Minggu, 31 Oktober 2021

GURU KORBAN KONFLIK BENCANA - FAKSI - PUCUK DIKSI -

 


Ketika sebuah karya selesai ditulis maka pengarang  telah mati, Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi.

 

                Dari beranda rumah,  aku duduk termenung. Teringat kisah sedihku kala itu. Hati terkoyak. Perasaan bagai tersayat sembilu, sedih...perih..... air mata deras membasahi pipiku.  Oh Tuhan...  terimakasih untuk  pengalaman itu,  kini aku sudah bangkit kembali.

Kisahku ini biasa saja, sangat sederhana. Sebuah jeritan hati.  Mungkin saja tidak menarik bagi pembaca. Bukan hal yang Wow apalagi menghebohkan. Namun  pribadiku  meyakini bahwa setiap kisah kehidupan manusia  ada hikmah yang  bisa dipelajari. Walau hanya sekedar bacaan hiburan dikala ada sisa waktu senggang. Semoga bermanfaat atau menginspirasi. Semua ini tergantung dari cara memberi makna atas cerita  tentang suatu peristiwa  yang dibaca.

Lulus kuliah saya ditempatkan di SMA  Negeri Maliana Bobonaro Timor Timur. Kota Kecil yang saat itu masih  jauh tertinggal. Suasananya masih sepi.  Jauh beda dibanding hingar bingarnya  kota Jogya tempat aku menimba ilmu dari SMA  hingga lulus kuliah. Penduduknya pun masih ‘agak’ terbelakang. Mereka  masih makan sirih layaknya jaman nenek kita di Jawa dahulu kala. Yah, kira-kira menoleh ke belakang 50 tahun  yang lalu di pulau Jawa. Tapi saya harus bisa menikmati, namanya tugas negara. Seorang abdi NKRI harus bersedia ditempatkan di seluruh pelosok Nusantara, sekalipun di daerah konflik.

Sebagai penduduk baru saya masih harus beradaptasi. Semua guru adalah pendatang dari  provinsi Indonesia lama. Hehee...maksud saya karena Timor Timur adalah provinsi termuda, yang baru bergabung dengan Indonesia saat itu.  Semua guru-gurunya masih muda dan baru lulus kuliah. Teman guru saya ada yang dari Jawa,  Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan  NTT .  Kami semua senasib dan sepenanggungan. Asyik!, rasa persaudaran antara kami begitu terasa Indah. Kami mengajar dengan penuh semangat. Kami mengabdi  dengan tulus demi anak bangsa.

Seiring berjalannya waktu  tiga tahun berikut saya dimutasikan di SMA Negeri 3 Dili. Sebuah kota provinsi Timor Timor. Bapak Kandung saya HR Sudayat juga Jadi Kepala sekolah, tepatnya di SMA Negeri 1 dan  Suamiku di SMKK Negeri Dili Timor Timur. Selain jadi guru saya mendapat tugas menatar di BPG (Balai Penataran Guru).  Senang dapat kesempatan itu, bisa untuk menambah  wawasan. Berteman dengan orang senior yang baik hati dan mengajak untuk maju. Saya  juga diberi kesempatan untuk ikut Pelatihan Widya Iswara dan guru Inti di Jawa.  Pada  waktu yang sama juga dipercaya menjadi Tutor PGSD. Di Timor Timur Saat itu  ada tunjangan kemahalan, jadi gaji kita  lebih besar dibanding PNS dari provinsi lain. Dengan begitu kami bisa membangun rumah dan hidup   dicukupkan.

Menjadi  guru di kota provinsi berbeda dengan di Kota Kabupaten. Di Dili siswanya ‘lebih’ berani dan  banyak yang arogan. Mereka  punya komunitas, Saya Anak Fretilin Anti Repulik Indonesia ( Safari). Sebagian  dari mereka memandang ‘sebelah mata’   terhadap para guru. Sekitar 30-an guru di SMA Negeri 3 Dili hanya 1 guru  putra daerah Bapak Drs Ponciano Barros namanya. Para siswa sudah tidak ada simpatiknya dengan guru Bahasa Indonesia, Sejarah Indonesia dan PPKN. “Ibu guru pulang saja ke Jawa, saya bukan orang Indonesia!”, katanya.  “kami ‘tak perlu’ bahasa Indonesia, begitupun untuk  guru PPKN dan Sejarah!”, lanjutnya.

        Para Siswa sudah biasa dengan kehidupan pesta dan dansa, jangan heran kalau  kaca jendela sekolah sudah gundul semua. Kenapa? gegara  anak-anak minta untuk pesta perpisahan kelas 3 SMA dilaksanakan malam hari,  tapi bapak kepala sekolah  berharap pesta siang hari demi keamanan. Saat itu anak-anak tidak mau menerima keputusan Kepala sekolah.  Mereka murka, marah  dan mengamuk. Kaca jendela yang  jadi sasaran kemarahan mereka.

Kaca sekolahpun semakin gundul dilempari oleh anak-anak lulusan SMP yang ‘tidak’ bisa diterima di SMA Negeri 3  Dili.  Saat itu  PMB (Penerimaan Murid Baru) berdasarkan NEM (Nilai Ebtanas Murni), NEM mereka tidak memenuhi syarat. Jendela kaca sekolah juga yang jadi sasaran kemarahannya.  Akhirnya   jendela  kaca yang pecah  diganti  terali besi  semua.

