Rabu, 30 Desember 2020

BAGAS.......KAU KEMANA !

 






Oleh : Ledwina Eti Wuryani

Pada suatu hari, Bagas siswa kelas 11B  dipanggil  ibu Marthina untuk datang ke ruang BK. Bagas  adalah murid paling  bandel dan suka mencari masalah di sekolah. Hampir semua guru  tidak sanggup lagi untuk menasehatinya. Segala jenis hukuman  telah diberikan, tapi Bagas tetaplah tidak berubah sama sekali.

            Seperti pagi ini,  hari Senin, sebenarnya  ada jadwal upacara. Bagas si bandel  datang terlambat lagi. Dia kena  hukuman  dari Pak Soni , pembina osis. Guru paling galak di sekolah. Bagas di suruh berdiri di lapangan upacara  hingga jam istirahat pertama selesai. Setelah itu, ia harus membuat 5 buah lubang ukuran (1x1x1) m3 untuk tanam  pohon  sakura di sekolah. Supaya  jera pak Soni masih  suruh  lagi  membersihkan  toilet putra di  samping  kelasnya.

Sebenarnya pak Soni tidak  tega  sampai  menghukum seberat itu. Hingga terpaksa  menghukum Soni seberat itu. Bagas betul –betul membuat pak guru marah. Bagas menjalani  hukuman  dengan rasa biasa saja. Ia tidak ada perasaan  malu atau bersalah. Dia jalani  hukuman dengan  santai saja tanpa beban. Sambil menjalani hukuman  masih saja sempat  jahil dengan anak perempuan. Dia  lempar temannya itu dengan  air campur tanah hingga bajunya kotor.  Dia merasa bangga dan tertawa.  Ahh!!, pokoknya anak ini  sangat menjengkelkan.

Di dalam kelas, saat pak guru  menjelaskan dia main HP sendiri. Dia tertawa-tawa  sendiri. “ Bagas!!, bawa hp itu ke sini!”,  seru pak Arnol kesal. Akhirnya  di bawalah hp  ke depan dan ditaruh di meja guru. Pak Arnolpun  melanjutkan menjelaskan  tentang materi ‘reproduksi’ Bab 2, pelajaran biologi.

Bagas  tusuk-tusuk  pantat  Desi yang di duduk tepat didepannya, hingga kaget. ”Pak guru!! Ne Bagas  ganggu terus!”, teriak Desi  merasa jengkel  karena  terganggu. “ Hhhh!! Ini anak,!!”, Pak Arnol pun murka. “Bagas.....kamu keluar saja ya!!, disini tempat  anak-anak ingin belajar, kalau kamu ‘tidak’ mau belajar kamu keluar!!, “, teriak pak Arnold saking kesalnya. Bagas tidak mau keluar, hanya nyengir-nyengir saja.

Kelas mulai tegang!. Teman-teman  menyuruh Bagas segera keluar. “Bagas keluar !!....., cepat kau kelaur!!!!”,  teriak teman-temannya memohon. Eh!, Bagas tidak mau keluar juga. “Kalau kamu ‘tidak’ mau keluar,  biar pak guru yang keluar!”, kata pak arnol sambil mengemasi barang-barangnya kemudian pak Arnol keluar.  Suasana kelas  jadi tambah tegang!. Bagas di dorong-dorong temannya untuk  keluar, tapi tidak mau juga.

Akhirnya  teman  kesal sekali  dengan sikap  Bagas. Daniel, sang ketua kelas dan beberapa pengurus kelas lari mengejar   pak Arnol yang sementara menuju ke ruang guru. Pak Arnol  mengajaknya  untuk diselesaikan di ruang BK.

Akhirnya pak Arnol bersama Daniel, dkk  menuju ruang BK dan menyampaikan ‘masalah’ ini  kepada guru BK. ‘Ini lagi!, Ini lagi!!”’ seru ibu Marthina  dan ibu Yubi guru BK.

Guru mata pelajaran, wali kelas dan guru BK bahkan kepala sekolah  bener-benar  tidak sanggup  menasehati Bagas. Sudah  dapat surat peringatan 3 kali. Tidak  pernah ada yang hadir. Kalau Bagas ditanya ‘diam’ seribu bahasa. Pokoknya membuat  orang  jengkel.

Bagas tidak pernah kerja  tugas,  catatan  saja tidak punya.  Suatu  hari ada ulangan  matematika bu Tiwi.  Siswa boleh ikut ulangan jika sudah  kumpul tugas produk dan kerja PR tentang materi  ‘nilai mutlak’.   Tugas Bagas tidak ada. Tapi bu guru  sudah malas  urusan dengan Bagas. “Persetan!!, kata bu guru. “Nanti tambah stress urus Bagas, saya tak mau sakit kepala”,  lanjutnya. Ulangan pun dimulai.“ Bagas,  kamu mau nyontek ga?  Saya bawa  contekan ne” bisik Arda di sebelahku  saat ulangan harian berlangsung.

“Wuih! Boleh juga” ucap Bagas  dengan mengambil  kertas kecil dari   temannya itu. Bagas  memang paling  malas untuk mata pelajaran kimia, fisika dan matematika.  Catatan saja  tidak ada, bagaimana dia belajar. PR tak pernah kerja.  Otak  betul-betul ‘nol’.  Dia  langganan nyontek untuk pelajaran itu. Bagaimana tidak!

Waktu terus berjalan, kenakalan Bagas  sudah tidak bisa  diampuni. Akhirnya ibu wali kelas datang ke kelas. Bertanya, siapa yang dekat rumah Bagas?.Tidak ada yang angkat tangan.  Ibu tanya lagi yang kedua kali,” Ada yang tahu rumahnya Bagas??” Tiba-tiba Irene angka tangan. “ Dia bertetangga dengan  James kelas sebelah bu, rumahnya di km 8 !”,

Akhirnya ibu guru  berencana mengajak James untuk kunjungan rumah ke Bagas. Hari yang ditentukan pun tiba. Ibu Wali kelas dan dua orang ibu guru  BK, ditemani James ke rumah Bagas.

Sampai di rumah...sepi sekali. Rumah kosong tidak ada penghuni. Rumah bagus. Tapi berantakan. Tanaman bunga banyak tapi tak terurus. Ada kolam ikan juga, tapi kering dan kotor. Suasana rumah terlihat ngeri.  Rumah besar dan modern sebenarnya. Seperti rumah penjabat tapi tak beda dengan rumah hantu.

 Karena terlihat ada beberapa orang di rumah  Bagas, tetangga  yang rumahnya  sekitar 200m  menghampiri. Mereka saling bersalaman dan memperkenalkan bahwa kami gurunya Bagas.  Pak karim dan Ibu ( nama tetangga:Red) mengajak kerumah mereka  supaya bisa cerita leluasa.

Suami istri tetangga itu cerita banyak tentang Bagas. Mamanya Bagas, mbak Mun, orang terkenal waktu itu. Semua orang tahu dia. Ternyata  dia bandar narkoba.  Sekarang  dipenjara karena tertangkap. Begitu juga bapaknya sudah lebih dulu10 tahun dipenjara. Dua adik Bagas sekarang di Jakarta dibawa tantenya. Bagas  hidup sendiri di sini.

