori positive writing, beberapa bagian berikut ini perlu Anda hadirkan.

  1. Positifkan Niat

Menulis adalah ibadah kepada Allah. Menulis untuk menjalankan ketaatan kepada Allah, maka harus diniatkan ikhlas karena Allah. Menulis karena Allah, menulis untuk Allah, menulis dengan nama Allah. Sesungguhnya semua aktivitas hidup kita —termasuk dalam menulis— adalah lillahi Rabbil ‘alamin, sebagaimana firman Allah,

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَٰلَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُۥ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُسْلِمِينَ

“Katakanlah,  sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku  dan­ matiku hanyalah untuk Allah, Rabb sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya,  dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku  adalah  orang  yang pertama kali  menyerahkan  diri  (kepada Allah).” (QS. Al-An’am : 162 -163)

ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk : 2)

وَهُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُۥ عَلَى ٱلْمَآءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya” (QS. Hud : 7).

Dalam konteks amal menulis, kita bisa memaknai dengan “agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik tulisannya” atau “agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih positif tulisannya”.

  • Positifkan Tujuan

Tujuan menulis bisa sangat beragam, namun kita harus bisa memositifkan tujuan. Kita juga tidak perlu mengkonfrontasikan beberapa tujuan, namun bisa memadukan dalam bingkai yang positif. Dalam menulis, ada tujuan yang bercorak ideologis karena hendak menyebarkan keyakinan yang dimiliki, atau menulis dengan tujuan untuk menyampaikan dakwah dan melakukan perbaikan. Namun ada pula tujuan yang tampak praktis, seperti ingin populer dan ingin mendapatkan kekayaan. Tujuan praktis seperti ini tidak salah, sepanjang mampu dipositifkan.

Misalnya, tujuan popularitas —harus dipositifkan, untuk apa popularitas itu jika didapatkan? Tujuan kekayaan —harus dipositifkan, untuk apa kekayaan itu jika didapatkan? Karena populer itu tidak salah, kaya juga tidak salah —-sepanjang popularitas dan kekayaan itu digunakan untuk hal-hal yang positif. Maka tulisan akan positif apabila kita mampu selalu memositifkan tujuan menulis.

Kurang lebihnya, setelah membaca tulisan Anda, apa yang Anda harapkan terjadi pada pembaca? Apakah perubahan positif, atau justru mengajak mereka menyetujui dan melakukan hal-hal negatif. Di sinilah terbaca dimensi tujuan —positif atau negatif.

  • Positifkan Isi Tulisan

Jika niatnya positif, tujuannya positif, maka isinya harus positif. Sebab isi tulisan mencerminkan niat dan tujuannya. Mustahil niat yang positif, tujuan yang positif, melahirkan isi tulisan yang negatif. Isi atau konten tulisan disebut positif apabila minimal memenuhi tiga kriteria dasar, yaitu kriteria kebenaran, kepatutan / etik dan kebermanfaatan.

Yang dimaksud dengan kriteria kebenaran, secara isi, tulisan Anda tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran agama. Sebagai seorang muslim, tidak patut Anda menulis sesuatu yang isinya bertentangan dengan ajaran Islam, apalagi mengajak kepada sesuatu yang menyalahi ajaran Islam. Sebagai seorang Kristiani, tidak patut bagi Anda untuk menuliskan hal-hal yang bertentangan atau menodai ajaran Kristen yang Anda yakini, dan begitu seterusnya.

Yang dimaksud dengan kriteria kepatutan atau etik, isi tulisan Anda tidak boleh melanggar UU, Peraturan ataupun norma dan etika yang berlaku di tengah masyarakat. Hendaknya selalu menjaga etika dalam menulis dan menyebarkan tulisan. Sudah banyak masyarakat yang berurusan dengan hukum karena dituduh melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU ITE tentang pencemaran nama baik. Maka etislah dalam menulis.

