Oleh
: Ledwina Eti Wuryani
Pada
suatu hari, Bagas siswa kelas 11B dipanggil
ibu Marthina untuk datang ke ruang BK.
Bagas adalah murid paling bandel dan suka mencari masalah di sekolah.
Hampir semua guru tidak sanggup lagi
untuk menasehatinya. Segala jenis hukuman
telah diberikan, tapi Bagas tetaplah tidak berubah sama sekali.
Seperti pagi ini, hari Senin, sebenarnya ada jadwal upacara. Bagas si bandel datang terlambat lagi. Dia kena hukuman
dari Pak Soni , pembina osis. Guru paling galak di sekolah. Bagas di
suruh berdiri di lapangan upacara hingga
jam istirahat pertama selesai. Setelah itu, ia harus membuat 5 buah lubang ukuran
(1x1x1) m3 untuk tanam pohon sakura di sekolah. Supaya jera pak Soni masih suruh
lagi membersihkan toilet putra di samping
kelasnya.
Sebenarnya
pak Soni tidak tega sampai
menghukum seberat itu. Hingga terpaksa
menghukum Soni seberat itu. Bagas betul –betul membuat pak guru marah.
Bagas menjalani hukuman dengan rasa biasa saja. Ia tidak ada
perasaan malu atau bersalah. Dia jalani hukuman dengan
santai saja tanpa beban. Sambil menjalani hukuman masih saja sempat jahil dengan anak perempuan. Dia lempar temannya itu dengan air campur tanah hingga bajunya kotor. Dia merasa bangga dan tertawa. Ahh!!, pokoknya anak ini sangat menjengkelkan.
Di
dalam kelas, saat pak guru menjelaskan
dia main HP sendiri. Dia tertawa-tawa
sendiri. “ Bagas!!, bawa hp itu ke sini!”, seru pak Arnol kesal. Akhirnya di bawalah hp
ke depan dan ditaruh di meja guru. Pak Arnolpun melanjutkan menjelaskan tentang materi ‘reproduksi’ Bab 2, pelajaran
biologi.
Bagas tusuk-tusuk
pantat Desi yang di duduk tepat
didepannya, hingga kaget. ”Pak guru!! Ne Bagas
ganggu terus!”, teriak Desi merasa
jengkel karena terganggu. “ Hhhh!! Ini anak,!!”, Pak Arnol
pun murka. “Bagas.....kamu keluar saja ya!!, disini tempat anak-anak ingin belajar, kalau kamu ‘tidak’
mau belajar kamu keluar!!, “, teriak pak Arnold saking kesalnya. Bagas tidak
mau keluar, hanya nyengir-nyengir saja.
Kelas
mulai tegang!. Teman-teman menyuruh Bagas
segera keluar. “Bagas keluar !!....., cepat kau kelaur!!!!”, teriak teman-temannya memohon. Eh!, Bagas
tidak mau keluar juga. “Kalau kamu ‘tidak’ mau keluar, biar pak guru yang keluar!”, kata pak arnol
sambil mengemasi barang-barangnya kemudian pak Arnol keluar. Suasana kelas
jadi tambah tegang!. Bagas di dorong-dorong temannya untuk keluar, tapi tidak mau juga.
Akhirnya teman
kesal sekali dengan sikap Bagas. Daniel, sang ketua kelas dan beberapa
pengurus kelas lari mengejar pak Arnol
yang sementara menuju ke ruang guru. Pak Arnol
mengajaknya untuk diselesaikan di
ruang BK.
Akhirnya
pak Arnol bersama Daniel, dkk menuju
ruang BK dan menyampaikan ‘masalah’ ini kepada guru BK. ‘Ini lagi!, Ini lagi!!”’ seru
ibu Marthina dan ibu Yubi guru BK.
Guru
mata pelajaran, wali kelas dan guru BK bahkan kepala sekolah bener-benar
tidak sanggup menasehati Bagas.
Sudah dapat surat peringatan 3 kali. Tidak pernah ada yang hadir. Kalau Bagas ditanya
‘diam’ seribu bahasa. Pokoknya membuat
orang jengkel.
Bagas
tidak pernah kerja tugas, catatan
saja tidak punya. Suatu hari ada ulangan matematika bu Tiwi. Siswa boleh ikut ulangan jika sudah kumpul tugas produk dan kerja PR tentang
materi ‘nilai mutlak’. Tugas
Bagas tidak ada. Tapi bu guru sudah
malas urusan dengan Bagas. “Persetan!!,
kata bu guru. “Nanti tambah stress urus Bagas, saya tak mau sakit kepala”, lanjutnya. Ulangan pun dimulai.“ Bagas, kamu mau nyontek ga? Saya bawa
contekan ne” bisik Arda di sebelahku
saat ulangan harian berlangsung.