Ada lagi bapak tua cerita  Bagas baru-baru dipukuli, dan kena sumpah serapah dari keluarga pak Dan (Bapak Sinta). Ceritanya, Mama Sinta itu dulu teman baiknya mbak Mun. Melihat nasib Bagas yang hanya sendiri,  akhirnya Bagas juga dianggap seperti anak sendiri. Dia memang tidur di rumahnya sendiri. Tapi dia sering di rumah Sinta. Kebetulan Sinta  teman mainnya sejak SD hingga  SMP  tapi sekarang SMA-nya berbeda sekolah. Bapak Sinta orang proyek dia kerja di PU ( pekerjaan Umum). Jadi bapak Sinta sering tugas lapangan, jika pekerjaan jauh di luar kota pasti tidak pulang  rumah. Bisa seminggu sekali baru pulang.

Mama Sinta  jualan di pasar induk. Pergi pagi pulang petang.  Anak-anak mereka sudah diajar mandiri. Sinta sebagai anak pertama harus bisa bertanggung jawab untuk 2 adiknya yang masih SD. Sinta sudah trampil memasak, membereskan rumah dan semua pekerjaan rumah. Kalau ada  masalah mereka bisa  pergi ke mamanya di pasar. Adiknya biasa bersama mamanya di pasar. Rumah Sinta pun  besar, dan mereka termasuk orang terpandang di kampungnya.

Waktu terus berjalan. Bapak  dengan kesibukanya. Mama  dengan kesibukanya. Sinta pun dengan kesibukannya sendiri jaga rumah, urus adik dan membereskan rumah. Untuk makan di pasar mama biasa masak sendiri karena ada juga dapur kecil di kios. Bapak dan mama Sinta tidak pernah tahu apa yang dilakukan Sinta dirumah. Mereka saling percaya karena Sinta dianggap sudah dewasa.

Bagas, teman Sinta  sepulang sekolah makan dan tiduran di rumah Sinta. Karena Bapak dan Mama Sinta pun percaya kepada Bagas. Bagas sudah  dianggap seperti anak sendiri. Namanya manusia normal.  Jaman sekarang  anak-anak  punya HP. Konten-konten hp bebas dan banyak yang menarik.  Lebih menarik lagi  ada  adegan- adegan ‘tabu’ yang harusnya anak belum saatnya melihat. Apalagi melakukan.

Waktu mendukung. Peluang  ada. Kesempatan pun  sangat luas. Akhirnya....Bagas pun  mulai melihat Sinta bukan sebagai adik. Tapi dia melihat sebagai seorang ‘kekasih’ hati. Setiap melihat sinta  ada rasa tertarik . Ingin memelu. Ingin Mencium. Ingin yang lainnya......Begitu pun Sinta. Mereka  merasa ‘saling’ membutuhkan.

Hari-hari mereka nikmati bersama dengan bebasnya. Keluar masuk kamar  sudah biasa.  Suasanapun mulai berbeda. Mereka  ada perasaan yang berbeda juga. Rasa’cinta’ sebagai  manusia  nornal mulai terasa.  Rasa rindu pun mulai membara antara  dua insan manusia. Dengan  belajar dan melihat  adegan-adegan berbagai ‘model’ yang ada di HP android mereka coba. Oh!!,  begitu terasa nikmatnya dunia.

Kini , Sinta  sudah ternoda. Tidak  lagi  seorang  gadis  manis.  Kesuciannya sudah direnggut  Bagas. Mereka berdua  sudah  dimabuk asmara.

Bapaknya lalu pulang tak sedikitpun curiga. Adanya Bagas di rumah pun bapak Sinta aman-aman saja.  Semua berjalan lancar. Makan sama-sama, bercerita masih biasa-biasa. Bagas  juga biasa disuruh membantu pekerjaan rumah oleh bapak Sinta. Menanam sayur. Menanam bunga.  Membuat kandang  ayam. Yach!! Pokoknya dianggap anak ‘lelakinya’.

Mama Sinta biasa pulang petang.  Sekitar jam 6 sore baru  pulang. Rumah pun tetap rapi karena Sinta memang rajin. Prestasi di sekolahpun stabil, peringkat 5 besar selalu di tangan. Keluarga tetap berjalan  aman.

Mereka selalu  menggunakan peluang  saat mereka di rumah ‘hanya berdua’ saja. Adik-adiknya di kondisikan supaya ke pasar bersama mamanya. Mamanya pun tahu bahwa Sinta  sibuk dengan tugas BDR ( belajar di rumah) dan membereskan rumahnya.

Seiring berjalannya waktu. Sinta  kelihatan semakin kurus.  Dia kelihatan sakit. Saat malam hari  mamanya  gosok dengan minyak angin.  Sinta tidak selera makan. Tapi mama tetap tenang,  paling dia sakit biasa, masuk angin. Mamanya tetap jualan di  pasar. Kios di pasar  besar, mereka jualan sembako.Ada 2 los yang dia punya. Yang satu untuk gudang beras, jagung, pa’o (makanan hewan) dan yang satu sembako. Kiosnya bersebelahan. Mamanya sibuk setiap harinya.

Karena tahu bahwa Sinta masuk angin, dia di larang  untuk ‘terlalu’  kerja. Istirahat saja. Malam berikutnya  masih saja  kelihatan pucat dan lemas. Tambah dia muntah-muntah. Mama masih belum curiga apa-apa. Hari terus berlalu 2 minggu terakhir  ini kok sinta muntah-muntah terus. Deg!! Mama  jadi rasa aneh dengan sakitnya Sinta.

Mamanya takut terjadi apa-apa dengan Sinta. Rasa takut, kawatir mulai membuat  sesak di dada mamamya. Hari itu sengaja tutup tokonya, dia tidak percaya dengan 2 pegawainya. Mamanya tahu kalau kedua pembantu di kios tidak jujur.

Diajaknya Sinta ke Rumah sakit umum. Setelah mendaftar dan antri, tibalah gilirannya untuk di periksa. Setelah  menjawab bergai pertanyaan dari perawat,  ibu perawat langsung tanggap dan  disuruhnya Sinta untuk diperiksa air kencingnya.

Sudah 1 jam  mereka menunggu. Mamanya sudah tidak tahan untuk menunggu hasilnya. Rasa cemas menghantui dirinya. Tak lama kemudian perawat datang dengan  senyum sumringah..... “selamat Ibu, Nona Sinta Positif hamil, ibu siap  jadi nenek!!”’, kata perawat itu sambil menyodorkan tangannya memberi selamat.

Mama Sinta bengong, melongo!. Sinta tertunduk menahan sesak di dada. ”Tidaaakkkk!!!”, teriak mama Sinta spontan.”mamanya histeris dan menangis!!, Orang-orang di sekitar itu jadi merasa heran. ‘Ditamparnya Sinta sekuat tenaga!,  digoyang-goyangkannya tubuh  Sinta dengan kerasnya!. Dimarahi habis-habisan Sinta saat itu. Mamanya  amat sangat murka.  Antara, sedih, ingin memaki dan menyumpah !!, Tuhaaannnn??!!,  kenapa anakku ternyata sejahat ini??.

Sinta hanya tertunduk saja. Dia membiarkan  ibunya melampiaskan kekesalan. Ibunya sumpah serapah!! .padanya. Dia tetap tunduk, dia  mengakui karena memang dia salah. Bagaimanapun !, alasan apapun! dia tetap salah. Bukti nyata jelas sekali, tidak bisa berkutik.