Jangan mengumbar kebencian yang menyulut kemarahan dan kebencian orang lain. Jangan menyebar berita atau konten hoax yang meresahkan warga masyarakat, atau melanggar kepatutan. Sudah banyak penyebar berita hoax harus diamankan Polisi[i]. Gunakan data jika ingin mengkritik dan memberi masukan kepada pihak-pihak dimaksud, dengan gaya bahasa yang tidak menyerang pribadi.

Yang dimaksud dengan kriteria kebermanfaatan, hendaknya Anda hanya menulis hal-hal yang bermanfaat. Walaupun hanya menulis status di facebook, atau mengganti status di akun whatsapp, harus menimbang aspek kebermanfaatan. Apa manfaat dari tulisan yang Anda posting tersebut? Jika Anda menulis “Gue lagi laper nih”, atau “Gue bete”, atau “Sialan loe”, atau “Dasar bego”; sekiranya, apa manfaat tulisan tersebut? Gunakan tulisan sebagai sarana menebar manfaat kebaikan bagi banyak kalangan. Jika tidak memberi manfaat, lalu untuk apa tulisan kita sebarkan?

  • Positifkan Emosi / Perasaan Saat Menulis

Ada dua jenis emosi, yaitu emosi negatif —seperti tertekan, sedih, depresi, cemas, gelisah dan lain-lain, dan emosi positif —seperti bersemangat, senang, rileks, damai, dan lain sebagainya. Emosi memengaruhi sistem dalam tubuh yang akan mempengaruhi sistem imunitas. Emosi negatif membuat menurunnya imunitas, sedangkan emosi positif menguatkan imunitas. Seseorang  yang memiliki sistem imunitas yang baik akan menjadi lebih produktif dari pada yang memiliki sistem imun tidak baik.

Jangan biarkan diri Anda dibanjiri emosi negatif saat menulis. Jika tengah dibanjiri emosi negatif, Anda boleh tetap menulis untuk penyaluran, namun jangan dipublikasikan. Cukup Anda simpan sendiri sebagai dokumen dan rekaman sejarah kehidupan Anda pada suatu masa. Pastikan saat menulis, Anda dipenuhi dengan emosi positif[ii]. Dengan demikian, akan semakin menguatkan muatan positif dalam karya tulis Anda —sependek atau sepanjang apapun tulisan Anda.

  • Positifkan Pikiran Saat Menulis

Pikiran sangat menentukan kata-kata, kalimat, tindakan, sikap dan kepribadian manusia. Saat menulis, pastikan Anda memiliki pikiran yang positif. Bruce Lipton menyatakan, manusia terdiri dari 50 triliun sel. “Sel adalah entitas yang hidup. Jadi Anda adalah komunitas, bukan satu orang. Tetapi pikiran Anda adalah penggerak dari 50 triliun sel tesebut,” ungkap Lipton, menggambarkan dahsyatnya pikiran manusia.

Terry Sejnowski, peneliti dari Salk Intitute menyatakan, otak manusia ternyata memiliki kapasitas memori setidaknya 1 petabyte atau setara dengan 10 juta gigabyte. Ini sepuluh kali lebih besar dibanding perkiraan sebelumnya. Sayang sekali jika otak yang luar biasa besar kapasitasnya ini, hanya diisi dengan pikiran negatif. Maka positifkan pikiran Anda, sehingga muncul karya tulis positif yang membangun mentalitas positif pada diri Anda selaku penulis maupun pada para pembaca.

  • Positifkan Kondisi Fisik Saat Menulis

Karena menulis adalah ibadah, maka memerlukan kepatutan secara fisik saat melakukannya. Sangat bagus jika selalu bisa menjaga wudhu, sehingga menulis dalam keadaan suci dan bersih. Kenakan pakaian yang patut dan sopan saat menulis. Lakukan proses menulis di tempat yang patut, terutama saat Anda menulis di rumah. Karena bisa jadi Anda menulis dalam suatu perjalanan dengan kereta api, pesawat atau kapal, dimana tidak bisa memilih tempat kecuali di bangku yang telah ditentukan.

