Oleh : Ledwina Eti
Orang hebat bisa
melahirkan beberapa karya bermutu, tapi guru yang bermutu dapat melahirkan
ribun orang-orang hebat.
(juproni.com)
Jika
cerita tentang guru tak pernah ada habisnya. Selalu menarik dan selalau seru.
Yang jelas guru masa lalu berbeda dengan guru kini. Guru sekarang biasa kita sebut guru di zaman now atau guru
milenial. Setiap guru pasti punya tantangan
tersendiri dalam mengajar.
Tentunya untuk guru jaman
sekarang , setiap guru wajib
hukumnya, bisa menaklukkan teknologi
terbaru.
Guru tidak cukup hanya cakap dalam materi. Guru harus memiliki tips dalam mengajar. Bagaimana guru bisa menciptakan pembelajaran agar menyenangkan?
Bagaimana guru bisa membahagiakan siswa
dalam mengajar? Atau bagaimana siswa bisa ketagihan belajar
untuk materi yang diajarkan oleh seorang guru? Bagaimana cara guru menyampaikan pembelajaran
supaya anak tidak bosan?
Masalah-masalah diatas tentunya
harus kira realisasikan. Sebagai guru yang baik kita punya tanggung jawab kepada peserta didik
kita. Ah! Ternyata banyak juga ya
tugas guru. Inilah tantangan bagi kita sebagai ‘seorang guru”. Sosok
Guru sudah ditamankan dalam setiap insan. Guru: digugu dan di tiru. Guru adalah
teladan.
Bapak saya adalah seorang guru. Beliau adalah sosok yang selalau saya kagumi. Setiap hari
pergi mengajar. Dengan motor tuanya L2S yang selalu menemani. Dia paling
setia untuk tugas-tugas pengabdiannya. Saat itu untuk mencukupkan kehidupan keluarga, bapak harus mengajar di
beberapa tempat. Setiap pagi harus bawa bekal makan karena bapak pulang sore
hari setiap hari.
Saat itu “sang Guru” masih sering dilihat dengan sebelah mata. Jaman Umar
bakri. Guru tua, naik sepeda ontel, hidup sangat sederhana karena gaji yang
diterima tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Itulah guru saat itu. Tapi
jasa guru tak diragukan. Jasanya terlalu
besar karena gurulah yang bisa mengantarkan anak-anak untuk meraih
cita-citanya. Maka saat itu guru
dijuluki ‘pahlawan tanpa tanda jasa’.
Saya masih ingat lagu guru yang
selalu didengungkan diradio-radio dan di TV saat itu , bunyinya sebagai
berikut:
Kita jadi pandai karena pak guru.
Kita jadi pintar karena bu guru,
Gurulah pelita, penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara.
Hingga kini saya sudah jadi guru 30 tahun lebih masih ingat lagu
itu. Bapakku adalah anak bungsu dari 3
bersaudara. Kebetulan bapak sendiri yang mau sekolah waktu itu. Kakaknya tidak mau sekolah. Mereka suka dirumah saja membantu orang tua di
sawah. Kakek dan nenekku adalah petani dan kerja sawah. Berkat
kerja keras dan tekun belajar maka bapak hingga lulus kuliah, dan
akhirnya jadi guru.
Dengan sifat yang bapak miliki: dewasa dan suka mengalah, Kakek dan nenek saya bapak lebih disayang dari pada kakak-kakaknya.
Setelah kakek saya meninggal warisan tanah seharusnya dibagi 3, karena ketiga anak kakek adalah laki-laki. Tapi
kenyataannya tidak begitu. Bapak menerima
seberapa saja yang diberikan kakek.
Hal itulah yang membuat saya selalu mengagumi Bapak. Saya adalah anak
pertama dari 4 bersaudara. Banyak nasehat-nasehat yang selalu kami dengan dari
bapak yang seorang ‘guru’. Indah dan
menyejukkan. Bapak selalu mengalah dalam segala hal. Dengan begitu akhirnya saya begitu
tertarik menjadi guru.
Hanya saya saja yang jadi guru.