Di dalam kelas kadang siswa  minum mabuk,  ramai-ramai omong sendiri atau membuat kacau. Jendela sudah dipasang teralipun, bisa saja mereka rusak untuk mbolos. Guru  tak berdaya untuk menegur mereka. Pernah ada kejadian guru menegur  siswa karena ‘terlalu’ nakal,  mereka emosi dan  membalikkan  motor teman guru yang di halaman sekolah kemudian  membakarnya. Pernah juga ada kejadian  seorang murid, nona cantik  jelita, yang jelas anak pejabat  diganggu teman kelasnya. Menangislah  nona itu lalu  lapor ‘harim’ (pacar) yang di  SMA Negeri 2 Dili. Sang pacar ‘murka’ lalu dia mengajak ‘geng’-nya yang di SMA Kristal.  Mereka  datang  ramai-ramai menyerang ke Sekolah kami.  Ratusan orang tawuran,  4 kompi polisi datang tak sanggup melerai. Sadis!, peristiwa yang sangat mengerikan saat itu. Banyak  siswa yang jadi korban dan berdarah-darah. Sudah hal biasa anak bawa pisau di sekolah. Sekolah kami 2 lantai, karena panik dan demi menyelamatkan diri  anak-anak murid melompat dari lantai 2. Apalagi anak pendatang, mereka selalu jadi sasaran. Mereka dipukuli hingga babak belur. Miris.

Para guru tak berdaya, kami ketakutan luar bisa, daripada mati konyol  guru bersembunyi di gudang atau lab pengap yang tak berjendela. Hari-hari selalu diliputi rasa  takut.  Jantung  selalu berdebar, hati selalu was was dan tak  pernah tenang.  Apalagi  kalau dengar ada Insiden. Pemberotakan-pemberontakan sering  terjadi di kota itu. Kadang hanya dari hal-hal yang sepele. Itu semua pasti ada muatan ‘politik’nya. Demi sebuah tugas negara, walaupun  perasaan hati diliputi ketakutan kami tetap melaksanakan tugas  secara pofesional. Tak sedikit juga  teman guru yang jadi korban pemukulan atau sayatan pisau dari siswa.

Jarak sekolah ke rumah kira-kira  5 km. Saya ke sekolah naik bus kota. Ada motor tapi tak berani naik motor sendiri, lebih baik naik bus supaya kalau ada kejadian banyak temannya. Rumah tinggal saya ada di depan  kompi B 744  Becora dan di samping perumahan adalah  Gedung penjara (Lapas). Sering  terjadi kejar kejaran antara aparat  dengan  Nara pidana yang melarikan diri. Mereka pasti meneriakkan, “Bunuh sajaaa!!”, “tembak sajaaa!!”,  “Bakar  sajaaa!!...”. Marcel dan Anto, anak saya  saat itu berusia  3 tahun dan 1 tahun.   Akhirnya  bahasa-bahasa itu yang dikonsumsi mereka setiap hari. Teriakan itu yang selalu  keluar dimulutnya, sebagai yel yel hariannya.

Demi keselamatan kedua putraku  akhirnya saya titipkan di Jawa  supaya diasuh  ibu kandungku. Di Jawa  anakku jadi terlihat ‘liar’ dibanding  anak Jawa asli pada umumnya. Mereka jadi kasar.  Bahasa yang keluar dari mulutnya adalah bahasa yang  didengar  selama  di  Timor Timur. Kadang saya jadi malu sendiri. Suatu hari  kami pergi ke Gereja, ehh!!  Kedua anakku langsung naik di altar padahal pastor  sementara kotbah. Anakku dengan Percaya diri naik dengan membawa tembak-tembakan  dan teriak  teriakkk!!  Bunuh saja........!!! kejaarrr!!! Doarrr!! Diaorr!!. Mereka berlarian di atas altar, seolah mau menyerang.  Mereka menodongkan  tembakan mainan itu ke arah jemaat. Ya Tuhan, batinku, aku  gugup,  emosi, jengkel, tapi aku tak berani maju. Betapa  malunya. Bagaimanapun jadi mengganggu perayaan ekaristi saat  itu. Aku nekat dan cepat mengambil kedua anakku.

 Akhirnya semua jadi   tahu bahwa itu  anakku yang  datang dari Timor Timur. Betapa kenangan itu  terus teringat hingga sekarang. Anakku dulu super nakal. Beruntung, berkat jasa  ibu dan adik bungsuku  akhirnya anakku bisa berubah menjadi anak yang baik.

Tak terasa  sudah  9 tahun kami (Saya, Bapak dan Suami) adalah PNS di Tim Tim.  Sebuah sejarah  yang tak bisa menolak lupa. Kenangan pahit yang tak  terlukislan dengan kata-kata. Hati teriris, rasa ingin menangis  tapi  harus bisa menepis. Pada 30 Agustus 1999  ada 2 opsi untuk rakyat Tim Tim. Merdeka atau Otonomi khusus?.  Namun diluar dugaan 78,5 persen ternyata memilih merdeka atau menentukan nasibnya sendiri.  Timor Timor jadi ‘merdeka’. Timtim resmi  berpisah dengan negara  kesatuan RI dan menjadi negara Independen.

Lepasnya  Timtim dengan Indonesia membawa luka dan sejarah kelam.  Indonesia melepas Tim Tim disertai banjir darah, pembantaian dimana-mana. Pembunuhan, pembakaran, pengusiran, penghancuran fasilitas umum bahkan  ada berbagai  tindakan yang menjurus pada tindak  kejahatan kemanusiaan. Banyak  warga yang terbunuh hanya dalam beberapa bulan sebelum dan beberapa hari setelah referendum.

Lima ratusan ribu orang terpaksa  meninggalkan timtim dan lari mengungsi termasuk saya. Kami tinggal di kamp-kamp  pengungsi yang tidak layak  dan dalam banyak kasus yang mengerikan.  Kejadian yang mengiris hati itu  terus  berlangsung sampai Tim-tim mendapatkan  kemerdekaannya  pada tanggal 20 mei 2001.