Emosi mamanya  betul-betul meluap-luap. Sinta yang cantik!, Sinta yang pintar di sekolahnya. Ternyata membawa sial.  Sinta baru kelas 2 SMA, umur 16 tahun dia harus  melahirkan. Ternyata kandungan Sinta sudah 4 bulan. Dia sudah beberapa hari tidak sekolah karena sakit.

Bapaknya dengar begitu ‘geram’. Dia tak kuasa menahan emosinya. Sinta  anak pertama, mereka 3 bersaudara perempuan semua. Bagas yang  dianggap anak sendiri tapi....tenyata tidak lebih  ‘binatang’. Tak henti-hentinya ingin memaki. Keluarga jadi  berduka karena  anak perempuannya jadi  ‘korban’ karena kelakuan bejatnya.

Saat suasa keluarga  tegang tib -tiba bagas  muncul mau makan siang. Tak pikir panjang  ditamparnya Bagas berulang-ulang. Ditendangnya  pinggul Bagas hingga  terputar.  Bagas  menahan sakit lalu dia lari terbirit-birit. Dipanggil berulang-ulang dia  tidak tanggap. Dikerjarnya dengan  motor tapi ia  sudah ‘lenyap’ entah kemana. Bapak Sinta terpaksa lapor polisi. Tapi keberadaan  Bagar tetap  tidak diketemukan. “Biadap!!”. Teriak Bapak Sinta tak kuasa menahan emosi.  Bapak Sinta   sungguh-sunggguh terlalu emosi.

Sejak kejadian itu bagas  ‘hilang’ entah kemana. Pantas saja di sekolah juga sudah sekitar dua minggu ini tak ada. Maksud pihak sekolah  mau tahu keberadaaanya, tetapi ternyata!!. Tidak ada juga di rumahnya.

Kini....nasi  sudah jadi bubur. Bapak Sinta sangat terpukul. Mama Sinta hanya bisa  menangis.  Hati terasa teriruis-iris. Anak kesayangannya menyakitinya.  Selama ini dipercaya dan disayangi dengan sepenuh hati. Ternyata Sinta mengkhianati kepercayaannya. Adik-adiknya hanya ‘melongo’ karena tidak tahu  apa yang telah dilakukan kakaknya.

Sebagai orang tua. Bapak mama  sekarang  tinggal merenungi. Mereka masing-masing hanya bisa refleksi.  Hal ini bisa terjadi karena ‘tidak’ ada perhatian dari orang tua. Menyayangi  anak itu  bukan mencukupkan materi saja. Dengan membelikan motor terbaru. Dengan  membelikan HP paling modern atau kebutuhan mewah lainya.

Perhatian. Kasih sayang.  Pendampingan siang, malan pagi dan sore  harus ada. Sedang dimana?” Lagi apa?. Dengan Siapa? Khususnya mama Sinta. Inilah ’akibat’ dari  kesibukan mama yang ‘terlalu’ percaya dengan anaknya yang sudah ‘nona’. Biarpun menangis berair mata darah  tidak mungkin lagi akan kembali baik. Piring yang pecah tak mungkin bisa di tambal, di las atau dibagaimanapun. Tinggal ‘dibuang’ saja. Nilai dan harganya sudah ‘tidak ada’

Perut Sinta semakin membesar. Dia sudah tak mungkin  lagi melanjutkan sekolah.  Dia harus bisa menerima kedatangan bayi mungilnya nanti.  Jamin di dalam perut tidak berdosa. Dia titipan Tuhan  yang harus dipiara dan dicintai .Keluarga harus bisa menerima. Walau hati sedih, ataupun perih .   Semoga    sang baby ,jika sudah lahir nanti....ia yang akan menghibur keluarga dengan senyum manisnya.

 

30 Desember 2020

 

 

Barukan!! Semangatmu di Tahun baru

 





Oleh: Ledwina Eti

 

Bersorak sorai   penuh kegembiraan

Madahkan pujian padaNya   dan suka citakan   bersama

Ketika tahun  lalu  meninggalkan jejak

Digantikanlah  Tahun Baru  yang penuh semangat 

 

Fajar menyingsing penuh ceria

Gembira ria mewarnai setiap Jiwa

Menyambut  harapan baru setiap insan manusia

Semangat!!  Kita terima tantangan pembaharuan

 

Tebarkan senyummu untuk semua orang

Karya Indah yang Kita  punya,  manfaatkan!  berbagilah untuk sesama

Buatlah  karya  nyata  yang baru

Buktikan  kamu  pasti bisa, Ya!! Pasti bisa!

 

Hidup kita hanya  sebentar  saja,

Buatlah untuk hal -hal yang bermanfaat, karya nyata yang berguna

Betapa bangga  anak cucu kita

Jika  kita sudah ’tiada’,  tapi karya  kita  masih dikenang  di sepanjang masa

 

Selamat Jalan  tahun 2020

Selamat Datang tahun  baru 2021

Barukan gairahmu, barukan cinta dan kasih sayangmu

Tebarkan pesona  untuk sesamamu

 

                                                                                                                Waingapu, 16 Desember 2021


Sahabat Sejati

 



Oleh : Ledwina Eti Wuryani

 

Pada suatu pagi, Langit masih begitu  gelap. Hujan telah    berhenti .  Angin menyusup di relung hati terasa dingin. Rasa  kantuk  masih menyelimuti diri. Dalam peraduan, Heni  menarik  kembali selimutnya  mencari kehangatan dan membungkus lagi tubuhnya yang mungil dan melanjutkan tidurnya. Bola mata kerlap-kerlip  engan menutup matanya.

Mata tak mau terpejam, pikiran terus melayang .  Mengingat tugas rutin yang  wajib dikerjakan. Heni hanya bersama ibu. Mereka harus kerja  demi kehidupan bersama ibunya. Ayahnya  sudah meninggalkan mereka 3 tahun yang lalu, karena sudah lama menderita  sakit.  Saat itu Heni kelas 5 SD.  Waktu  itu mereka  hidup bertiga. Hari-hari  bapaknya  menjadi  pemulung, ibunya  ‘buruh’ di pasar, jadi tukang  gendong barang orang yang belanja di dalam pasar  kemudian dibawa keluar pasar dan  Heni sedari kecil hingga kini berusianya 10 tahun bertugas  menjajakan koran di pinggir jalan.

Bapaknya meninggal tanpa meninggalkan harta sedikitpun.  Hanya sisa  penderitaan yang ada. Hidup sebagai keluarga miskin. Berumah  kardus di bentaran kali code.  Hati terasa ingin protes. Kenapa  hidupku  berbeda  dengan orang lain?. Henii kecil memang harus  menerima kenyataan. Hidup harus tetap dijalani!.  Sesulit apapun.!

Hidup adalah perjuangan. Hidup adalah tantangan dan hidup juga  penderitaan. Kita  harus hadapi dengan lapang.  Ibu Heni berfikir dan tercenung.  Ia bukan protes. Tanya dalam hatinya, kenapa  aku  miskin?.  “Kenapa  aku dulu jatuh cinta dengan bapaknya Heni yang jelas-jelas orang miskin!, Ah!!, namanya cinta.  Cinta memang buta. Demi cinta  gunung kan ku daki lautpun kan kuseberangi. Biarlah demi  ‘yang tercita’ aku  rela berpuasa asal ‘kau’ selalu disampingku.  Ah!!, Itu masa lalu. Bikin sesak di dada jika ingat waktu itu.