Meskipun Anda sendirian saat menulis, tidak ada yang melihat, namun posisikan diri Anda sebagai seseorang yang tengah berkarya. Maka hargailah karya Anda sendiri dengan menampilkan diri dalam keadaan terbaik. Anda bisa melihat para barista yang bekerja di caffe, misalnya, mereka mengenakan pakaian rapi. Ini menandakan mereka menghargai pekerjaan dan mencintai profesi  yang mereka geluti. Para chef di restoran bekerja dengan pakaian rapi dan standar.

Maka sebagai penulis, hargai dan cintai profesi Anda dengan menampilkan diri secara patut dan rapi saat menghasilkan karya tulis. Meskipun saat menulis, tak ada orang lain yang melihat Anda, namun Anda meyakini bahwa Allah selalu melihat Anda.

  • Positifkan Identitas Penulis

Ketika Anda mempublikasikan tulisan, boleh menggunakan nama asli ataupun nama samaran atau nama pena. Jika Anda menggunakan nama samaran atau nama pena, pastikan nama yang Anda gunakan bermakna positif dan bertendensi positif. Ada orang yang menggunakan nama samaran secara sembarangan, karena memiliki tendensi untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Membuat tulisan negatif yang meyerang pihak lain secara brutal dan tidak bertanggung jawab —dengan alasan “fikih perang”— menghalalkan segalanya.

Misalnya seseorang menulis di sebuah media online menggunakan nama samaran, dengan isi tulisan melakukan pembunuhan karakter orang lain. Ini adalah tindakan negatif —tidak bertanggung jawab. Bahasa lain untuk lempar batu sembunyi tangan. Maka tampilkan identitas diri Anda sebagai penulis, untuk menunjukkan tanggung jawab atas apa yang Anda tulis. Jika Anda memposting karya orang lain yang Anda anggap bermanfaat, pastikan Anda cantumkan nama sang penulis agar Anda tidak dituduh plagiat.

  • Positifkan Rujukan

Jika dalam menghasilkan karya tulis Anda merujuk, hendaknya rujukan itu Anda cantumkan, sehingga tidak menjadikan Anda tertuduh sebagai plagiat yang mengambil karya tulis orang lain. Pastikan Anda hanya mengambil rujukan yang positif, dari sumber-sumber yang kredibel yang bisa dipercaya. Jika Anda mengambil rujukan dari sumber yang abal-abal atau ecek-ecek, maka kualitas data dalam tulisan Anda menjadi dipertanyakan.

Apalagi di zaman sekarang banyak pihak sengaja memproduksi kontek hoax untuk menyesatkan opini publik. Jika Anda tidak berhati-hati, akan terkena delik menyebarkan berita bohong atau sampah. Kredibilitas Anda sebagai penulis bisa runtuh jika mengambil rujukan secara sembarangan. Maka positifkan rujukan Anda.

Terlebih jika mengutip ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw, jangan pernah sembarangan mengambil rujukan. Sangat banyak hadits palsu beredar di media sosial dengan kepalsuan dari segi isi maupun dari segi perawi hadits. Ini menyangkut hal yang sangat sakral dalam agama, yang tidak boleh sembarangan dalam menyebarkannya sebelum meyakini validitas sumber rujukan.

Bahan Bacaan

Salk Institute, Memory Capacity of Brain is 10 Times More Than Previously Thoughthttps://www.salk.edu, 20 Januari 2016

Bruce Lipton, Rewrite Your Mindhttps://www.youtube.com/watch?v=eB-vh6VWdcM, 18 April 2019

Barbara Fredrickson, Positive Emotions Broaden and Build, San Diego, Academic Press, 2013

Barbara Fredrickson, Positivity, New York, Crown, 2009

Kari Henley, What Are The Top 10 Positive Emotions? https://www.huffpost.com, 17 Juni 2009

Tafsir Web, https://tafsirweb.com

DetikNews, https://news.detik.com


[i] Bareskrim Polri menangkap penyebar hoax, isu SARA, dan penghina tokoh negara melalui media sosial berinisial KB (30). KB diamankan di Cakung, Jakarta Timur. (DetikNews, 8 Maret 2018). Seorang pelajar inisial MPA (18) ditangkap aparat kepolisian Resor Sukabumi Kota, Jawa Barat. MPA membagikan informasi palsu dan ujaran kebencian (DetikNews, 3 Maret 2018). Polda Bali menangkap seorang pria berinisial IGN HRT yang menyebarkan hoax di media sosial. Pelaku mengunggah status yang menyebutkan Wapres RI  terpapar Corona (DetikNews, 6 Mei 2020).