Tak pernah  kami bayangkan sebelumya,  2 buah rumah,  sebuah taksi dan kos-kosan  hasil kerja keras ‘hilang’ semua. Rumah seisinya  kami tinggalkan ‘utuh’ dengan kunci di masing-masing pintu. Harapan kami supaya yang mendapatkan rumah saya tak perlu repot-repot merusak atau membongkar.  Dengan deraian  air mata  kami tinggalkan semua harta benda yang kami punya. Hasil kerja keras bertahun tahun. Bapak kandung sementara  urus MPP (masa persiapan pensiun) di Jakarta jadi harta  bapakpun tak  terselamatkan. Semoga sudah ada ‘penghuni’ baru dengan penuh damai sejahtera. Saya ‘harus rela!!’. Harus  ikhlas!!.

Beruntung teman-teman yang masih bisa menyelamatkan  isi rumah dengan sewa kontainer,  ada sedikit lega. Tapi saya?!. ‘Nol’. Hanya bisa gigit jari. Tak ada barang yang kami bisa bawa. Saat kami mengungsi hanya berbekal pakaian yang melekat di badan dan surat-surat penting yang saya punya.  Suami  belum mau mengungsi berharap  orang yang akan membeli rumah datang membayar. Saat itu rumah kami sudah ditawar 20 juta, termasuk  laku, karena ada tetangga yang  rumah keramik di ‘lego’ dengan 7 juta, ada yang 3 juta. Yang penting  dapat diuangkan untuk bekal pulang ke Indonesia.

Hhh!!, ternyata  semua bank , kantor-kantor sudah tutup juga, bunyi tembakan semakin riuh, pembakaran dimana-mana  menambah suasana kota semakin mencekam.  Perasaan hati tak pernah tenang. Saya hanya bisa menangis dan berdoa  semoga saya selamat dan suami juga  berada di tempat yang aman. Dili seolah jadi lautan api saat itu.

  Waktu itu banyak orang yang  optimis Pro Integrasi akan menang, tapi diluar dugaan ‘Pro Kemerdekaan’ yang menang. Ya Tuhaannn.. kuatkan hati,  berikan  keselamatan. Itu terus doa-doaku di sepanjang jalan saat  mengungsi. Ternyata para pengungsi di belakangku sudah  buanyak  sekali. Saat itu kami mengungsi didampingi  sang panglima perang yang pro integrasi, Eurico Guterres. Sampailah di pemberhentian, di Atambua. Di Situ ditampung di kamp-kamp pengungsi bersama  para pengungsi yang lain. Sekitar seminggu di Atambua  makan layaknya pengungsi  pada umumnya. Di lapangan,  tempat makan minun, MCK, campur baur jadi satu. Aroma lingkungan pun semakin tak sedap pengaruh air sangat terbatas. Tapi tetap dinikmati. Banyak  pengungsi yang kelaparan karena  makanan tidak cukup. Setiap hari hanya makan  mie instan. Lingkungan pengungsi padat dan sanitasi sangat buruk.  Banyak juga pengungsi yang  terkena wabah kolera

Untuk mengurus nasib kami lanjutkan perjalanan ke Kupang, kota provinsi NTT dengan naik  mobil tentara. Para pengungsi full  di kota kupang. Beruntung  saya bertemu  pak Margono pengawas dan ibu. Di Kupang kami  ditampung di rumah rusak/kosong di belakang Kantor Dinas P dan K sekarang. Sampahnya setinggi gunung, Lingkungannya  terlihat angker. Rumah itu mungkin sudah puluhan tahun tak dihuni. Saatnya kami membersihkan, menata hingga layak huni

Hati terus berdebar karena suami  belum juga muncul. Beruntung 2 anak sudah saya ungsikan di Jawa. Kalau belum pasti ceritanya  berbeda. Banyak anak yang hilang karena terpisah dengan orang tua. Termasuk saya yang lari sendirian karena suami bersikeras  tak mau mengungsi bersama.

Saatnya menunggu  SK penempatan. Para guru PNS boleh  minta mutasi dimana saja, termasuk di Jakarta, di Bandung, Di Surabaya yang penting  sudah ada  sekolah  yang menerima. Hehe.. saya ada kelompok  kecil ‘persija. Persatuan istri jawa.  Setahu saya, para suami yang istrinya orang jawa  bersama-sama pindah , ikut istri ke Jawa. Ini pas giliran saya  menghadap pak Kakanwil Timtim yang berada di Kupang, Pak Tri Suhartanta namanya.  Kami kenal baik karena temannya bapak saya yang kepala SMA Negeri 1 Dili Timpr Timur.

Saya yang orang Jawa asli  minta  di tempatkan di Waingapu, Sumba Timur NTT. Bapak melihat  saya dengan penuh tanda tanya,  menatap saya seperti tak percaya. Beliau memandang saya dari ujung rambut  hingga ujung kaki  berulang-ulang. Apa yang dikatakan beliau?? mbak Eti, benar mau  mutasi di Sumba Timur? Apakah sudah pernah ke Sumba Timur?? Dan berbagai pertanyaan seolah saya  tidak serius. Semua teman-teman jawa minta pindah ke Jawa.  Bapak kakanwil minta supaya saya datang lagi esoknya lagi. Saya disuruh  merenungkan lagi tentang mutasi ke Sumba Timur.

Semalam saya memang  menimbang-nimbang, sebagai alasan  kebetulan saya sudah  ada ‘gubuk’ sederhana di Sumba. Saya hanya seorang istri yang harus  setia karena  suami asli Sumba.  Sebagai abdi negara harus  siap mengabdi dimana saja. Dengan tekat bulat  saya esok harinya dengan penuh semangat  untuk ’tetap’  SK PNS  saya di Sumba Timur.