Waktu itu orang tuaku tak setuju nikah dengan dia,  tapi akhirnya aku lari. Demi cinta suciku, kutinggalkan keluarga besarku. Tapi, sekarang!! Ini adalah Resiko.  Ini adalah tanggung jawabku. Dengan segala masalah dalam kehidupanku akhirnya aku ‘jatuh’.  ‘Aku jadi hidup sengsara,  duka lara dan nestapa.  Miskin papa.  Aku anak yang durhaka. Anak yang tidak  taat pada orang tua.  Kini......aku hidup di  hamparan  sungai bersama  gundukan sampah kiriman dari kota. Aroma busuk menyengat  yang harus selalu ku hirup setiap saat.

Penyesalan tak ada guna. Aku tak mungkin  melaporkan keadaanku  pada keluargaku. Ditaruh mana mukaku kalau  aku mengadu. Kalau perlu janganlah  ada  keluargaku yang tahu tentang kehidupanku. Jangan!! Itu memang salahku. Saatnya aku  mohon pengampunan.  Tuhan  tetap akan menolong  hambanya yang  telah menyesali kesalahannya. “Saya harus terima  kenyataan pahit ini”, rasa penyesalan ibunya Heni dalam hati.

Kini, Heni  tinggal hanya dengan ibunya. Ibu Heni  begitu sayang pada putri satu-satunya. Setiap pagi  sebelum Heni  berangkat ‘tugas’. Ibunya  sudah menyediakan  minuman teh panas. Siapa duluan bangun, ya mereka yang buat teh panas.  Tak ada waktu untuk sarapan. Kalaupun ada kue itu adalah anugerah. Ibu Heni kerja di pasar  sebagai buruh, tukang  bawa  barang orang-orang yang belanja.  Jika ada orang belanja  di dalam pasar untuk menuju keluar pasar,  ia yang  tukang ‘gendong.  Diberi imbalan  ‘hanya’  kerelaan dari orang yang minta jasanya.

Biar miskin  tak penting  hidup mengeluh.  Hidup harus kerja. Hidup harus berusaha sesuai dengan kemampuan kita.  Sebenarnya  belum saatnya Heni berpikir seperti itu. Itu adalah pikiran orang dewasa. Seandainya  aku  dilahirkan oleh seorang  ibu yang  kaya, pasti aku senang sekali.  Aku bisa minta dibelikan sepeda. Aku  bisa  main-main dengan teman-teman dengan leluasa, tanpa harus kerja. Aku juga  bisa pake baju yang bagus. “ Ah!!.  Itu  pikiran yang konyol !! “ ungkapan perasaan Heni.

Bangun tidur  Heni segera ketempat biasa, di taman kota  tempat  ia mengambil koran-korannya. Dia  bangun lebih  awal dari biasa. Hari  masih pagi ketika Heni berangkat  menuju jam kota. Dilewatinya  pos polisi yang berada  tak jauh dari  tempat itu.  Seorang polisi nampak  di atas sedannya. Seorang polisi menjulurkan  kepalanya keluar  jendela sedan sambil  memanggilnya, “Hai!! beli  satu korannya!”.  Pak Polisi itu kemudian menyodorkan uang harga korannya.  Di  lampu merah  seorang ibu  memanggilnya untuk membeli juga, dengan lari kecil Heni segera mendekatinya.

Pulang menjajakan  koran terasa lelah, hari ini dia pulang lebih awal karena  masih pagi koran ‘jatah’nya sudah habis.  Beruntung memang hari ini dibanding hari-hari biasa. Seperti biasa  jam 13.00 Heni harus  sekolah. Ini rutin ia jalani setiap hari. Pulang sekolah jam 18.00 WIB.

Yang  Selalu terpikirkan olehnya pada saat itu dan  juga di beberapa tahun ke depan.  Dia harus bekerja lebih giat. Kalau ke sekolah lebih awal, dan naik kelas  dengan nilai yang baik.  Ibunya  selalu berpesan, jadi orang  harus  bangun pagi. Jika orang bangun siang, rejeki pagi sudah diambil orang. Jika kamu jualan koran, kalau sudah  siang mana orang  mau beli, ya orang yang jualan pagi tadi yang sudah dapat rejeki.

Hari masih  pagi, terdengar  ayam berkokok di luar  rumah. Dia bangun pagi-pagi buta. Sebelum  turun dari tempat  tidurnya  seperti biasa,  berdoa , ucapan trimakasih  sudah  bisa tidur nyeyak  malam tadi.  Dan mohon  menyertaan Tuhan   untuk hari yang baru.  Dengan selalu berdoa, hidup terasa damai dan nyaman.

Ibu dan Heni  merasa  menikmati  hidupnya. Yang penting  bersyukur pada Tuhan  selalu diberi kesehatan.  Makan  seadanya nikmati saja.  Hari-hari  terus berlalu.  Saat  Heni  duduk sendiri  dan termenung.  Saat itu datanglah Devi  menemuinya.  Dia  tahu Heni  karena sering  diajak jalan-jalan pagi oleh opanya.  Devi  adalah anak  orang  ‘berada’.  Terlihat dari penampilannya. Dia mau  mengajak  Heni main di rumahnya. Kebetulan hari itu hari libur.

Setelah ijin sama ibunya pergilah mereka menuju  rumah Devi. Mamanya  memperbolehkan pergi karena tugas Heni sudah selesai. Uang hasil loper sudah dikasih ibunya.  Tak lupa simpanan  ‘wajib’ untuk ditabung di  tiang bambu kamarnya.   Jadi loper koran tidak sepanjang hari.  Tergantung keberuntungan hari itu.   Bos biasa memberi jatah  berbagai  koran   20- 50  ekssemplar. Ada juga majalah.  Kalau lagi untung jam 10.00 WIB   sudah terjual habis. Kalau lagi sial, yach!, sampai jam 13 belum habis. Tak jarang Heni dari menjajakan koran langsung pergi sekolah karena sudah jam 13.00 WIB. Waktunya sekolah.  Kalau  ternyata jam yang ditentukan belum habis berarti koran yang tidak laku dikembalikan  ke Bosnya. Lumayan hasil penjualan koran bisa untuk  biaya  hidup bersama ibunya.

Tibalah mereka di rumah Devi. Mata  Heni terbelalak. Tercengang melihat Rumah teman barunya,  yang ‘wow’.  Rumah begitu mewah, ada kolam  tempat mandinya. Halaman dalam begitu luas.  Ada juga 2 ekor  monyet  yang dipiara papanya Devi. Dengan  wajah ramah  mama Devi mempersilahkan Heni masuk.   Heni  yang  berpakaian dekil enggan untuk masuk.  Ditariknya tangan Heni, “mari Hen, ayo masuk!” ajak Devi. Setelah masuk segera Devi lari kecil ke kamarnya dan mengambilkan baju untuk Rini .  Dengan senang hati Heni  menerima pemberian Devi. Disuruhnya langsung ganti pakaian dan mandi di kamar mandi.  Terkagumnya tak pernah berhenti, Duh!! Bahagianya hati Rini. Mama Devi orangnya baik sekali.  Mama Devi menawarkan kalau ada waktu Heni  dibolehkan  main-main karena Devi tidak ada teman di rumah.

