Ketika sebuah karya selesai ditulis maka pengarang telah mati, Ia baru saja memperpanjang
umurnya lagi.
Dari beranda rumah, aku duduk termenung. Teringat kisah sedihku
kala itu. Hati terkoyak. Perasaan bagai tersayat sembilu, sedih...perih..... air
mata deras membasahi pipiku. Oh Tuhan... terimakasih untuk pengalaman itu, kini aku sudah bangkit kembali.
Kisahku ini biasa saja, sangat sederhana. Sebuah jeritan hati. Mungkin saja tidak menarik bagi pembaca.
Bukan hal yang Wow apalagi menghebohkan. Namun
pribadiku meyakini bahwa setiap
kisah kehidupan manusia ada hikmah
yang bisa dipelajari. Walau hanya
sekedar bacaan hiburan dikala ada sisa waktu senggang. Semoga bermanfaat atau
menginspirasi. Semua ini tergantung dari cara memberi makna atas cerita tentang suatu peristiwa yang dibaca.
Lulus kuliah saya ditempatkan di
SMA Negeri Maliana Bobonaro Timor Timur.
Kota Kecil yang saat itu masih jauh
tertinggal. Suasananya masih sepi. Jauh
beda dibanding hingar bingarnya kota
Jogya tempat aku menimba ilmu dari SMA
hingga lulus kuliah. Penduduknya pun masih ‘agak’ terbelakang.
Mereka masih makan sirih layaknya jaman
nenek kita di Jawa dahulu kala. Yah, kira-kira menoleh ke belakang 50 tahun yang lalu di pulau Jawa. Tapi saya harus bisa
menikmati, namanya tugas negara. Seorang abdi NKRI harus bersedia ditempatkan
di seluruh pelosok Nusantara, sekalipun di daerah konflik.
Sebagai penduduk baru saya masih
harus beradaptasi. Semua guru adalah pendatang dari provinsi Indonesia lama. Hehee...maksud saya
karena Timor Timur adalah provinsi termuda, yang baru bergabung dengan
Indonesia saat itu. Semua guru-gurunya
masih muda dan baru lulus kuliah. Teman guru saya ada yang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan NTT .
Kami semua senasib dan sepenanggungan. Asyik!, rasa persaudaran antara
kami begitu terasa Indah. Kami mengajar dengan penuh semangat. Kami
mengabdi dengan tulus demi anak bangsa.
Seiring berjalannya waktu tiga tahun berikut saya dimutasikan di SMA
Negeri 3 Dili. Sebuah kota provinsi Timor Timor. Bapak Kandung saya HR Sudayat
juga Jadi Kepala sekolah, tepatnya di SMA Negeri 1 dan Suamiku di SMKK Negeri Dili Timor Timur.
Selain jadi guru saya mendapat tugas menatar di BPG (Balai Penataran Guru). Senang dapat kesempatan itu, bisa untuk
menambah wawasan. Berteman dengan orang
senior yang baik hati dan mengajak untuk maju. Saya juga diberi kesempatan untuk ikut Pelatihan
Widya Iswara dan guru Inti di Jawa. Pada
waktu yang sama juga dipercaya menjadi Tutor PGSD. Di Timor Timur Saat
itu ada tunjangan kemahalan, jadi gaji
kita lebih besar dibanding PNS dari
provinsi lain. Dengan begitu kami bisa membangun rumah dan hidup dicukupkan.
Menjadi guru di kota provinsi berbeda dengan di Kota
Kabupaten. Di Dili siswanya ‘lebih’ berani dan
banyak yang arogan. Mereka punya komunitas,
Saya Anak Fretilin Anti Repulik Indonesia ( Safari). Sebagian dari mereka memandang ‘sebelah mata’ terhadap para guru. Sekitar 30-an guru di SMA
Negeri 3 Dili hanya 1 guru putra daerah Bapak
Drs Ponciano Barros namanya. Para siswa sudah tidak ada simpatiknya dengan guru
Bahasa Indonesia, Sejarah Indonesia dan PPKN. “Ibu guru pulang saja ke Jawa,
saya bukan orang Indonesia!”, katanya. “kami
‘tak perlu’ bahasa Indonesia, begitupun untuk
guru PPKN dan Sejarah!”, lanjutnya.
Para
Siswa sudah biasa dengan kehidupan pesta dan dansa, jangan heran kalau kaca jendela sekolah sudah gundul semua.
Kenapa? gegara anak-anak minta untuk pesta
perpisahan kelas 3 SMA dilaksanakan malam hari,
tapi bapak kepala sekolah
berharap pesta siang hari demi keamanan. Saat itu anak-anak tidak mau
menerima keputusan Kepala sekolah. Mereka murka, marah dan mengamuk. Kaca jendela yang jadi sasaran kemarahan mereka.