Benarlah akhirnya saya di mutasi di SMA Negeri 2 Waingapu Sumba Timur. Per 1 Maret 2000. Dengan modal SK PNS kami memulai hidup baru di tempat yang baru.  Suasana  di TimTim dan di Sumba bak bumi dan langit.  Masuk hari pertama mengajar saya tak sanggup.  Saya sungguh terharu dan meneteskan air mata. Murid di NTT  begitu manis-manis. Mereka begitu hormat pada guru.  Saat kami mengajar mereka  begitu penuh perhatian. Ya Tuhaaannn, terimakasih banyak untuk pengalaman ini. Kesan pertama yang penuh makna. Kesan kedua dan seterusnya terasa indah jadi guru di Sumba walau hidup sederhana.

Kini  tak terasa saya sudah 21 tahun saya mengajar di SMA Negeri 2 Waingapu. Waktu begitu cepat. Bertemu, berkarya  dan mengabdi bersama teman  NKRI yang setia.  Orang-orangnya rukun damai dan sejahtera.  Penuh senyum dan bersahabat. Oh bahagianya........... Di TimTim 10 tahun lamanya penuh cerita duka lara dan kurang ‘berharga’. Terimakasih untuk pengalaman yang berharga dalam hidup. Sejarah yang terukir.  Kenangan yang  kutuliskan.  Semoga cerita ini  tersampaikan untuk para pembaca yang cinta literasi. Semoga bermanfaat untuk sekedar hiburan atau  sedikit menambah wawasan. Inilah cerita seorang guru yang mengajar di Timor Leste. Guru korban konflik bencana. Salam, Saya tetap bangga jadi guru......... tak akan pernah luntur ditelan waktu sampai  pensiun menjemputku.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Salam ...Saya,  Ledwina Eti Wuryani, Asli Magelang. Jawa Tengah  yang tinggal dirantauan sejak tiga puluh tahun yang lalu.  Saya Lulusan Pendidikan guru IKIP Sanata Dharma kala itu, tahun 1989.  Seorang ibu dengan 2 putra, ibu rumah tangga sekaligus  jadi guru matematika  di SMA Negeri 2 Waingapu Sumba Timur, NTT. Sudah  banyak artikel  dibuat penulis yang tembus di  media masa ,lokal ada juga yang  propinsi NTT. Sudah punya 4  buku solo dan 23 buku Antologi sejak  ada  wabah Pandemi corona.  Sejak bulan maret 2020. Tulisan antologi ada cerpen, puisi,  story telling, Cerita tentang Belajar dari rumah ( PJJ)  dll.  Penulis bisa dihubungi melalui email ledwinaetiwuryai@gmail.com , ledwinaastiwi44@guru.sma.belajar.id , fb, IG dan You tube :  Ledwina Eti  dan blog  etiastiwi66.blogspot.com


 

 

Sabtu, 09 Oktober 2021

Karya Tulis Ilmiah (KTI) Menjadi Buku

 



 


Pertanyaan 1 : Apa itu KTI ?

Karya tulis ilmiah yang selanjutnya disingkat KTI adalah tulisan hasil litbang dan/atau tinjauan, ulasan (review), kajian, dan pemikiran sistematis yang dituangkan oleh perseorangan atau kelompok yang memenuhi kaidah ilmiah (Perka LIPI Nomor 2 Tahun 2014)

ebelum membahas bagaimana cara mengubah KTI menjadi buku, saya sampaikan konsep mengenai KTI terlebih dahulu

Karya tulis ilmiah adalah tulisan yang menyajikan gagasan, deskripsi atau pemecahan masalah secara sistematis secara objektif dan jujur didukung oleh fakta, teori dan bukti-bukti empirik menggunakan bahasa baku (Dalman, 2016: 5).

Karya tulis ilmiah yang selanjutnya disingkat KTI adalah tulisan hasil litbang dan/atau tinjauan, ulasan (review), kajian, dan pemikiran sistematis yang dituangkan oleh perseorangan atau kelompok yang memenuhi kaidah ilmiah (Perka LIPI Nomor 2 Tahun 2014)

 

Pertanyaan 2 : Apa sajakah yang termasuk dalam KTI ?

KTI terdiri dari 2
KTI non buku
1.                  Kesarjaan : Skripsi, tesis, disertasi
2.                  Hasil penelitian ( Esay ilmiah): Laporan , makalah artikel, komunikasi pendek
3.                  Ulasan resensi
KTI  Buku
1.      Didaktik ( bahan Ajar) : hand out, diktat, modul, buku ajar, buku referensi
2.      Pengayaan : Monografi, buku teks, buku pegangan (hand book), buku panduan
3.      Kompilasi : Bunga rampai, prosiding

 

 

Secara umum KTI ada dua yaitu KTI Nonbuku dan KTI Buku

Karya Tulis Ilmiah yang terdapat dalam buku 4 PKG adalah

A.                  Publikasi Ilmiah Berupa Hasil Penelitian atau Gagasan Ilmiah Bidang Pendidikan Formal

Laporan Hasil penelitian

Laporan penelitian dapat berupa penelitian tindakan kelas, penelitian eksperimen, penelitian deskriptif, penelitian perbandingan, penelitian korelasi,

Makalah Berupa Tinjauan Ilmiah Gagasan atau Pengalaman Terbaik (Best Practice

 

B.                  Publikasi Buku Teks Pelajaran, Buku Pengayaan, dan Buku Pedoman Guru

Publikasi ilmiah pada kelompok ini terdiri dari: (1) Buku Teks Pelajaran, (2) Buku Pengayaan yang terdiri dari Modul/Diktat pembelajaran, Buku dalam Bidang Pendidikan, Karya Terjemahan, dan (3) Buku Pedoman Guru.