“Wuih!
Boleh juga” ucap Bagas dengan
mengambil kertas kecil dari temannya itu. Bagas memang paling
malas untuk mata pelajaran kimia, fisika dan matematika. Catatan saja
tidak ada, bagaimana dia belajar. PR tak pernah kerja. Otak
betul-betul ‘nol’. Dia langganan nyontek untuk pelajaran itu. Bagaimana
tidak!
Waktu
terus berjalan, kenakalan Bagas sudah
tidak bisa diampuni. Akhirnya ibu wali
kelas datang ke kelas. Bertanya, siapa yang dekat rumah Bagas?.Tidak ada yang
angkat tangan. Ibu tanya lagi yang kedua
kali,” Ada yang tahu rumahnya Bagas??” Tiba-tiba Irene angka tangan. “ Dia
bertetangga dengan James kelas sebelah
bu, rumahnya di km 8 !”,
Akhirnya
ibu guru berencana mengajak James untuk
kunjungan rumah ke Bagas. Hari yang ditentukan pun tiba. Ibu Wali kelas dan dua
orang ibu guru BK, ditemani James ke
rumah Bagas.
Sampai
di rumah...sepi sekali. Rumah kosong tidak ada penghuni. Rumah bagus. Tapi berantakan.
Tanaman bunga banyak tapi tak terurus. Ada kolam ikan juga, tapi kering dan
kotor. Suasana rumah terlihat ngeri.
Rumah besar dan modern sebenarnya. Seperti rumah penjabat tapi tak beda
dengan rumah hantu.
Karena terlihat ada beberapa orang di
rumah Bagas, tetangga yang rumahnya
sekitar 200m menghampiri. Mereka
saling bersalaman dan memperkenalkan bahwa kami gurunya Bagas. Pak karim dan Ibu ( nama tetangga:Red)
mengajak kerumah mereka supaya bisa
cerita leluasa.
Suami
istri tetangga itu cerita banyak tentang Bagas. Mamanya Bagas, mbak Mun, orang
terkenal waktu itu. Semua orang tahu dia. Ternyata dia bandar narkoba. Sekarang
dipenjara karena tertangkap. Begitu juga bapaknya sudah lebih dulu10
tahun dipenjara. Dua adik Bagas sekarang di Jakarta dibawa tantenya. Bagas hidup sendiri di sini.
Ada
lagi bapak tua cerita Bagas baru-baru
dipukuli, dan kena sumpah serapah dari keluarga pak Dan (Bapak Sinta). Ceritanya,
Mama Sinta itu dulu teman baiknya mbak Mun. Melihat nasib Bagas yang hanya
sendiri, akhirnya Bagas juga dianggap
seperti anak sendiri. Dia memang tidur di rumahnya sendiri. Tapi dia sering di
rumah Sinta. Kebetulan Sinta teman
mainnya sejak SD hingga SMP tapi sekarang SMA-nya berbeda sekolah. Bapak
Sinta orang proyek dia kerja di PU ( pekerjaan Umum). Jadi bapak Sinta sering
tugas lapangan, jika pekerjaan jauh di luar kota pasti tidak pulang rumah. Bisa seminggu sekali baru pulang.
Mama
Sinta jualan di pasar induk. Pergi pagi
pulang petang. Anak-anak mereka sudah
diajar mandiri. Sinta sebagai anak pertama harus bisa bertanggung jawab untuk 2
adiknya yang masih SD. Sinta sudah trampil memasak, membereskan rumah dan semua
pekerjaan rumah. Kalau ada masalah mereka
bisa pergi ke mamanya di pasar. Adiknya
biasa bersama mamanya di pasar. Rumah Sinta pun
besar, dan mereka termasuk orang terpandang di kampungnya.
Waktu
terus berjalan. Bapak dengan
kesibukanya. Mama dengan kesibukanya.
Sinta pun dengan kesibukannya sendiri jaga rumah, urus adik dan membereskan
rumah. Untuk makan di pasar mama biasa masak sendiri karena ada juga dapur
kecil di kios. Bapak dan mama Sinta tidak pernah tahu apa yang dilakukan Sinta
dirumah. Mereka saling percaya karena Sinta dianggap sudah dewasa.
Bagas,
teman Sinta sepulang sekolah makan dan
tiduran di rumah Sinta. Karena Bapak dan Mama Sinta pun percaya kepada Bagas.