Kaca sekolahpun semakin gundul
dilempari oleh anak-anak lulusan SMP yang ‘tidak’ bisa diterima di SMA Negeri 3 Dili. Saat itu
PMB (Penerimaan Murid Baru) berdasarkan NEM (Nilai Ebtanas Murni), NEM
mereka tidak memenuhi syarat. Jendela kaca sekolah juga yang jadi sasaran
kemarahannya. Akhirnya jendela
kaca yang pecah diganti
terali besi semua.
Di dalam kelas kadang siswa minum mabuk,
ramai-ramai omong sendiri atau membuat kacau. Jendela sudah dipasang
teralipun, bisa saja mereka rusak untuk mbolos. Guru tak berdaya untuk menegur mereka. Pernah ada
kejadian guru menegur siswa karena
‘terlalu’ nakal, mereka emosi dan membalikkan
motor teman guru yang di halaman sekolah kemudian membakarnya. Pernah juga ada kejadian seorang murid, nona cantik jelita, yang jelas anak pejabat diganggu teman kelasnya. Menangislah nona itu lalu
lapor ‘harim’ (pacar) yang di SMA
Negeri 2 Dili. Sang pacar ‘murka’ lalu dia mengajak ‘geng’-nya yang di SMA
Kristal. Mereka datang ramai-ramai menyerang ke Sekolah kami. Ratusan orang tawuran, 4 kompi polisi datang tak sanggup melerai.
Sadis!, peristiwa yang sangat mengerikan saat itu. Banyak siswa yang jadi korban dan berdarah-darah.
Sudah hal biasa anak bawa pisau di sekolah. Sekolah kami 2 lantai, karena panik
dan demi menyelamatkan diri anak-anak
murid melompat dari lantai 2. Apalagi anak pendatang, mereka selalu jadi
sasaran. Mereka dipukuli hingga babak belur. Miris.
Para guru tak berdaya, kami
ketakutan luar bisa, daripada mati konyol
guru bersembunyi di gudang atau lab pengap yang tak berjendela.
Hari-hari selalu diliputi rasa takut. Jantung
selalu berdebar, hati selalu was was dan tak pernah tenang. Apalagi
kalau dengar ada Insiden. Pemberotakan-pemberontakan sering terjadi di kota itu. Kadang hanya dari
hal-hal yang sepele. Itu semua pasti ada muatan ‘politik’nya. Demi sebuah tugas
negara, walaupun perasaan hati diliputi
ketakutan kami tetap melaksanakan tugas
secara pofesional. Tak sedikit juga
teman guru yang jadi korban pemukulan atau sayatan pisau dari siswa.
Jarak sekolah ke rumah
kira-kira 5 km. Saya ke sekolah naik bus
kota. Ada motor tapi tak berani naik motor sendiri, lebih baik naik bus supaya
kalau ada kejadian banyak temannya. Rumah tinggal saya ada di depan kompi B 744 Becora dan di samping perumahan adalah Gedung penjara (Lapas). Sering terjadi kejar kejaran antara aparat dengan
Nara pidana yang melarikan diri. Mereka pasti meneriakkan, “Bunuh
sajaaa!!”, “tembak sajaaa!!”, “Bakar sajaaa!!...”. Marcel dan Anto, anak saya saat itu berusia 3 tahun dan 1 tahun. Akhirnya
bahasa-bahasa itu yang dikonsumsi mereka setiap hari. Teriakan itu yang
selalu keluar dimulutnya, sebagai yel
yel hariannya.
Demi keselamatan kedua putraku akhirnya saya titipkan di Jawa supaya diasuh ibu kandungku. Di Jawa anakku jadi terlihat ‘liar’ dibanding anak Jawa asli pada umumnya. Mereka jadi
kasar. Bahasa yang keluar dari mulutnya
adalah bahasa yang didengar selama
di Timor Timur. Kadang saya jadi
malu sendiri. Suatu hari kami pergi ke
Gereja, ehh!! Kedua anakku langsung naik
di altar padahal pastor sementara
kotbah. Anakku dengan Percaya diri naik dengan membawa tembak-tembakan dan teriak
teriakkk!! Bunuh saja........!!!
kejaarrr!!! Doarrr!! Diaorr!!. Mereka berlarian di atas altar, seolah mau menyerang. Mereka menodongkan tembakan mainan itu ke arah jemaat. Ya Tuhan,
batinku, aku gugup, emosi, jengkel, tapi aku tak berani maju.
Betapa malunya. Bagaimanapun jadi
mengganggu perayaan ekaristi saat itu.