 

C.                  Karya Inovatif

Mengacu pada paparan di atas, ternyata tidak semua KTI itu berupa buku. Memang secara wujud, PTK, PTS, Tugas Akhir, skripsi, tesis, desertasi itu berupa buku, namun bukan buku. Lebih tepatnya adalah laporan hasil penelitian dan sifat publikasinya pun terbatas.

Teknologi Tepat Guna

Karya Seni (Karya sastra novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, dan naskah drama)

Membuat/Memodifikasi Alat Pelajaran/Peraga dan Alat Praktikum

 

 

Pertanyaan 3 : Bagaimana struktur penulisan KTI ?

Umumnya KTI tersusun atas bab-bab dengan penomoran yang struktural sesuai dengan jenis KTI serta institusinya:



Struktur di atas umumnya dijadikan sebagai standar dalam Menyusun bab-bab dalam KTI meskipun untuk KTI sejenis skripsi, tesis, desertasi, tugas akhir memiliki gaya yang berbeda di setiap kampus

Pertanyaan 4 : Apa sih perbedaan laporan KTI dan KTI yang dikonversi menjadi buku ?

Laporan Penelitian :
1.      Sasaran Pembacanya terbatas kalangan tertentu ( terlebih  jika sifatnya publikasi terbatas)
2.      Sistematika penulisan dalam penomoran sub bab yang kaku dan baku
3.      Sajian datanya mulai dari data mentah hingga data yang diolah
4.      Bahasa baku yang butuh pemahaman


Buku
1.      Sasaran pembacanya bisa  semua  kalangan yang memiliki interest terhadap isi buku
2.      Sistematika penulisan fleksibel disesuaikan dengan isi buku
3.      Minim sajian data berupa data mentah. Umumnya hanya data yang berarti bagi pembaca saja yang dicantumkan.
4.      Bahasa mudah dipahami
5.      Ber-ISBN

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan buku?

Konferensi UNESCO tahun 1964 merumuskan definisi buku sebagai terbitan tercetak tidak berkala berjumlah sedikit-dikitnya 49 halaman, tidak termasuk halaman kulit.

Buku terdiri dari tiga bagian yaitu :
Mengacu pada definisi tersebut, maka ciri-ciri buku adalah :
1.      Terbitan tercetak tidak berkala (tercetak dapat secara fisik maupun elektronik (e-book)
2.      Sekurang-kurangnya 49 halaman (beberapa pakar menyebutkan tebal ini khusus bagian isi  utama)
3.      Memiliki kulit (cover)
4.      Adapun untuk ukuran minimal 15,5 cm x 23 cm (Standar UNESCO)

Secara subtansi isi, tidak ada perbedaan isi laporan KTI dengan isi buku hasil konversinya. Karena sejatinya isi buku mencerminkan keseluruhan isi laporan KTI.

Secara sistematika, tentunya gaya penulisan KTI dengan penulisan buku tentu berbeda. Ada penyesuaian-penyesuaian sistematika KTI yang dikonversi menjadi buku dengan tujuan agar kesannya tidak kaku. Misalnya penomoran tiap sub bab-sub bab

Secara Bahasa, meski sama-sama ilmiah, hasil konversinya tentu harus dimodifikasi sehingga Bahasa dalam bukunya lebih luwes, bersifat lugas dan tidak lagi mencantumkan kata-kata seperti penelitian ini, peneliti, teman sejawat, penulis

 

Pertanyaan 5 : Bagaimana cara mengkonversi KTI menjadi buku?

Memodifikasi Judul

Judul KTI umumnya mengandung unsur : variabel penelitian, objek penelitian, dan seting penelitian (baik tempat maupun waktu).

Biasanya judul baku KTI mengikuti kaidah tersebut

Judul buku hasil konversi ini seperti judul buku-buku lain harus menarik, unik, mudah diingat, dan mencerminkan isi buku. Kemenarikan judul buku sifatnya subjektif.

Sebagai buku ilmiah, judul buku hasil konversi harus mencerminkan isi. Bahasanya lugas. Tidak menggunakan Bahasa kias. Maka judulnya harus dimodifikasi agar menarik

Contoh

Judul Laporan KTI

Peningkatan aktivitas belajar dan hasil belajar Materi Fungsi dengan Peneratapan Strategi Tim Kuis pada siswa kelas 10 SMA Negeri 2 Waingapu Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2021/2022

Judul Buku : Strategi Tim Quiz dalam Pembelajaran Matematika

Penulis Ledwina Eti Wuryani, S.Pd

 

Memodifikasi Sistematika dan Gaya Penulisan

KTI Nonbuku yang berupa laporan hasil penelitian umumnya ditulis dengan sistematika dan penomoran yang baku seperti yang telah saya uraikan di atas.

Nah, pada saat laporan tersebut dikonversi menjadi buku, maka harus dimodifikasi gayanya sesuai dengan gaya penulisan buku. Tidak tampak lagi adanya sub bab-sub bab yang membuat isi buku seolah-olah terpisah-pisah. Seperti telah disingung di atas, tidak semua data boleh disajikan dalam buku. Hal-hal yang bersifat privacy tidak boleh dicantumkan dalam buku.

Pertanyaan 6 : Hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan saat mengkonversi KTI menjadi buku?

Pertama, keaslian laporan hasil penelitian

Penulis memastikan bahwa laporan yang akan dikonversi menjadi buku memang benar-benar hasil karyanya dan bukan hasil plagiasi.