Rini menatap ibunya  Devi dengan mata  seolah terkagum. Sorot mata Heni  tertuju  ke sosok mamanya Devi yang suaranya   menyejukkan hati.  Heni  selalu membayangkan bahwa orang kaya itu  sombong.  Ternyata  yang ditemui sekarang orangnya baik sekali.  Dirumah Devi, Heni  diperlakukan dengan sangat baik

Devi dan Heni seumuran.  Begitu senang  Heni mendapat tawaran dari mamanya Devi. Setelah makan  dan menjelang sore Heni pamit pulang. Sampai di rumah  mamanya  belum juga ada di rumah. Selang beberapa  menit akhirnya mamanya datang dengan peluh dan keringat.  Dia membawa  bungkusan, ternyata ada 2 potong kue untuk Heni. Heni simpan dulu di atas  lemari kayu keropos samping kamar tidurnya.

Hati Heni terasa berbunga-bunga . Eh!!, ternyata ada sebuah bungkusan lagi yang dibawa mamanya, karena penasaran dibukalah. “ Bu??, ini ada sepatu untuk siapa??” Tanyanya penasaran. “Itu untuk kamu!”, jawab ibunya dari luar  karena sementara mencuci piring. Ibunya  membeli di rombengan ( pasar loak jualan barang bekas: Red) untuk ganti sepatu Heni yang sudah  sobek dan sudah tak bisa dijahit lagi. Begitu senang hati Heni.  “Kamu harus sekolah yang baik, supaya jadi anak yang pinter.  “Harus rajin belajar!”, terdengar suara ibu dari  dapur. “Jangan seperti ibu sekarng!”, lanjut suara ibunya. Hati Heni begitu. Dia berharap  cepat pagi  dan besok sekolah  sudah dengan sepatu yang baru. Yess!!

Langitpun mulai gelap. Suasana  mendung membuat gerah.  Mamanya sibuk  merebus singkong dan  membuat sambel tomat campur terasi kesukaan Heni.  Setelah  mereka  makan,  sore itu semakin gelap, Heni kerja PR dengan diterangi sinar lampu teplok.  Setelah habis kerja iapun  tidur.  Rasa lelah dan penatnya badan,  tak terasa  tidurpun  langsung lelap.

Semalam  sehabis makan sebelum tidur, Heni sempat cerita kepada ibunya kalau tadi siang diajak kerumah Devi. Teman barunya.  Heni cerita  banyak hal tentang keluarga Devi.  Dengan penuh semangat dia cerita   dari  a  hingga  z.  Ibunya begitu bahagia mendengarkan cerita Heni.  Ibunya  menasehati jika nanti pergi lagi ke rumah Devi sopan. Harus jujur. Jangan sekali-kali  berbuat salah di rumah  Devi. Jangan pula mengecewakan mereka, “Heni harus tahu diri , kamu  orang miskin dan bukan siapa-siapa“. Heni mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.

Akhirnya Heni kecilpun  sudah  bisa berpikir maju. Dia berjanji pada ibunya  akan  lebih rajin menjajakan koran. Dia  akan bangun pagi lebih  awal  lagi supaya  nanti hasil jualan lebih laku banyak. Mulai hari  ini  Heni akan menepati janjinya. Dia Bangun  lebih pagi dari  hari-hari biasa. Dia langsung menuju  di Jam kota, tempat  dia biasa mangkal.  Sampai di tempat  tujuan, ternyata  Jun dan  Asna sudah  duluan ada.  Itu tak menyurutkan niatnya. Ternyata  mereka bertiga punya semangat yang sama. Mereka punya mimpi yang sama untuk  menjadi anak yang pintar dan punya masa depan yang lebih baik. Mareka selalu menjadi peringkat di kelasnya.  Merekapun akrab seperti saudara,  orang-tuanya sama-sama  hidup bertentangga Cuma  agak jauh , sekitar 500 m dari gubuknya Heni.

Pulang  dari loper koran ternyata Devi sudah menunggu di rumah Heni.  Diajaknya Heni  pergi bersamanya. Tak pikir  panjang Heni segera  mengekor di belakang Devi. Mereka berjalan  beiringan. Sampai di rumah  mamanya  sudah  menyiapkan makan untuk Devi.  Hidangan  yang  amat lezat mustinya.  Heni hanya bengong saja ,  selama  hidup belum pernah lihat makan yang model begitu. Ini adalah makan  enak yang akan dia  rasa pertama kali dalam hidup.  Tak  pikir lama  merekapun berdua  makan dengan lahap. Mama Reni tersenyum melihat  kedua anak itu makan dengan lahap. Selesai makan, diajaknya  Rini bermain di teras rumahnya. Berbagai mainan  milik Devi ditunjukkan kepada Heni. Diberinya  Heni  beberapa buku  tulis baru yang cantik  hadiah ulang tahun dari papanya. Begitu senang hati Heni.

Tugas rutin harian  pun tak pernah absen. Tabungan di  tiang bambu  tetap berjalan.  Tak terasa  waktupun terus berjalan.  Kini Heni  harus  masuk SMA. Sesuai  dengan kemampuan ekonomi orang tua. Heni sekolah   paling dekat yang bisa di tempuh dengan  jalan kaki.  Hari  pertama sekolah begitu bahagia. Bertemu dengan teman-teman barunya.

Heni dengan baju layak pakai yang ibunya beli dari  rombengan. Begiutu pula sepatunya. Itu  tidak menyurutkan  hati Heni . Heni tetap bersemangat. Dia tidak pernah  punya rasa  minder kepada teman yang lain. Nasehat-nasehat  dari ibunya selalu  diingat.  Orang hidup  sopan, rendah hati dan jujur.

Pertemanan antara Heni dan Devi pun tetap berlanjut. Mereka adalah teman akrab. Papa dan mamanya Devi juga sayang kepada Heni.  Bahkan sering kali jika mereka  pesiar,  Heni selalu diajak.  Sering juga  Orang tua Devi membelikan baju untuk Heni sebagai hadiah.

Begitu senang orang tua Heni kepada anak sewayangnya.  Suatu malam Saat Heni tidur lelap dibelailah  putrinya dengan penuh kasih sayang. Tak terasa  air mata menetes  dipipinya. Diusapnya  perlahan dengan kain kumal selimut Heni. Ibunya berpikir dan termenung...trimakasih Tuhan biar kami  miskin tapi kami  hidup bahagia bersama  putri kesayangannya. Dia selalu berdoa dan memohon kepada Tuhan supaya Heni menjadi anak yang berguna. Anak yang  pintar.  Hidup yang lebih baik. Punya  suami yang  ada  pekerjaan jelas. Penuh pengertian, setia, sayang sama istri dan mapan.

Heni  dewasa  begitu cantik. Heni mempesona. Banyak lelaki yang  mencintainya.  Dia kerja di sebuah kantor yang terkemuka. Ibunya bangga sekali dengan  Heni. Tak henti-hentinya dia bersyukur pada Tuhan.  Akhirnya Heni  menjatuhkan pilihan dengan  seorang pemuda yang gagah. Tampan. Baik hati. Dermawan  dan taat agamanya. Begitu Ideal suami Heni.  Heni dan suaminya hidup bahagia.  Begitu idealnya pasangan suami istri itu.  Mereka dikaruniai 2 anak laki-laki  yang lahir kembar. Lengkaplah kebahagiaan mereka.  Setiap kali mereka datang  menengok ibunya selalu  membawa oleh-oleh makanan kesukaan ibunya. Martabak!.  Bahkan ibunya juga  dibelikan baju  yang bagus, “pasti ini mahal harganya”, suara batinnya.  Suatu hari  Heni dan suaminya datang  menawarkan  ibunya untuk pergi bersama-sama untuk ‘umroh’...Wah!!  itu adalah  kebahagian yang tak terkira. Ibunya  tersenyum bangga. Itu adalah mimpi ibu dalam hidup. Betapa bahagianya jika sebelum mati  bisa  pergi ke Mekah.  Tuhan sungguh baik. Tuhan teramat baik. Menitipkan  ‘seorang’  Heni yang selalu membanggakan orang tua. Airmata terharu menetes deras di pipinya.