Adik-adik saya semua Sarjana
teknik. Saya ingin jadi guru karena guru pasti
akan selalu dibutuhkan. Mudah cari kerja dan pasti laku di sekolah untuk
mengajar. Guru akan dihormati dan bisa
melatih, mendidik, mengajar pada peserta
didik. Seolah ada kebanggaan tersendiri di sanubari, di hati yang tak bisa
diungkapkan. Mudah dirasakan tapi susah dikatakan. Begitulah. Bangga bisa
menjadi orang yang bermanfaat untuk ikut mencerdaskan anak bangsa.
Benar saja, setelah lulus kuliah saya langsung bisa mendapatkan SK CPNS
dan ditempatkan di daerah konflik Timor-Timur.
Saat itu, tahun 1990 Tim tim masih ‘agak’ genting. Tapi namanya abdi
negara, harus rela ditempatkan dimana saja, di seluruh pelosok Nusantara. SK
pertama kami mengajar di SMA Negeri Maliana Bobonaro . Sebuah kota kecil di Tim
Tim. Saat itu baru satu-satunya SMA di kabupaten itu. Hampir semua adalah guru
pendatang dari seluruh Indonesia. Ada yang dari batak, sulawesi, kalimantan, Jawa
dan lain-lain. Yang jelas seru deh saat
itu bisa berteman dan akrap dengan
mereka. Serasa senasib sepenanggungan.
Guru di Tim-tim saat itu masih
langka. Tahun 1990 SPG ( Sekolah
Pendidikan Guru) setara SLTA ditutup.
SPG diganti menjadi SMU. Jika di SPG
dulu pelajarannya adalah khusus pendidikan SD (Sekolah Dasar). Kini
tidak ada lagi kurikulum itu. Semua diganti dengan pelajaran umum. Pemerintah
mengharapkan semua guru adalah ‘sarjana’ bukan hanya lulusan SLTA.
Nah, bapak adalah guru SPG. Saat itu teman kuliah bapak adalah pejabat di
Dinas pendidikan dan kebudayaan RI. Bapak Drs, Margono, M.Si namanya. Maka bapak diberikan SK Kepala sekolah di SMA
Negeri Maliana juga. Jadi di SMA yang sama bapak dan anak jadi satu tempat
mengabdi. Dengan begitu kami bisa terus
mengabdi untuk negara dan untuk bapak sendiri. Ini bukan kebetulan, tapi
faktanya memang begitu.
Seiring berjalannya waktu bapaku ( HR, Sudayat) dimutasikan di kota
propinsi menjadi kepala sekolah di SMA Negeri 1 Dili Timur-Timur. Suamiku juga adalah
seorang guru. Dia orang NTT, karena belum juga lulus PNS di tempat
kelahirannya, akhirnya ikut serta
bergabung dengan kami di Tim Tim. Sekali
tes CPNS langsung Lulus. Dia ditempatkan di SMKK Negeri 1 Dili Timor Timur.
Kami bertiga punya profesi guru. Saat itu sebelum PNS suami saya masih di
Maliana, setelah suami PNS saya minta
mutasi di Dili. Benar, akhirnya saya
dimutasikam di SMA Negeri 3 Dili Timor Timur. Sebagai guru bersyukur saya
diberi kesempatan untuk mengajar PGSD
menjadi Tutor. Selain itu saya
juga di diminta untuk menatar di BPG (
balai Penataran Guru ) bahkan di beri kesempata untuk mengikuti pelatihan Widya
iswara di P4TK Yogayakarta 2 kali.
Sebuah kebanggaan bagi saya, karena tidak semua guru mendapatkan
kesempatan itu. Itu berkat, menjadi fasilitator di BPG, nota bene punya tambahan penghasilan. Puji
Tuhan. Dengan begitu saya bisa membangun rumah untuk tinggal. Hari demi hari
kita lalui dengan penuh syukur, sebagai keluarga baru kami menikmati seluruh
anugerah yang sudah Tuhan berikan padaku. Kabahagiaan tidaklah muncul dari harta yang melimpah, tapi muncul dari
kebiasaan hidup yang wajar dan normal.
Kami dikaruniai 2 anak putra, keduanya lahir di Tim tim. Walaupun
sederhana sudah punya rumah. Dari hasil tabungan yang ada kami sudah bisa
membeli taksi untuk tambahan kraena kebetulan ada anak keluarga yang ‘numpang’
dan hidup bersama kami supaya tidak menganggur. Bapak saya sebagai kepala
sekolah juga sudah beli rumah dan kami
bisa bangun kos-kosan 12 kamar. Syukur dan puji Tuhan tak pernah lalai
kupanjatkan.