Tidak dipungkiri bahwa banyaknya publikasi ilmiah melalui media digital justru disalahgunakan oknum tak bertanggung jawab untuk melakukan plagiasi

Kedua , menghindari kompilasi yang terlalu banyak.

Penulis sering terjebak dalam kegiatan plagiasi dalam bentuk Kompilasi. Maksudnya penulis hanya sekedar meng-copas pendapat asli para pakar.  Guna menghindari hal ini, penulis bisa menggunakan berbagai macam gaya selingkung, misalnya gaya Harvard yang banyak dipergunakan.

Ketiga memilah dan memilih data yang dipublikasikan

Seperti telah disingung di atas, tidak semua data boleh disajikan dalam buku. Hal-hal yang bersifat privacy tidak boleh dicantumkan dalam buku.

Keempat, modifikasi bahasa buku

1.      Hindari pemakaian penanda transisi menurut hal itu sesuai dengan pendapat lebih lanjut si A menyatakan berdasarkan hal tersebut

2.      Tidak lagi mencantumkan kata-kata seperti penelitian ini, peneliti, teman sejawat, penulis

Kelima, hindari pengambilan sumber kutipan kedua atau pendapat yang kurang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah

Pada laporan KTI, biasanya penulis mengambil sumber kedua dalam kutipannya, yang biasa ditemu dengan transisi * (Si A seperti dikutip Si B)* Si A mengutip pendapat si B menyatakan bahwa Saat mengambil pendapat dari blog, penulis perlu memperhatikan tingkat akurasi pendapat tersebut disandingkan dengan pendapat para pakar

Keenam, wajib menuliskan semua daftar Pustaka yang dipakai sebagai rujukan dalam buku untuk mendukung keabsahan buku sekaligus menghidari plagiasi.

Hal ini perlu diwaspadai karena penulis terkadang lupa telah melakukan pengembangan sumber kutipan untuk memperkaya teori-teori yang disajikan.

Biasanya lupa hanya mencantumkan daftar Pustaka sama persis dengan laporan KTI.

Ketujuh, memperhatikan kaidah penyusunan buku ber-ISBN

Agar memperoleh ISBN, maka penulis sebelum mengirimkan naskahnya perlu memperhatikan kelengkapan naskah (a) judul buku, (b) kata pengantar, (c) daftar isi, (d) isi buku terdiri dari bab-bab, (e) profil penulis/ pengarang, (f) daftar pustaka, khusus untuk buku ilmiah atau ilmiah popular, (g) sinopsis yang ditempatkan di cover belakang buku, dan (h) cover buku

 

pertanyaan ke 7 : Apa tujuan mengkonversi KTI menjadi buku

Tujuan Keilmuan

Sebenarnya, hasil penelitian selain bermanfaat dalam pengembangan keilmuan, juga dapat bermanfaat dalam menemukan permasalahan sesuai ranah yang diteliti. Permasalahan tersebut tentunya tidak hanya teronggok dalam laporan, namun perlu dicarikan solusi.

Dengan mengkonversikannya dalam bentuk buku, maka permasalahan tersebut akan diketahui oleh khalayak sehingga menjadi dasar bagi penelitian lain untuk menemukan solusinya.

Misalnya bagian dalam refleksi PTK dapat dimanfaatkan sebagai sarana pemecahan masalah saat guru menerapkan suatu metode yang diterapkan pada penelitian selanjutnya

Buku dapat dikonsumsi publik secara luas sebagai bahan referensi.

Memberi petunjuk pada pembaca untuk melakukan hal serupa tapi tak sama (modifikasi action berdasarkan referensi buku hasil konversi)

Tujuan Pengembangan Teknologi

Contoh yang banyak ditemui adalah PTK yang mengujicobakan atau mengembangkan media-media pembelajaran dengan karakteristik unik dan mengandung unsur kebaruan. Karya-karya inovatif yang dipublikasikan akan menjadi referensi dalam pengembangan teknologi pembelajaran.

Teknologi tepat guna hasil temuan yang selama ini lebih banyak dipraktikkan di kanal online sebenarnya juga dapat dibukukan sehingga menjadi buku yang inspiratif.

Karya-karya hasil INOBEL merupakan contohnya

Tujuan Pengembangan Karier/Profesi

Pada beberapa jabatan memang menuntut adanya publikasi berupa buku, misalnya widyaiswara, dosen, bahkan guru.

Syarat kenaikan pangkat dari unsur pengembangan profesi bagi guru dan dosen khususnya seperti yang terdapat pada buku 4 PKG juga diatur mengenai penerbitan buku.

Tentu saja penulisnya juga akan mendapat popularitas jika bukunya berhasil menjadi best seller.

Tujuan Ekonomis

Saat masih berupa laporan maka KTI nonbuku seperti PTK, PTS, Tugas Akhir, skripsi, tesis, desertasi kurang memiliki nilai ekonomis. Mengingat bentuknya berupa laporan, sehingga sulit untuk dijadikan sebagai bahan rujukan.

Umumnya hanya sebagai pelengkap pada bagian hasil penelitian yang relevan ataupun penguatan dari penelitian dari peneliti lain.

Pada sisi lain, mengubah KTI menjadi buku seolah seperti mempatenkan hasil laporan karena masuk penerbit, dilindungi hak ciptanya dan memiliki ISBN


Pertanyaan 8 : Bolehkah laporan KTI apa adanya langsung dijadikan buku?

Sah-sah saja penulis langsung menerbitkan KTI-nya menjadi model seperti buku (tapi bukan buku).