Tiba-tiba!! “Ibu-ibu!!, sudah pagi  bangun ibu!!, suara Heni memangil-manggil ibunya. Aduh  ternyata saya mimpi!!,  jawab ibunya  sambil mengusap matanya.  Ibu Heni segera bangun, Heni sudah menyiapkan minunam teh panas seperti biasa.  Tak lama kemudian dia  mencium tangan ibunya lalu  segera pergi.

Ibu  Heni minum teh dan termenung memikirkan mimpi semalam. Tak pikir panjang ibunya Heni  mempersiapkan diri cepat-cepat pergi ke pasar.  Alhasil Mimpi  akhirnya ibunya Heni jadi kepikiran terus.

Hari terus berlalu, Heni dan Ibunya pun tak pernah alpa untuk  menunaikan sholat 5 waktu.  Setiap hari doa  untuk  kesehatannya dan rejekinya. Dia pun berharap semoga kelak  diberikan kehidupan yang  lebih baik .

Orang hidup haruslah punya mimpi supaya kita  lebih semangat menjalani hidup.  Hidup ini keras.  Kita harus menjalani hidup dengan penuh suka cita dan selalu bersyukur dengan apa yang ada.  Tuhan memberi rejeki tidak akan salah alamat. Sepanjang  kita terus berdoa  Tuhan akan menjawab doa kita.

Hidup  jangan  melanggar perintah Tuhan. Jangan  punya  rasa iri, dengki , sombong, congkak dan tinggi hati.  Apalagi seperti kehidupan Heni dan ibunya, biar  hidup miskin tapi bisa menikmati. Jangan lupa bahagia.

Tak terasa  kini Heni sudah  kelas  3 SMA. Alhamdulilah!!. Berkat kerja keras semua tak  ada yang sia-sia. Devi dan Heni pun masih terus berteman walau mereka sekolah di tempat yang berbeda.  Beruntung sekali  Heni,  dalam belajar  dia bisa  pinjam  bukunya Devi. Mereka  bisa  belajar bersama. Dengan  segala fasilitas yang Devi punya. Ada Lap top, ada HP android.  Dimana jaman sekarang tuntutan  siswa  ‘harus’ punya fasilitas itu. Apalagi saat Pandemi melanda. Saat Belajar dari Rumah.  Devi adalah’malaikat’nya Heni. Banyak hal  kesulitan Heni,  Devi yang membantunya. Mereka bisa  saling mengisi, saling melengkapi dan saling membutuhkan. Itu teman sejati.

 Berteman dengan Devi  yang ‘nota bene’ orang  berada, Bisa  saja membantu keuangan  Heni saat Heni kesusahan keuangan . Cita-cita Heni  tak pernah lenyap di telan waktu. Dia  dari dulu ingin jadi guru.  Dia selalu  kagum dengan  pengabdian seorang guru.  Hidup bersahaja. Tidak pernah  foya-fota.  Biar guru sekarang  sudah  bisa mempunyai kehidupan yang ‘ baru’. Maksudnya  Dulu profesi guru sering di pandang ‘sebelah mata’. Tapi sekarang  banyak  para pemuda-pemudi yang bercita-cita  jadi guru. Bahkan ada yang  kuliah  jurusan teknik ambil akta mengajar untuk jadi guru. Dokter hewan juga  ambil akta  untuk jadi guru. Tehnologi pertanian juga ambil akta untuk jadi guru. Banyak  jurusan-jurusan lain yang ambil akta sekarang jadi guru. Jaman sekarang  guru jadi Idola.

“Kalau tidak sanggup  menahan perihnya  belajar, berarti kamu harus sanggup menahan  perihnya kebodohan”, Iman Safi’i.  Tidak ada keberhasilan yang tanpa kerja keras.  Iq itu hanya 1% sedangkan kerja keras yang 99%. Ada saja orang yang terlalu mengandalkan  IQ tinggi, tapi tak pernah belajar!. Ya percuma!. Hidup bagai roda, kadang di atas, kadang  di samping, bahkan  bisa saja  di bawah...begitu terus  berputar.  Kita semua pasti mengalami.

Ketika aku menemui beberapa tahun kemudian. Sosok Heni tidak seperti dulu lagi. Heni kini sudah remaja. Heni begitu cantik. Dia menunjukkan  kedewasaannya dan penuh mandiri. Heni siap melanjutkan  kuliahnya dengan modal prestasi yang ia miliki.  Kejarlah terus  mimpi hingga  tercapai untuk  kehidupan yang lebih baik di hari nanti.

 

                                                                                                Waingapu,  25 Desember 2020

 

 

 


Perjuangan Seorang Gadis

 




Oleh : Ledwina Eti Wuryani

 

                Disuatu  desa yang  cukup jauh dari rumahku ada seorang gadis manis bernama Melly.  Dia sekarang duduk di kelas 1 SMP. Tidak  seperti anak seusinya , dia harus berjalan eskstra dari rumahnya untuk sampai ke sekolah. Bagaimana tidak!  Jarak rumah ke sekolah 7 km lebih. Tak pernah ada  keluhan, dia selalu semangat. Dia harus jalan kaki setiap hari.

            Rumah di kampung  agak pedalaman sedang  SMP-nya ada di kota.  Untuk sampai ke sekolah harus melewati 2 sungai besar yaitu  sungai pabelan dan sungai  lamat.  Melewati  pematang sawah, sungai-sungai kecil-kecil aliran air persawahan. Dari rumah  sepatu di simpan di dalam tas.  Setelah  mendekati sekolah di pinggiran kota,  tepatnya di mesjid Kauman baru dia pakai sepatunya.

            Jam 06.00 WIB tepat dia  harus sudah star dari  rumah karena sekolah masuk jam 07.00 WIB.  Itu  dia  harus berjalan  setengah berlari supaya tidak terlambat  di sekolah.

            Hari senin seperti biasa, dia berangkat ke sekolah.  Pagi-pagi buta dia sudah  strat dari rumah. Dia pergi bersama dengan Mardani dan Atik  tetangganya. Mereka nyamperin di rumahnya. Ketiga sahabat itu sekolah di tempat yang sama. Hari Senin upacara bendera kebetulan dia bertugas  sebagai  pengibar bendera. Tentunya  harus datang lebih awal dari biasanya.

            Diperjalanan ke sekolah  selalu dinikmati. Disisi lain senang, karena sekaligus berolah raga.  Mereka berjalan  bertiga penuh semangat  dan buru-buru untuk cepat sampai di sekolah.  Mereka bertiga  seolah berlomba berjalan cepat,  keringat menetes, nafas terengah-engah tak dihiraukan, yang penting segera sampai tujuan.

Tepat  1 jam dia sampai di mesjid Kauman. Saatnya untuk mengenakan sepatu lengkap dengan kaos kakinya. Mereka langsung laju menuju ke sekolah . Tak ada  kendala  yang berarti di perjalanan tadi. Sampai  di sekolah  teman-teman  yang lain sudah  berbaris di halaman sekolah, tanda upacara  akan segera di mulai.  Mely pun berlari kencang  menuju ke kelas untuk menyimpan tasnya. Dengan tergopoh-gopoh dia langsung menuju ke tempat tugas upacara dengan nafas yang  masih belum stabil. Temannya  senyum-senyum melihat  Mely berkeringat dan  ngos-ngosan. Mely  melirik kearah Hasto dengan muka tersenyum nyengir juga.