[ii] Barbara Fredrickson dalam buku Positivity (2009) mengungkapkan 10 emosi positif yang harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk tumbuh dan berkembang (flourish). Berikut 10 emosi positif menurut Barbara Fredrickson:

  1. Joy atau gembira. Orang yang memiliki joy akan selalu bersemangat, dan memiliki pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama orang lain.
  2. Gratitude atau bersyukur. Orang yang bersyukur menyadari bahwa apa pun yang mereka terima adalah keberuntungan yang bernilai bagi diri mereka.
  3. Serenity atau ketenangan, ketenteraman, kedamaian. Orang yang memiliki serenity tidak pernah merasa gundah dan memberontak terhadap keadaan yang mereka hadapi.
  4. Interest atau hasrat dan ketertarikan. Orang yang memiliki interest selalu menemukan hal baru dalam hidupnya. Mereka selalu ingin tahu keadaan orang lain yang ada di sekitar mereka.
  5. Hope atau harapan. Orang yang memiliki hope yakin bahwa segala sesuatu akan berakhir dengan baik.
  6. Pride atau kebanggaan. Orang yang memiliki pride merasa dirinya bermartabat, dimana perasaan ini lahir dari sebuah pencapaian, bukan pemberian dari orang lain.
  7. Amusement atau terhibur. Orang yang mampu tertawa bersama orang lain di sekitarnya karena merasa terhibur dalam interaksi sosial di antara mereka.
  8. Inspiration atau inspirasi. Orang yang mendapatkan inspirasi yang mencerahkan, dan bisa memberikan insight kepada orang lain yang ada di sekitar mereka.
  9. Awe atau terpesona, takjub. Orang yang memiliki awe mudah merasa takjub dengan apa yang mereka alami. Ada perasaan betapa kecilnya diri mereka di hadapan keagungan Sang Maha Kuasa.
  10. Love atau cinta. Love adalah kompilasi dari 9 emosi positif sebelumnya. Orang yang memiliki kasih sayang dan ketertarikan emosional yang kuat sehingga selalu merasa terhubung satu sama lain.

  2 kali dilihat

Jawaban dari Tuhan

 


Oleh : Sri Rohmatiah

Leon Edel menuliskan Writing Lives, bahwa beberapa pengarang menulis tentang seseorang karena Ia kagum dan “jatuh cinta” kepada subyeknya, benarkah?

***

 

 

M

enuliskan seseorang seperti kata Leon Edel ada unsur-unsur kecintaan kepada subyeknya, sedangkan menulis my story, apa bisa dikatakan kagum atau mencintai diri sendiri? Sulit bagiku menjawab hal itu.

Mungkin saja kisahku ini biasa saja. Bukan hal heboh atau fantastis. Namun aku selalu yakin bahwa setiap kisah perjalanan kehidupan manusia, ada hikmah yang bisa diambil dan dipelajari. Sebesar gunung atau sebesar biji dzarrah, semua tergantung dari cara memberi makna atas peristiwa tersebut.

 

Masa Kecil hingga Dewasa

I

buku perempuan hebat. Ayahku lelaki bijaksana. Bersyukur aku menjadi anak mereka.

Namaku Sri Rohmatiah, anak kedua dari lima bersaudara. Nama yang tentu saja di telinga Anda, sangat sederhana. Namun, nama itu mengandung harapan yang tidak sederhana.