Bagas sudah dianggap seperti anak
sendiri. Namanya manusia normal. Jaman
sekarang anak-anak punya HP. Konten-konten hp bebas dan banyak
yang menarik. Lebih menarik lagi ada
adegan- adegan ‘tabu’ yang harusnya anak belum saatnya melihat. Apalagi
melakukan.
Waktu
mendukung. Peluang ada. Kesempatan
pun sangat luas. Akhirnya....Bagas
pun mulai melihat Sinta bukan sebagai adik.
Tapi dia melihat sebagai seorang ‘kekasih’ hati. Setiap melihat sinta ada rasa tertarik . Ingin memelu. Ingin
Mencium. Ingin yang lainnya......Begitu pun Sinta. Mereka merasa ‘saling’ membutuhkan.
Hari-hari
mereka nikmati bersama dengan bebasnya. Keluar masuk kamar sudah biasa.
Suasanapun mulai berbeda. Mereka ada perasaan yang berbeda juga. Rasa’cinta’
sebagai manusia nornal mulai terasa. Rasa rindu pun mulai membara antara dua insan manusia. Dengan belajar dan melihat adegan-adegan berbagai ‘model’ yang ada di HP
android mereka coba. Oh!!, begitu terasa
nikmatnya dunia.
Kini
, Sinta sudah ternoda. Tidak lagi
seorang gadis manis.
Kesuciannya sudah direnggut
Bagas. Mereka berdua sudah dimabuk asmara.
Bapaknya
lalu pulang tak sedikitpun curiga. Adanya Bagas di rumah pun bapak Sinta
aman-aman saja. Semua berjalan lancar.
Makan sama-sama, bercerita masih biasa-biasa. Bagas juga biasa disuruh membantu pekerjaan rumah
oleh bapak Sinta. Menanam sayur. Menanam bunga.
Membuat kandang ayam. Yach!! Pokoknya
dianggap anak ‘lelakinya’.
Mama
Sinta biasa pulang petang. Sekitar jam 6
sore baru pulang. Rumah pun tetap rapi
karena Sinta memang rajin. Prestasi di sekolahpun stabil, peringkat 5 besar
selalu di tangan. Keluarga tetap berjalan
aman.
Mereka
selalu menggunakan peluang saat mereka di rumah ‘hanya berdua’ saja.
Adik-adiknya di kondisikan supaya ke pasar bersama mamanya. Mamanya pun tahu
bahwa Sinta sibuk dengan tugas BDR (
belajar di rumah) dan membereskan rumahnya.
Seiring
berjalannya waktu. Sinta kelihatan
semakin kurus. Dia kelihatan sakit. Saat
malam hari mamanya gosok dengan minyak angin. Sinta tidak selera makan. Tapi mama tetap
tenang, paling dia sakit biasa, masuk angin.
Mamanya tetap jualan di pasar. Kios di
pasar besar, mereka jualan sembako.Ada 2
los yang dia punya. Yang satu untuk gudang beras, jagung, pa’o (makanan hewan)
dan yang satu sembako. Kiosnya bersebelahan. Mamanya sibuk setiap harinya.
Karena
tahu bahwa Sinta masuk angin, dia di larang
untuk ‘terlalu’ kerja. Istirahat
saja. Malam berikutnya masih saja kelihatan pucat dan lemas. Tambah dia
muntah-muntah. Mama masih belum curiga apa-apa. Hari terus berlalu 2 minggu
terakhir ini kok sinta muntah-muntah
terus. Deg!! Mama jadi rasa aneh dengan
sakitnya Sinta.
Mamanya
takut terjadi apa-apa dengan Sinta. Rasa takut, kawatir mulai membuat sesak di dada mamamya. Hari itu sengaja tutup
tokonya, dia tidak percaya dengan 2 pegawainya. Mamanya tahu kalau kedua
pembantu di kios tidak jujur.
Diajaknya
Sinta ke Rumah sakit umum. Setelah mendaftar dan antri, tibalah gilirannya untuk
di periksa. Setelah menjawab bergai
pertanyaan dari perawat, ibu perawat
langsung tanggap dan disuruhnya Sinta
untuk diperiksa air kencingnya.
Sudah
1 jam mereka menunggu. Mamanya sudah
tidak tahan untuk menunggu hasilnya. Rasa cemas menghantui dirinya. Tak lama
kemudian perawat datang dengan senyum
sumringah..... “selamat Ibu, Nona Sinta Positif hamil, ibu siap jadi nenek!!”’, kata perawat itu sambil
menyodorkan tangannya memberi selamat.