Pak  Bi,  pembina osis masih  sibuk mengatur  barisan  perkelas yang belum rapi. Semua petugas sudah mempersiapkan diri. Para pemimpin  barisan  menertiban barisannya masing-masing. Paduan suara  sudah berbaris rapi. Daniel sang  komandan upacara sudah berdiri tegap  di tengah lapangan.

            Penggerek  bendera Mely di tengah didampingi samping kiri Hasto dan kanan  Esti widiarto. Mereka percaya diri  karena sudah seminggu mereka berlatih bersama pak Bi, Pembina Osis.  Upacara berlancar. Semua petugas melaksanakan  tugasnya dengan baik, saat ,amanat, kepala sekolah memuji kekompakan kelas kami saat tugas upacara. Alhamdulilah!!, begitu bangga kami sekelas. Karena kelas 7-B yang mendapat tugas untuk upacara bendera. Ibu Mila masuk  ke kelas  dan memuji  kami semua...., kami  tambah bangga dan   semangat tentunya.

            Mely anaknya rajin dan tekun. Di kelas 7-B dia yang jadi ketua kelas. Ibu Mila  guru wali  kelas tahu kalau Mely dari  kampung. Pada saat pendaftaran  siswa baru, ibu guru sempat  bercerita kepada  ayah Mely. Ibu Mila  mendekati   Mely  dan bertanya” Mely, jarak yang jauh dari  rumah apa kamu tidak pernah merasa keletihan? ‘Tidak bu’ jawab Mely. “ saya senang karena kami bertiga ( Atik dan Mardani)  berjalan bersama-sama setiap hari.

            Bapak Melly pernah  cerita kepada ibu Mila   kalau Mely berjanji  akan belajar rajin. Dia akan belajar baik-baik. Walau orang tua miskin, dia ingin jadi dokter.  Jika Tuhan mengabulkan cita-citanya, dia ingin mebantu orang tua,  membantu orang  sakit yang tidak mampu.  Dia ingin berbagi  kepada orang yang  kesusahan. Mendengar itu  ibu guru tak kuasa menahan haru.  Ia akan terus berdoa dan berusaha  untuk mengejar mimpinya.

Mely   masih kecil, namun keinginannya untuk belajar sangat  tinggi. Banyak  anak- anak lain yang orang tuanya mampu, tinggal di kota. Memiliki akses  mudah ke sekolahnya namun bersikap malas-malasan. “Baik mereka orang kaya, walau  mereka tidak sekolah baik-baik tapi  nanti ada  warisan  dari orang tuanya. Bagaimana dengan Mely?”,  guman Mely dalam hatinya.

Bapak Mely hanya seorang buruh tani. Upah harian  tidak cukup untuk makan sekeluarga. Penghuni  rumah  ada 6 orang.  Ayah, ibu, Mely dan 3 adiknya . Dua orang SD dan yang satu masih  umur 3 tahun.

Ibu Mely buka  kios kecil di  samping rumahnya. Barang jualan kebutuhan rumah tangga. Mely yang  bertugas  belanja di pasar. Setiap pagi  ibunya   mencatat barang jualan  yang perlu dibelanja di pasar sekaligus uang yang untuk belanja. Jadi  setiap pulang  Sekolah Mely harus  ke pasar untuk  belanja barang titipan ibunya.  Jadi setiap pulang  Atik dan Mardani  biasa pulang  duluan karena mereka tidak ada tugas  belanja dari orang tuanya.  Biar belanja berat dibawanya dengan suka cita. Kadang  kalau ada orang baik dan berjalan searah membantu bawa belanjaan Mely. Tapi itu hanya kadang-kadang atau kebetuilan.

            Pernah suatu hari  ibu menyuruh beli garam 1 dos isi  60 bungkus, sekaligus  minyak goreng satu derigen 5 liter.  Melly pun tak pikir panjang  setelah mbayar di Ongko  dikasihnya barang belanjaannya. Aduh!!,  betapa beratnya  ini barang dengan berjalan 7 km lebih. Tak mungkin lah barang  dikembalikan. Di pintu toko sudah tertulis “‘Teliti sebelum membeli ,barang yang sudah dibeli tidak boleh ditukar atau dikembalikan’ Mely hanya ‘melongo’. Sudahlah!!. “saya  harus semangat”, kata dalam  hatinya.”

Karena  beratnya beban, dia  jadi sering istirahat.  Dia doa-doa  supaya ada orang baik yang lewat. Setiap  satu km dia  istirahat. Keringatpun bercucuran membasahi  seluruh tubuhnya yang mungil. Kampung tengah  merintih, lapar. Ehh  nasib!!,  ternyata  tak ada orang baik yang  melintas dan  rela membantu bawa barangnya. Hanya orang-orang  biasa yang  tak pusing dengan orang lain. Ahh!! kok jadi ngelantur....... Sambil menahan lapar, terus....terus  berjalan..... akhirnya tiba juga di rumah.

            Betapa ibunya prihatin melihat  anak kesayangan  membawa barang seberat itu.  Wajah memerah dan keringat bercucuran.  Buru-buru ibunya segera menjemputnya.  Garam yang satu dos diambil alih ibunya. Yaahh!!, lega... .. Mely segera  ambil  air minun,  diteguknya  habis segelas  penuh!.  Ibunya  segera mengambilkan sepiring nasi untuknya.

            Di kelas 8, karena Mely juara umum, sebagai hadiah,  orang tua Mely membelikan sepeda.  Kebetulan  bapaknya ada rejeki. Sepeda itu merk poenix.  Sepeda jengki untuk perempuan. Dia sempat beberapa hari naik sepeda.Begitu senang hatinya. Hehe... karena  harus menyeberang 2 buah sungai besar, Sepeda yang harus digendong setiap nyeberang sungai.  Sehari 4 kali gendong sepeda tersebut. Akhirnya mely pasrah, tidak mau lagi pakai  sepeda ke sekolah. Berjalan kaki lebih  nyaman.

            Karena setiap hari jalan, kaki dan nafaspun sudah terlatih kaena terbiasa. Pak guru olah raga, Pak Bianto paling sayang  dengan melly.  Jika ada  lomba lari pasti  Mely salah satu target pak guru.  Mely sudah beberapa kali  menyumbang piala untuk sekolah, lari 100m, lari 200m 500m  bahkan  lari maraton  tingkat karesidenan  ia juara 2. Bangga!. Selain dapat uang  ia dapat sertifikat. Betapa senang hatinya.

            Ibu Naning, ibu Trini mereka  sayang  pada Mely, selain anaknya sopan , pinter dia juga kalau diberi tugas selalu tuntas. Sampai pernah suatu saat  Mely disuruh jaga  anaknya ibu guru yang  opname di rumah sakit. Saking dekatnya ibu guru itu dengan Mely dan anaknya yang sekelas dengannya. Sebuah pengalaman berharga juga buat Mely, karena rumah ibu hanya dibalik tembok sekolah, Mely tak perlu jalan 7 km dari rumahnya. Seijin orang tua Mely ia sampai nginap 3 hari di rumah sakit.