Aku nekat dan cepat mengambil kedua anakku.
Akhirnya semua jadi tahu bahwa itu anakku yang
datang dari Timor Timur. Betapa kenangan itu terus teringat hingga sekarang. Anakku dulu
super nakal. Beruntung, berkat jasa ibu
dan adik bungsuku akhirnya anakku bisa
berubah menjadi anak yang baik.
Tak terasa sudah
9 tahun kami (Saya, Bapak dan Suami) adalah PNS di Tim Tim. Sebuah sejarah yang tak bisa menolak lupa. Kenangan pahit
yang tak terlukislan dengan kata-kata.
Hati teriris, rasa ingin menangis
tapi harus bisa menepis. Pada 30
Agustus 1999 ada 2 opsi untuk rakyat Tim
Tim. Merdeka atau Otonomi khusus?. Namun
diluar dugaan 78,5 persen ternyata memilih merdeka atau menentukan nasibnya
sendiri. Timor Timor jadi ‘merdeka’.
Timtim resmi berpisah dengan negara kesatuan RI dan menjadi negara Independen.
Lepasnya Timtim dengan Indonesia membawa luka dan
sejarah kelam. Indonesia melepas Tim Tim
disertai banjir darah, pembantaian dimana-mana. Pembunuhan, pembakaran,
pengusiran, penghancuran fasilitas umum bahkan
ada berbagai tindakan yang
menjurus pada tindak kejahatan kemanusiaan.
Banyak warga yang terbunuh hanya dalam
beberapa bulan sebelum dan beberapa hari setelah referendum.
Lima ratusan ribu orang
terpaksa meninggalkan timtim dan lari
mengungsi termasuk saya. Kami tinggal di kamp-kamp pengungsi yang tidak layak dan dalam banyak kasus yang mengerikan. Kejadian yang mengiris hati itu terus
berlangsung sampai Tim-tim mendapatkan
kemerdekaannya pada tanggal 20
mei 2001.
Tak pernah kami bayangkan sebelumya, 2 buah rumah,
sebuah taksi dan kos-kosan hasil
kerja keras ‘hilang’ semua. Rumah seisinya
kami tinggalkan ‘utuh’ dengan kunci di masing-masing pintu. Harapan kami
supaya yang mendapatkan rumah saya tak perlu repot-repot merusak atau
membongkar. Dengan deraian air mata
kami tinggalkan semua harta benda yang kami punya. Hasil kerja keras
bertahun tahun. Bapak kandung sementara
urus MPP (masa persiapan pensiun) di Jakarta jadi harta bapakpun tak
terselamatkan. Semoga sudah ada ‘penghuni’ baru dengan penuh damai sejahtera.
Saya ‘harus rela!!’. Harus ikhlas!!.
Beruntung teman-teman yang masih
bisa menyelamatkan isi rumah dengan sewa
kontainer, ada sedikit lega. Tapi saya?!.
‘Nol’. Hanya bisa gigit jari. Tak ada barang yang kami bisa bawa. Saat kami
mengungsi hanya berbekal pakaian yang melekat di badan dan surat-surat penting
yang saya punya. Suami belum mau mengungsi berharap orang yang akan membeli rumah datang
membayar. Saat itu rumah kami sudah ditawar 20 juta, termasuk laku, karena ada tetangga yang rumah keramik di ‘lego’ dengan 7 juta, ada
yang 3 juta. Yang penting dapat diuangkan
untuk bekal pulang ke Indonesia.
Hhh!!, ternyata semua bank , kantor-kantor sudah tutup juga,
bunyi tembakan semakin riuh, pembakaran dimana-mana menambah suasana kota semakin mencekam. Perasaan hati tak pernah tenang. Saya hanya
bisa menangis dan berdoa semoga saya selamat
dan suami juga berada di tempat yang
aman. Dili seolah jadi lautan api saat itu.
Waktu itu banyak orang yang optimis
Pro Integrasi akan menang, tapi diluar dugaan ‘Pro Kemerdekaan’ yang menang. Ya
Tuhaannn.. kuatkan hati, berikan keselamatan. Itu terus doa-doaku di sepanjang
jalan saat mengungsi. Ternyata para
pengungsi di belakangku sudah buanyak sekali. Saat itu kami mengungsi didampingi sang panglima perang yang pro integrasi,
Eurico Guterres. Sampailah di pemberhentian, di Atambua. Di Situ ditampung di
kamp-kamp pengungsi bersama para
pengungsi yang lain. Sekitar seminggu di Atambua makan layaknya pengungsi pada umumnya. Di lapangan, tempat makan minun, MCK, campur baur jadi
satu. Aroma lingkungan pun semakin tak sedap pengaruh air sangat terbatas. Tapi
tetap dinikmati. Banyak pengungsi yang
kelaparan karena makanan tidak cukup. Setiap
hari hanya makan mie instan. Lingkungan
pengungsi padat dan sanitasi sangat buruk.