Mengapa demikian? Sebab penerbit seperti percetakan mandiri maupun penerbit Indie biasanya tidak melakukan pembatasan yang ketat seperti halnya penerbit mayor.

Motif kepentingan untuk mengejar angka kredit biasanya menjadi dasar penulis yang sekedar membuat laporan KTI nya diterbitkan menjadi buku.

Bukan mengkonversi KTI menjadi buku.

Penerbit seperti halnya penerbit Indie memang tak bertanggung jawab atas semua isi buku maupun pemasarannya, meskipun ada beberapa yang membantu proses pemasaran.

Namun secara persepsi pembaca yang akan menilai kelayakannya. Nilai jual KTI yang langsung dibukukan tanpa dikonversi tentu akan berbeda dengan yang memang dikonversi jadi buku

Jadi perlu dipahami diawal bahwa : Meng-ISBN-kan KTI tidak sama dengan mengkonversi KTI menjadi buku ber-ISBN

Oleh sebab itu, penulis juga harus jeli dalam memilih penerbit. Caranya, bacalah buku konversi KTI hasil terbitan suatu penerbit.

Cermati isinya, maka Anda akan dapat menilai kualitasnya. Apakah hanya sekedar menerbitkan apa adanya atau memang benar-benar memperhatikan kualitas terbitannya.

Kelihatannya untuk hal ini PMA Literasi Istikamah bersama Bunda Sri Sugiastuti ahlinya


Nah, inilah  ilmu yang sangat penting , trimakasih  banyak pak Eko Daryono, S.Kom  untuk ilmunya.  Mungkin  sahabat literasi   sudah  punya  KTI  yang siap dibukukan .  Bisa mengikuti panduan ini. 


Karena materi ini sangat penting, maka ingin saya bagikan hasil dari Bimbingan gratis  Menulis hingga menerbitkan buku , yang diselenggarakan  oleh WIM PMA  digagas oleh  founder ibu Kanjeng ( Dra  Sri Sugiastuti, M.Pd)  Tanggal  9 Oktober 2021  melalui   fliyer  yang saya lampirkan 

Trimakasih-trimakasih  banyak   untuk ilmunya.


#30harimenulis
#30haripunyanaskah
#siapataujadibuku
#alineakuchallenge - 17
#alineakuwriter
 
#alineakuLedwinaEti  

 










 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kamis, 07 Oktober 2021

NASIB #10

 


Cerpen.

 

Pada Suatu hari aku disuruh bantu masak di rumah kak Ester, seperti biasa kalau ada acara-acara pasti langganan aku  harus datang bantu-bantu.

“Rambu, makanan di meja  sudah ditata semuanya udah selesai belum?” tanya  kak Ester.

“Iya, kak  ini udah selesai,” jawabku tersenyum sambil merapikan baskom bekas makanan dan sayur.

“Ya udah, kalau gitu. Kamu makan dulu sebelum tamu datang,” ucapnya.

Biasa kalau  pulang arisan, teman-teman suka bungkus makanan untuk dibawa pulang, aku kan perasaan kalau melarang mereka , karena memang sudah tradisi kami, “ lanjutnya.

Kak Ester  orang Jawa, mereka punya paguyuban Jawa, setiap bulan  giliran untuk ketempatan. Mereka selalu makan-makan, memasak khas jawa. Mereka  kumpul, cerita- cerita, ka ka ki ki...tertawa, tertiwi. Rame sekali  dengan ngomong jawa yang kental. Aku sendiri  tidak mengerti apa yang mereka  omongkan.

“Nggak usah, kak. Aku masih kenyang, kebetulan tadi sebelum berangkat ke sini makan dulu di rumah,” dustaku. Padahal perut ini sedari tadi terasa  lapar dan  keroncongan.

Sengaja berangkat siang supaya aku tak terlalu lama di sini, hanya minum teh manis tadi  terlebih dulu di rumah, untuk ngganjal perut agar tak cepat lapar.  Ternyata tetap saja lambungku ini meminta jatah. Mungkin  karena efek terlalu lama mencium bau rendang dan makanan lezat yang aromanya sangat menggoda saat kuhidangkan di meja.

Sebenarnya malas makan di rumah kakak iparku yang satu ini. Bukan karena malu atau geli, tapi aku malas jika makan di sini bersama anakku maka ia akan menyindirku di depan teman-temannya yang orang Jawa itu, seakan-akan aku tak pernah makan enak. Biasa keluargaku  kan kalau makan sederhana, tidak  pakai tata cara, tidak pakai aturan.  Tidak seperti keluarga kak Ester yang  makannya pelan-pelan penuh perasaan, sedikit, rapi, tidak  bunyi dan bla bla,  banyak aturannya deh pokoknya. Tambah kak Ester orangnya super cerewet.

Maka aku malu kalau disuruh makan di kak Estes, begitupun anak-anak dan suamiku nanti kena  sindir. Dari pada sakit hati dan malu!. Dan aku berjanji kalau di rumah kak Ester, aku  tak  akan mau makan. Ya, aku tak akan mau.  Aku tak suka dengar bahasa yang  suka ‘merendahkan orang, terkhusus padaku dan keluargaku.

“Maklumlah, Bu. adik ipar saya ini emang jarang makan enak. Jadi, sekalinya makan sama anaknya di sini kayak orang rakus,” ucapnya kala itu, membuatku yang sedang mengunyah makanan hampir tersedak.

Gegas kuraih air minum di hadapanku dan meminumnya perlahan agar makanan yang hendak ditelan tak keluar.

 

Kusudahi makan yang baru beberapa suap karena sudah tak berselera. Kini hanya anakku yang kusuapi dengan nasi  dan  kuah  ayam  sisa dari baskom.