            Mely juga  suka berpuasa saat punya  keinginan tertentu. Ini belajar dari neneknya yang suka puasa hari senin dan kamis. Dengan berpuasa artinya melatih dan  memerangi hawa nafsu, Rasa hati Meli jadi lebih damai. Hidup terasa tenang dan tak pernah ada gangguan. Dengan itu ia berkeyakinan  semua hal akan berjalan  lancar. Misal ia  punya kerinduan ‘bisa’ kerja ujian, atau supaya orang tuanya  mendapatkan rejeki  untuk mencukupkan  biaya sekolahnya dan lain-lain.

            Waktu terus berjaalan, Mely pun tetap semangat dalam belajar. Mely di kelas selalu rangking 1. Tak terasa kini  Mely sudah kelas 9. Ini tandanya  dia akan  menempuh  ujian SMP dan  ke jenjang yang lebih tinggi ,SMA.  Nabila (anaknya ibu Naning guru bahasa Inggris) adalah  sahabat yang selalu  menemani  Mely  saat  di perpustakaan  atau kerja tugas di sekolah. Bahkan buku-buku pelajaran biasa pinjam darinya. Nabila adalah orang ‘paling’ berjasa untuk Mely. Mereka saling  melengkapi, Mely punya otak yang cerdas, Nabila  punya fasilitas yang lengkap. Mereka kompak!, rela berbagai iklas memberi. Jika ada mata pelajaran yang Nabila kuang mengerti  Mely yang ditanya. Begitupun teman-teman yang lain, tak segan bertanya pada Mely. Klop!. Mereka saling memotivasi.

            Ujian Nasional berakhir. Mely,  Nabila  dan beberapa kawannya sudah libur. Mereka menunggu hasil 2 minggu lagi. Mely adalah siswi teladan di SMP  itu karena  dia selalu pegang juara umum.  Ia tak kesulitan  untuk masuk SMA dinamapun dengan  modal  sertifikat  siswa teladan yang ia punya. 

Kini Mely sudah Di SMA  Negeri 1 Magelang. Dia tetap  terus  berusaha semangat belajar  demi cita-cita yang  diimpikannya. Waktu  terus  berjalan. Kios mamanyapun berjalan lancar. Bapknya selalu memberi semangat  kepada Mely.  Doa selalu  didaraskan  setiap hari untuk  mewujudkan mimpinya itu.  Ditulisnya semboyan di kamarnya dengan  tulisan indah  dan bertinta emas.

Bertekun dalam belajar, semangat dalam  menggapai  cita-cita , tersenyum dalam setiap perjuangan, berdoa dalam setiap usaha, “Tuhan pasti  akan  memberikan ‘bukti nyata’  usaha  dan kerja keras kita  tak akan sia-sia”.

 

            Kelas 10 dan kelas 11 telah dilaluinya, dua kali  ia ikut  lomba  olimpiade matematika. Dia  juara harapan 1  tingkat  kabupaten,  waktu itu masih kelas 10  hampir saingannya hampir kelas 11,dia belum ada pengalaman. Rasa gugup, takut,  dan minder mendominasi pikirannya. Di keas 11 ibu guru  menunjuk lagi untuk Mely ikut,  dengan bimbingan bu Elin yang sabar akhirnya dia  bisa tembus ke propinsi. Wow!!, itu  sejarah  hidup yang tak ternilai harganya. Dia pergi Ke Balik Papan, Kalimantan Barat. Naik pesawat. Tidur di hotel berbintang. Dapat uang saku, Ahhayy!!.....bisa untuk cerita anak cucu kelak!.

            Betapa rasa bangga  kalau kita bisa menyumbangkan ‘piala’ kepada  sekolah. Selain bangga untuk  pribadi, minimal akan diingat  beberapa guru bahkan kepala sekolah. Selain itu, kejuaraan juga pasti akan berdampak untuk  kelanjutannya nanti.

            Mely masih selalu peringkat setiap tahunnya.  Kini sudah memasuki semester akhir di SMA. Tak terasa!. Artinya dia  sudah harus melajutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Kuliah!. Elsy  adalah teman dekat Melly. Mereka begitu akrab. Elsy  orang tuanya penjabat, tapi anaknya sederhana dan tidak neko-neko.  Tak jarang  Elsy  memberikan bantuan kepada Melly,  misal buku. Bahkan pernah suatu saat  Mely di ajak ke rumah Elsy, orang tua Elsy menberi hadiah  baju baru kepada Mely.

            Ujian Nasional SMA pun telah berakhir. Mely, Elsy dan  teman-temannya  saatnya menunggu hasil  kelulusan. Semua kelas 12  pasti  sementara tunggu hasil  dengan dag dig du. Tanggal 16 Mei pengumuman  kelulusan. Tiba saatnya  pengumunan. Melly  dan Elsy saling  mendoakan. Undangan kelulusan sudah  diberikan dari pihak sekolah 2 hari yang  lalu. Hari ‘H’ tiba. Para oarng tua  datang bersama  anak-anaknnya. 

            Sebelum  08.00 Wib  orang tua Mely  sudah  menunggu di depan pagar karena memang pagar  sekolah masih tertutup. Tak selang berapa lama  orang tua dan teman teman yang lain berdatangan. Para orang tua dan anak-anak menuju kekelas masing-masing. Para wali kelas  pun sudah menunggu.

            Saat pembagian  hasil kelulusan, Mely mendapatkan 2 buah ampolp  secara bersamaan. Di kelas Mely XII IPA 3, semua  sudah mendapatkan amplop. Ketegangan  dan kekawatiran pun terasa. Akhirnya  ketegangan saat itu ‘pecah’ setelah mereka membuka  amplop masing-masing. Betapa bahagianya mereka, ternyata semua lulus.  Wali kelas pun ikut  bahagia  dengan kelulusan seluruh siswanya.

            “Puji Tuhan..., aku lulus”, ucap Mely setelah  ayahnya membuka  amplop tersebut. Saat itu  amplop yang kedua dibukanya dengan rasa penasaran. Dengan tangan gemetar  dia membaca  isi amplop tersebut. Antara percaya tidak, dia baca ulang-ulang isi amplop itu. Antara menangis, terharu, bahagia,  campur aduk  jadi satu.

Ternyata isinya  adalah  surat  pemberitahuan  bahwa dia sebagai  penerima  beasiswa “Bidik Misi” kuliah  kedokteran di UGM. Tak henti-hentinya dia bersyukur pada Tuhan. Dia pun segera mencium tangan guru di depannya. Tak lupa ia langsung lari ke ruang kepala  sekolah untuk mengucapkan terima kasih.

            Elsy mengetahui  kalau sahabatnya ini adalah  orang yang  sangat giat belajar. Dia rajin dan tekun. Dia disiplin, rendah hati dan  familiar. Setiap jam istirahat  dia memilih ke perpustakaan dari pada ke kantin. Selain dia tidak  ada uang saku, dia  juga harus  prihatin mengingat keadaan dan kemampuan orang tuanya. Jadi ia  lebih memanfaatkan waktunya  untuk belajar di perpustakaan.

Ternyata  benar! Tidak ada usaha  dan kerja keras yang sia-sia. Sepanjang  kita semangat, tekun,  rajin  pasti akan menuai hasilnya. “Iq itu hanya  1 %  sedangkan kerja keras yang 99%”. Semua  keberhasilan  melalui proses bukan instan. Siapa yang menabur dia pula yang menuai hasilnya.

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...