Takdir menetukan lain. Suasana Tim Tim semakin mencekam. Pemberontakan
terjadi dimana-mana. Saat itu anak saya sudahs saya titipkan di Jawa bersama
Eyangnya. Suasana Timor Timur bukannya semakin membaik tapi akhirnya……Tim Tim merdeka! Kami Warga Indonesia harus ‘dipulangkan. Korban
berjatuhan. Suasana panik. Saya pun harus meninggalkan Tim Tim dengan segera.
Banyak rumah teman-teman terjual dengan harga super murah. Ada yang 3 juta,
lima juta, 15 juta. Pokoknya yang peting jadi uang untuk bekal pulang ke
Indonesia. Nah, rumah saya ada yang tawar 18 juta, Uang yang cukup besar itu.
Tapi ternyata belum sempat dibayar semua bank sudah tutup. Pembakaran terjadi
dimana-mana.
Saya terpaksa ngungsi duluan
bersama Pasukan perang ‘nunut’ di mobil tentara. Suami masih belum mau
mengungsi, membyangkan uang itu. Siapa tahu ‘sang Dewi’ membalikkan fakta dan
mau membayarnya. Sedih. Sampai di
Atambua suami belum juga kelihatan. Ribuan pengungsi tumpah ruah di atambua.
Bagaimana saya bisa cari suami yang hilang entah dimana? 2 Hari dalam
pergumulan, akhirnya kami pun bertemu, dia datang bersama tetangga rumah dan
mobil tentara, anaknya pak Korwas. Dik
Hendrik namanya. Dia ini istrinya adalah
orang Tim Tim asli. Harta benda semua kita tinggal karena kita lari tunggang
langgang cari selamat. Biarlah, itu tinggal cerita.
Jadilah kami seorang pengungsi resmi. Seminggu di atambua kita lanjut
perjalanan di kota Kupang. Nah disitu kami ditampung di rumah rusak, dibelakang
Kantor dinas PK sekarang. Jl. Suharto no 57. Yang lain di lapangan Polda, yang
lainnya lagi tak tahu dimana. Disitulah kami menentukan nasib untuk mutasi di
tanah tumpah darah Indonesia. Semua temanku orang jawa semua pindah ke Jawa,
kecuali aku. Suami adalah orang Sumba Timur, sebagai istriyang setia aku harus mengikuti suami dimana saja dia
berad. Heeh…..Sampai pak Kakanwil heran, kenapa saya mau tinggal di NTT? Itu guru, prinsipnya rela mengabdi untuk anak
negeri. Berbakti demi generasi.
Tahun 2000 SK pun turun di SMA Negeri 2 Waingapu, Sumba Timur. Kami
merangkak dari ‘nol’. Prihatin. Saya
belum berani membawa anak saya ke NTT,
biarkan Eyangnya di Jawa yang urus. Kami masih hidup sengsara, menderita lahir batin.
Harta benda yang kita punya sudah tertinggal semuanya. Kini di tempat baru rumahpun masih ‘numpang’ di kakaknya suami. Bersyukur
kami punya SK PNS.
#Pembelajaran
Kalau mau
menangkap ayam
Jangan dikejar
nanti kita akan lelah
Dan ayampum
akan lari
Berikanlah ia
beras dan makanan
nanti akan dengan mudah ia datang dengan rela
Begitulah jadi
guru , melangkahlah dengan baik
Jangan terlalu
kencang
Mengejar, ngotot,
memburu
Nanti akan
lelah tanpa hasil
Rela terus belajar
mengeluarkan tenaga, pikiran, mengeluarkan anggaran untuk membeli
fasilitas/sarana yang diperlukan. Misal Komputer, HP, Printer, data yang
memadai.
#Pembelajaran
Kalau mau
menangkap ayam
Jangan dikejar
nanti kita akan lelah
Dan ayampum
akan lari
Berikanlah ia
beras dan makanan
nanti akan dengan mudah ia datang dengan rela
Begitulsh
rejeki, melangkahlah dengan baik
Jangan terlalu
kencang
Mengejar, ngotot,
memburu
Nanti akan
lelah tanpa hasil
Keluarkan sedekah