Mama
Sinta bengong, melongo!. Sinta tertunduk menahan sesak di dada. ”Tidaaakkkk!!!”,
teriak mama Sinta spontan.”mamanya histeris dan menangis!!, Orang-orang di
sekitar itu jadi merasa heran. ‘Ditamparnya Sinta sekuat tenaga!, digoyang-goyangkannya tubuh Sinta dengan kerasnya!. Dimarahi
habis-habisan Sinta saat itu. Mamanya
amat sangat murka. Antara, sedih,
ingin memaki dan menyumpah !!, Tuhaaannnn??!!,
kenapa anakku ternyata sejahat ini??.
Sinta
hanya tertunduk saja. Dia membiarkan
ibunya melampiaskan kekesalan. Ibunya sumpah serapah!! .padanya. Dia
tetap tunduk, dia mengakui karena memang
dia salah. Bagaimanapun !, alasan apapun! dia tetap salah. Bukti nyata jelas
sekali, tidak bisa berkutik.
Emosi
mamanya betul-betul meluap-luap. Sinta
yang cantik!, Sinta yang pintar di sekolahnya. Ternyata membawa sial. Sinta baru kelas 2 SMA, umur 16 tahun dia
harus melahirkan. Ternyata kandungan
Sinta sudah 4 bulan. Dia sudah beberapa hari tidak sekolah karena sakit.
Bapaknya
dengar begitu ‘geram’. Dia tak kuasa menahan emosinya. Sinta anak pertama, mereka 3 bersaudara perempuan
semua. Bagas yang dianggap anak sendiri
tapi....tenyata tidak lebih ‘binatang’.
Tak henti-hentinya ingin memaki. Keluarga jadi
berduka karena anak perempuannya
jadi ‘korban’ karena kelakuan bejatnya.
Saat
suasa keluarga tegang tib -tiba
bagas muncul mau makan siang. Tak pikir
panjang ditamparnya Bagas
berulang-ulang. Ditendangnya pinggul
Bagas hingga terputar. Bagas
menahan sakit lalu dia lari terbirit-birit. Dipanggil berulang-ulang
dia tidak tanggap. Dikerjarnya dengan motor tapi ia
sudah ‘lenyap’ entah kemana. Bapak Sinta terpaksa lapor polisi. Tapi keberadaan Bagar tetap
tidak diketemukan. “Biadap!!”. Teriak Bapak Sinta tak kuasa menahan
emosi. Bapak Sinta sungguh-sunggguh terlalu emosi.
Sejak
kejadian itu bagas ‘hilang’ entah
kemana. Pantas saja di sekolah juga sudah sekitar dua minggu ini tak ada.
Maksud pihak sekolah mau tahu keberadaaanya,
tetapi ternyata!!. Tidak ada juga di rumahnya.
Kini....nasi sudah jadi bubur. Bapak Sinta sangat
terpukul. Mama Sinta hanya bisa menangis.
Hati terasa teriruis-iris. Anak
kesayangannya menyakitinya. Selama ini
dipercaya dan disayangi dengan sepenuh hati. Ternyata Sinta mengkhianati
kepercayaannya. Adik-adiknya hanya ‘melongo’ karena tidak tahu apa yang telah dilakukan kakaknya.
Sebagai
orang tua. Bapak mama sekarang tinggal merenungi. Mereka masing-masing hanya
bisa refleksi. Hal ini bisa terjadi
karena ‘tidak’ ada perhatian dari orang tua. Menyayangi anak itu
bukan mencukupkan materi saja. Dengan membelikan motor terbaru.
Dengan membelikan HP paling modern atau
kebutuhan mewah lainya.
Perhatian.
Kasih sayang. Pendampingan siang, malan pagi
dan sore harus ada. Sedang dimana?” Lagi
apa?. Dengan Siapa? Khususnya mama Sinta. Inilah ’akibat’ dari kesibukan mama yang ‘terlalu’ percaya dengan
anaknya yang sudah ‘nona’. Biarpun menangis berair mata darah tidak mungkin lagi akan kembali baik. Piring
yang pecah tak mungkin bisa di tambal, di las atau dibagaimanapun. Tinggal
‘dibuang’ saja. Nilai dan harganya sudah ‘tidak ada’
Perut
Sinta semakin membesar. Dia sudah tak mungkin
lagi melanjutkan sekolah. Dia harus
bisa menerima kedatangan bayi mungilnya nanti.
Jamin di dalam perut tidak berdosa. Dia titipan Tuhan yang harus dipiara dan dicintai .Keluarga
harus bisa menerima. Walau hati sedih, ataupun perih . Semoga sang baby ,jika sudah lahir nanti....ia yang
akan menghibur keluarga dengan senyum manisnya.
30 Desember 2020