Mimi, begitu aku memanggil Ibuku, selalu menuturkan adanya harapan-harapan besar di balik nama sederhana itu. Sri itu menunjukkan identitas perempuan. Tidak semata-mata menjadi perempuan, namun diharapkan aku hidup dengan penuh rahmat dan kasih sayang Allah. Sejak kecil, hingga dewasa, dan kelak ketika sudah menghadapNya.

Hidup penuh dengan rahmat, adalah sebaik-baik kehidupan. Masa kecil bisa bersenang-senang, masa remaja penuh ceria, saat dewasa penuh makna, dan mati masuk surga. Itu harapan di balik kesederhanaan namaku.

Ayahku pekerja keras. Ia guru di sebuah Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan gaji yang sangat minim, ayah berjuang untuk membesarkan lima putra-putrinya. Bersyukur aku memiliki Mimi yang hebat, selalu setia mendampingi ayah dalam kerasnya benturan kehidupan.

Meski penuh keterbatasan, namun kehidupanku di masa kecil, serasa sangat menyenangkan. Aku bisa leluasa bermain, berlarian di pematang sawah yang membentang, dan berjalan-jalan di area perkebunan desa. Itu semua membangun keceriaan kami anak-anak desa yang jauh dari keramaian kota.

Sejak SD, aku mulai suka membaca buku. Teringat saat kelas lima hingga enam Sekolah Dasar.  Setiap hari Minggu bersama Neng Ade, teman karibku,  selalu berjalan kaki enam kilometer hanya untuk berburu buku ke perpustakaan.

Kami meminjam buku selama satu pekan dan pekan berikutnya mengembalikan sambil meminjam lagi yang baru. Sejak itulah aku selalu berimajinasi “seandainya aku penulis buku.”

Hidup di kota kecil, sangat banyak keterbatasan. Aku kesulitan untuk membeli buku, tak ada anggaran untuk itu. Satu-satunya cara adalah pergi ke perpustakaan terdekat, meminjam setumpuk buku dengan harga terjangkau.

Majalah yang aku sukai pada masa itu adalah Bobo dan Si Kuncung. Selain itu ada buku yang sangat berkesan, seperti Petualangan Lima Sekawan karya Enid Blyton, dan Trio Detektif  yang menjadi teman waktu libur sekolah.

Melihat kesukaanku terhadap buku dan sering coret-coret di kertas membuat puisi,  Ayahku tekun mengajariku membuat puisi dan cerita anak. Bukan hanya mengajari cara menulis, namun ayah juga membantuku mengetik naskah menggunakan mesin ketik kantor. Saat itu aku sekolah di SMP, dan mulai mengirim naskah berupa puisi dan cerita anak ke koran. Mendapat honor Rp. 25.000 setiap kali naskah dimuat, sudah menjadi kebanggan bagiku.

Ayah belum memiliki mesin ketik sendiri, sehingga untuk membantuku mengetik naskah, harus meminjam dari kantor atau tetangga. Aku merasa kasihan harus merepotkan ayah, belum lagi harus mendengar suara ribut mesin ketik manual saat tengah malam. Diam-diam semua puisi dan cerita aku tulis dalam buku, dan mengatakan kepada ayah kalau aku tidak ingin menulis lagi karena sibuk sekolah.

Kecintaanku kepada buku terus berlanjut hingga SMA. Perpustakaan sekolahku menjadi arena melepas kehausanku akan membaca. Buku “Pada Sebuah Kapal” karya NH. Dini, “Aku” karya Chairil Anwar, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” karya Buya Hamka, aku lahap semua. Termasuk kumpulan puisi W.S Rendra si Burung Merak, puisi “Ibu” karyanya sangat menusuk perasaanku.

Pada banyak anak remaja, masa SMA disebut masa yang sangat indah. Mereka menikmati dengan versi masing-masing. Masa remajaku menjadi sangat indah bersama buku-buku. Ya benar, buku pelajaran ataupun buku-buku fiksi. Duniaku benar-benar dunia buku.