Banyak juga pengungsi yang
terkena wabah kolera
Untuk mengurus nasib kami
lanjutkan perjalanan ke Kupang, kota provinsi NTT dengan naik mobil tentara. Para pengungsi full di kota kupang. Beruntung saya bertemu pak Margono pengawas dan ibu. Di Kupang kami ditampung di rumah rusak/kosong di belakang
Kantor Dinas P dan K sekarang. Sampahnya setinggi gunung, Lingkungannya terlihat angker. Rumah itu mungkin sudah
puluhan tahun tak dihuni. Saatnya kami membersihkan, menata hingga layak huni
Hati terus berdebar karena
suami belum juga muncul. Beruntung 2
anak sudah saya ungsikan di Jawa. Kalau belum pasti ceritanya berbeda. Banyak anak yang hilang karena
terpisah dengan orang tua. Termasuk saya yang lari sendirian karena suami
bersikeras tak mau mengungsi bersama.
Saatnya menunggu SK penempatan. Para guru PNS boleh minta mutasi dimana saja, termasuk di Jakarta,
di Bandung, Di Surabaya yang penting
sudah ada sekolah yang menerima. Hehe.. saya ada kelompok kecil ‘persija. Persatuan istri jawa. Setahu saya, para suami yang istrinya orang
jawa bersama-sama pindah , ikut istri ke
Jawa. Ini pas giliran saya menghadap pak
Kakanwil Timtim yang berada di Kupang, Pak Tri Suhartanta namanya. Kami kenal baik karena temannya bapak saya
yang kepala SMA Negeri 1 Dili Timpr Timur.
Saya yang orang Jawa asli minta
di tempatkan di Waingapu, Sumba Timur NTT. Bapak melihat saya dengan penuh tanda tanya, menatap saya seperti tak percaya. Beliau memandang
saya dari ujung rambut hingga ujung
kaki berulang-ulang. Apa yang dikatakan
beliau?? mbak Eti, benar mau mutasi di
Sumba Timur? Apakah sudah pernah ke Sumba Timur?? Dan berbagai pertanyaan
seolah saya tidak serius. Semua
teman-teman jawa minta pindah ke Jawa. Bapak
kakanwil minta supaya saya datang lagi esoknya lagi. Saya disuruh merenungkan lagi tentang mutasi ke Sumba
Timur.
Semalam saya memang menimbang-nimbang, sebagai alasan kebetulan saya sudah ada ‘gubuk’ sederhana di Sumba. Saya hanya
seorang istri yang harus setia karena suami asli Sumba. Sebagai abdi negara harus siap mengabdi dimana saja. Dengan tekat
bulat saya esok harinya dengan penuh
semangat untuk ’tetap’ SK PNS saya di Sumba Timur.
Benarlah akhirnya saya di mutasi di
SMA Negeri 2 Waingapu Sumba Timur. Per 1 Maret 2000. Dengan modal SK PNS kami
memulai hidup baru di tempat yang baru.
Suasana di TimTim dan di Sumba
bak bumi dan langit. Masuk hari pertama
mengajar saya tak sanggup. Saya sungguh
terharu dan meneteskan air mata. Murid di NTT
begitu manis-manis. Mereka begitu hormat pada guru. Saat kami mengajar mereka begitu penuh perhatian. Ya Tuhaaannn,
terimakasih banyak untuk pengalaman ini. Kesan pertama yang penuh makna. Kesan
kedua dan seterusnya terasa indah jadi guru di Sumba walau hidup sederhana.
Kini tak terasa saya sudah 21 tahun saya mengajar
di SMA Negeri 2 Waingapu. Waktu begitu cepat. Bertemu, berkarya dan mengabdi bersama teman NKRI yang setia. Orang-orangnya rukun damai dan
sejahtera. Penuh senyum dan bersahabat.
Oh bahagianya........... Di TimTim 10 tahun lamanya penuh cerita duka lara dan
kurang ‘berharga’. Terimakasih untuk pengalaman yang berharga dalam hidup.
Sejarah yang terukir. Kenangan yang kutuliskan.
Semoga cerita ini tersampaikan
untuk para pembaca yang cinta literasi. Semoga bermanfaat untuk sekedar hiburan
atau sedikit menambah wawasan. Inilah
cerita seorang guru yang mengajar di Timor Leste. Guru korban konflik bencana.
Salam, Saya tetap bangga jadi guru......... tak akan pernah luntur ditelan
waktu sampai pensiun menjemputku.