“Bu Ester  memang baik, ya. Royal sama saudara ipar,” ucap mama Tika salah satu teman arisannya kak Ester..

“Iya, benar!. Mama Tika, bu Ester memang orang baik,” timpal wanita paruh baya di sebelah  Mama Wiwid.

“Ah!!, Ibu ini biasa aja  kok ... namanya kita saudara jadi harus saling bantu. “Adik saya, Bram  ‘kan penghasilannya nggak kayak suami saya, jadi, mereka makan seadanya terus tiap hari,” ungkapnya enteng tak menghiraukan perasaanku yang mulai tersakiti.

 

Aku tahu hidupku susah. Suamiku Mas Bram bekerja sebagai guru honor komite yang hanya berpenghasilan sebulan lima  ratus ribu yang tak bisa mencukupi kebutuhan hidup selama tiga puluh hari.

 

Untuk menambah penghasilan, suamiku juga mengajar les dari siang sampai malam. Mas Bram adalah pria pekerja keras yang mandiri, tak mau mendapatkan bantuan apa pun dari keluarganya yang kaya dan sukses. Ia ingin berhasil karena usahanya sendiri. Biar  miskin tak apa. Ibarat makan  dengan ‘hanya’ menjilat garam pun akan tetap  dijalani.

Aku mencintai mas Bram karena orangnya  jujur, rendah hati dan mandiri. Dari kecil dia sudah  dilatih mandiri oleh orang tuanya, bahkan dia cerita kalau  dulu sejak SD dia biasa bawa kue, donat atau es  buatan mamanya untuk di jual di kelasnya.

Memang Pernah suatu ketika ia di tawari suaminya kak Ester  diserahi  salah satu tokonya untuk kelola. Namun, ditolaknya. Ia ingin sukses karena prestasinya, bukan karena ada orang di belakang yang membantunya sukses.

Sejak itu, kak Ester  jadi sinis sama keluarga kami. Kak Ester  tersinggung saat mas Bram menolak tawarannya waktu itu. Mungkin itu salah satu pemicu ia selalu menghinaku.

Tiba-tiba aku tersentak kaget saat Marcel  anakku menarik  ujung blus yang kukenakan.

“Ma, aku  lapar.....!!,” ucapnya. Aku membungkuk agar sejajar dengannya lalu berbisik pelan agar tak di dengar orang. Kucubit  pipinya pelan-pelan, “ sabar ya..., jangan  makan disini!”, Aku berusaha memberi pengertian kepada anakku.

“Marcel, nanti ya, kita makannya di rumah saja bareng bapak , hhh!!, menggangguk terlihat terpaksa!” ujarku berharap ia mengerti.

“Sekarang, Marcel minum aja dulu, ya?” Ia mengangguk patuh. Kuajak dia ke tempat tidur untuk dia ‘nunut’  tidur di kamar Wili  anaknya kak Ester.

            Aku jadi merasa berdosa sudah membiarkan anakku kelaparan, tapi mau bagaimana lagi, jika aku dan Marcel  makan di sini Kak Ester pasti akan mengejek kami rakus . Ah, aku tak mau itu terjadi lagi. Walaupun miskin begini juga aku masih punya harga diri. Aku tak mau sakit hati ini terulang kembali.

 

Usai Arisan, aku bersiap untuk pulang, ku bangunkan Marcel yang masih tertidur setelah jajan kue donat dan  teh gelas di bu Yubi tetangga sebelah.

Untung saja uang kembalian ongkos angkot tadi siang masih sisa sepuluh ribu, sehingga anakku bisa mengisi perutnya yang kelaparan.

Aku masih  menunggu mas Bram jemput.  Aku bantu-bantu merapikan bekas-bekas makanan.  Menyapu lantai dan memunguti gelas plastik bekas air mineral.

Tiga puluh menit berlalu, akhirnya mas Bram  muncul. Segera ku tengok Marcel, kubangunkan dia ku ajak keluar dan sekalian berpamitan sama kak Ester.

“Aduh, maaf, ya, Rambu. kehabisan, makanan  ludes!  semua  udah pada abis”! kata kak Ester kepadaku.  “ Teman-teman tadi  sudah bungkus dan dibawa, kamu pulang nggak bawa  nggak  bawa apa-apa ya!”  lanjutnya.

“Iya, kak!. Nggak apa-apa!” ,Aku menjawab dan langsung ngeloyor pergi usai berpamitan.

Sepanjang jalan menuju rumah aku hanya terdiam, Marcel kembali tertidur di pangkuanku sambil memeluk bapaknya yang sedang fokus menjalankan motornya yang butut.

 Mas Bram tumben tak ada suaranya. Biasanya dia suka berceloteh jika sedang berkendara denganku. Jangan-jangan ia juga sedang menahan lapar?

Tiba di rumah, setelah menidurkan  marcel di kamarnya, aku menuju dapur membuka tutup saji, mencari sisa nasi tadi pagi. Syukurlah masih ada, aku bisa menggorengnya untuk kami makan sekarang. Nasi goreng kesukaan mas Bram, karena kebetulan juga tak ada  lauk dan sayuran di kulkas.

“Dik, emang nggak dapat sisa makanan dari kak Ester tadi?” tanya mas Bram  padaku.

“Nggak, mas, kehabisan!, kata kak Ester.” Aku menjawab sambil mengiris bawang.  Ia mengangguk-angguk penuh pengertian. Mas Bram sangat tahu sifat kakaknya tercinta.

 

#30harimenulis

#30haripunyanaskah

#siapataujadibuku

#alineakuchallenge - 10

#alineakuwriter

 

#alineakuLedwinaEti  

 

 

Waingapu, 1 Oktober 2021

 

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...