Rajin membaca karena aku memiliki mimpi, mimpi terbesarku adalah kuliah di IKIP Jurusan MIPA, itu sebabnya ketika SMA masuk ke jurusan Fisika atau dulu disebut A.1. Namun karena terbentur biaya dan support orang tua yang tidak ada, angan-angan untuk kuliah kandas. Saat itu aku merasa terpuruk dan beranggapan percuma aku sering membaca dan belajar, pada akhirnya tidak dapat melanjutkan pendidikan. Semua buku aku tinggalkan dan memilih bekerja di salah satu SMK Negeri Bandung dengan hanya bermodalkan Ijazah SMA yang bagus dan keahlian mengoperasikan komputer.

Tahun 1998 aku kembali ke kota kelahiran dan bekerja sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) di SMAN tempat dulu  menamatkan Sekolah Menengah Atas.

Pada  waktu itu sekolah hanya memiliki dua unit komputer, satu untuk Tata Usaha dan satu lagi digunakan untuk keperluan kesiswaan. Namun, tahun berikutnya baru ada program pengadaan komputer bagi kelas dua dan tiga, di situlah aku mulai terlibat mentransfer ilmu komputer kepada siswa SMA kelas dua.

Selain bekerja di SMAN aku juga aktif di PGSI (Persatuan Gulat Seluruh Indonesia) sebagai bendahara untuk wilayah kabu­paten, kebetulan para atlet akan menghadapi PON 2004 di Cirebon.

Di tengah-tengah kesibukanku bekerja, Ayah mendorongku untuk menulis kembali. Alasannya karena aku sudah bisa menulis sendiri di komputer. Aku menolaknya karena merasa tidak memiliki ilmu tentang teknik kepenulisan yang bagus.

Pada saat yang sama, entah ide dari mana, Ayahku meminta aku meramaikan remaja masjid dan membuat bulletin atau koran kecil untuk dibagikan ke desa-desa atas perintah dari pak camat.

Mendengar nama pak camat dan ketua Muhammadiyah, aku tidak dapat menolak. Akhirnya dengan dibantu ketua remaja masjid di kecamatan, aku mengumpulkan remaja masjid yang memiliki potensi menulis di berbagai bidang.

Posisi sebagai sekertaris, semua naskah dari remaja masjid yang ditunjuk masuk ke tanganku. Kembali aku membaca buku untuk mengisi rublik yang aku pegang. Walaupun hanya bentuk koran kecil dan penanggung jawab kecamatan. Aku merasa senang, karyaku dan remaja lainnya bermanfaat bagi orang lain, khususnya remaja masjid yang berada di desa-desa.

Pembuatan koran kecil ini sifatnya sukarela, dana dari kecamatan hanya cukup untuk biaya produksi, sama seperti gajiku di kantor sebagai tenaga honorer yang kecil. Namun, Mimi selalu berkata “Jangan pernah melihat jumlahnya, yang penting cukup dan berkah.” Apa yang dikatakan Mimi memang benar, gajiku ternyata cukup untuk membantu membiayai kuliah adik perempuan, saat itu dia kuliah di UPI.

Kegemaranku membaca dan menulis aku tularkan kepada adikku. Di tengah kesibukannya kuliah, adikku memenangkan lomba karya tulis ilmiah tingkat Nasional dan mendapatkan beasiswa setiap semesternya hingga lulus.

 

 

Pernikahan

B

ekerja di sebuah sekolah mendekatkanku  kepada dunia buku yakni perpustakaan. Sehingga aku bisa melupakan tentang usia yang semakin bertambah, namun belum juga mendapatkan  jodoh. Orang tua mulai gelisah, khawatir anak gadisnya menjadi perawan tua.

Sepertinya, suatu hal yang wajar jika perempuan atau laki-laki belum menikah, teman dekat, saudara akan mencarikan pasangan yang tepat. Sama seperti halnya denganku. Berawal dari kedekatanku dengan teman satu kantor di SMA, semua orang memanggilnya Bu Ika, namun sayang kedekatan kami hanya sebentar karena dia ikut suaminya pindah ke Madiun. Namun, komunikasi kami berlanjut lewat telepon.

Melalui Bu Ika itulah perkenalan dengan seorang laki-laki asal Madiun yang notabene kakak iparnya terjadi lewat telepon. Selang beberapa hari sebuah foto dikirimkannya kepadaku. Ketika melihat foto itu, aku sempat kaget, ternyata laki-laki yang dikenalkan itu seorang difabel.

Sebelum kedua orang tua mengetahui kisah ini, pertama kali aku menceritakan kepada Kepala Tata Usaha, Bu Euis. Beliau tahu aku sering menerima telepon dan mendapat surat tersebut. Sebagai seorang ibu di kantor tentu dia sangat bijaksana menanggapi dilema yang kuhadapi. Surat izin diberikannya supaya aku bisa pergi ke Madiun menemui Bu Ika.

Mendapat izin dari Ayahku untuk pergi ke Madiun sangat sulit. Namun, aku juga tidak bisa menceritakan yang sebenarnya, hanya Mimi yang tahu akan hal itu. Mimi berhasil membujuk Ayahku untuk mengizinkan pergi ke Madiun. Ini adalah perjalanan panjang pertama dan paling menakutkan seumur hidup. Setibanya di statsiun Madiun, yang paling pertama saya cari adalah telepon umum. Bukan untuk mengabari Bu Ika kalau aku telah tiba tetapi memberi kabar ke kantor khususnya Bu Euis yang telah memberi dorongan untuk memastikan semuanya.

Satu hari berada di Madiun, semua yang tergambar di foto ternyata benar adanya. Apa yang bisa aku ceritakan kepada kedua orang tuaku, ternyata yang hendak melamar itu seorang difabel. Sepanjang perjalanan pulang, berbagai pertanyaan aku ajukan pada diri sendiri, namun hingga tiba di rumah tidak mendapat jawaban apapun.

Di kantor, Bu Euis sudah tidak sabar menunggu berita hasil perjalananku. Dengan penuh ambisi ditariknya tanganku ke ruang komputer tempat aku bekerja.

Ada air mata yang keluar dari mata seorang ibu saat kuceritakan apa yang terlihat  semuanya,  Bu Euis memeluk seranya berkata “Aku beri izin Neng Sri untuk tidak masuk kerja selama satu minggu.” Saat itu sekolah sedang penerimaan siswa baru, aku tidak pernah libur selama itu. Namun, izin libur  aku  ambil dan dipergunakan sebaik mungkin untuk konsultasi dengan sang Maha Penggerak Hati. Ada proses pertanyaan yang aku ajukan kepada Tuhan melalui salat istikharah selama tujuh malam dan puasa selama tujuh hari. Tidak lupa Mimi menemani proses ibadahku. Jawaban terbaik datang di malam ke-7 dengan isyarat keyakinan ini yang “Terbaik.”

Sebagian orang di kantor bahkan Ayahku sendiri awalnya mengatakan, ini sebuah keputusan yang tidak masuk akal memilih calon suami seorang laki-laki difabel. Kemarahan sempat tergambar dari wajah Ayah yang keriput tanda lelah mengurus putra putrinya yang sudah remaja. Aku paham maksud kemarahannya, intinya tetap ada kekhawatiran anak gadisnya akan salah memilih. Bila diterjemahkan, menikah dengan siapa saja boleh, namun, harus ada petimbangan.

Kita boleh saja memiliki tiga atau sepuluh sekalipun pertimbangan dalam menentukan pasangan, namun adakah yang sempurna? Itu yang aku katakan ketika Ayahku mengumpulkan seluruh orang tua dari pihak Ayah dan Mimi untuk dimintai pendapat. Malam itu terasa diadili tidak ada yang berpihak kecuali Mimi dan adik perempuan.

“Bagaimana dengan keturunanmu kelak? Siapkah jika mendapatkan keturunan yang difabel juga?” tanya Mbah Dali, orag tua dari Ayah.

“Bagaimana jika anak-anakmu merasa malu mengetahui ayahnya difabel?”

Berbagai pertanyaan dilontarkan seolah-olah aku terdakwa.

Mengapa harus mengkhawatirkan yang belum terjadi, ketika memutuskan dan merasa yakin, Allah akan memudahkan semua urusan. Kita lupa kepada siapa anak gadis harus dinikahkan? Nikahkan dengan laki-laki yang bertaqwa dan aku melihat semua itu pada dirinya.

Ketika aku mengajukan satu pertimbangan lain yakni menikah karena Allah hanya untuk beribadah. Ayahku yang pada dasarnya seorang ustadz dan aktif di Muhammadiyah, menangis. Aku tidak dapat menerka apa yang ada dipikiran Ayahku saat itu, senangkah? Sedihkah?

Keyakinan untuk menikah terjadi, tidak perlu waktu lama, sepuluh hari kemudian ijab qabul dilaksanakan secara agama. Ayah mengucapkan ijab atas nama Sri Rohmatiah dan Agus Yusuf mengucapkan qabul (penerimaan) untuk mengikat jalinan perasaan sebagai suami istri. Satu bulan kemudian, pencatatan di KUA dilaksanakan dengan saksi Kepala KUA kebetulan dia adalah keponakan Ayahku. Ketua Muhammadiyah beserta pengurus lainnya, keluarga dan keluarga besar tempat aku bekerja menjadi saksi pernikahanku.

 

***

 

Setelah Menikah

K

etika memutuskan menikah di situlah harus ada jiwa yang ikhlas karena kita memiliki kewajiban untuk mengurus keluarga. Aku rasa semua sama, mungkin yang terlihat berbeda adalah bagaimana bisa membina rumah tangga dengan seorang suami difabel. Mungkin sepintas tidak berdaya secara fisik. Namun jika kita melihat lebih dekat, tidak ada bedanya dengan kita, memiliki pekerjaan, bisa melakukan apa saja yang dilakukan orang pada umumnya, hanya caranya saja yang berbeda.

Ada bisikan dari seseorang kalau aku materialistis, terus apa bedanya jika teman atau aku menikah dengan seorang laki-laki pekerja memiliki gaji namun tidak cacat? Bisakah dikatakan materialistis?  Tentu jawabannnya tidak. Dikatakan materialistis karena suami difabel, namun memiliki penghasilan layaknya pegawai negeri sipil. Materialistis boleh saja, namun jangan perhitungan karena menikah bukan jual beli yang harus ada untung rugi.

Dengan penghasilan dari melukis, suami bisa memenuhi kebutuhan keluaga dengan baik. Selang satu tahun aku dikaruniai seorang putri dengan nama Najwan Sabila Yusuf dan dua tahun kemudian lahir pula putra kami dengan diberi nama Farhan Miftahul Yusuf. Alhamdulillah keduanya dalam keadaan sehat dan normal. Apa yang dikhawatirkan keluarga dahulu, tidak terbukti.

Bagaimana dengan kekhawatiran kedua yakni merasa malukah anak-anakku memiliki seorang ayah difabel? Tentu tidak karena aku sudah mendidiknya sejak dalam kandungan. Memeriksakan kandungan ke dokter bersama suami,  itu adalah cara mendekatkan bayi yang ada dalam kandungan mengenal ayahnya.

Ketika anak-anakku menginjak TK, kami berdua mengantarnya. Awal bertemu, teman-teman anakku terlihat kaget, wajar anak kecil jika melihat sesuatu yang berbeda akan kaget dan mendekat, jika ada keberanian akan bertanya “Om kenapa tangannya?” yang malu orang tua anak itu. Anak-anak kami santai saja bahkan terlihat bangga memiliki orang tua difabel. Sering anak-anaku mengajak teman-temannya ke rumah.

Untuk menambah percaya diri anak-anakku memiliki ayah difabel, kami sering mengajak mereka ke tempat umum. Kami pun berbaur dengan lingkungan seperti keluarga lain.

Semua yang terjadi dan aku alami selama ini adalah bukan pilihan, itu jawaban-jawaban dari setiap doa yang dipanjatkan. aku hanya memiliki cinta semata-mata karena Allah SWT.

Jalaludin Rumi berkata;

“Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.”

***

 

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...