Minggu, 28 Februari 2021

PEJUANG CORONA

 Oleh : Ledwina Eti Wuryani


Badanku Lemas. Kepalaku pusing Sekali.  Aku tidak tahan  lagi, ku putuskan aku tidak pergi ke sekolah. Padahal hari itu  ada rapat persiapan Ujian Sekolah.  Akhirnya aku Ijin  bapak kepsek lewat SMS memberitahukan  kalau aku sakit. Aman.

Aku harus pergi ke rumah sakit  supaya segera sembuh. Benar!  Dengan  motor  tua kesayangan  aku menuju rumah sakit. Ya.. aku  sendirian kupikir aku masih kuat tanpa diantar siapapun.

Aku menuju kebagian resepcionis untuk mendaftarkan diri. Kuberikan  kartu askes padanya. Tak lama kemudian aku dipanggil. Kepalaku  masih pening. Nyut nyut semakin kencang.  Akhirnya aku disuruh naik tempat  tidur besi untuk di periksa. Ada  3 orang  pasien yang bersamaku. Sambil menunggu giliran rasa hatiku deg degan. Ternyata  semua yang masuk rumah sakit harus rapit tes. Aduh!!. Mati  aku!.  Hampir aku  mau lari dari  rumah sakit,. Aku mulai gelisah. Takut! Ngeri! Pokoknya  hati ini jadi tak karuan.

Nah!!, saat pun tiba  kini giliranku. Setelah  aku  dirapit, benar  ada  stripp 2 merah. Katanya aku positif.  Pihak rumah sakit  langsung memberitahukan keberadaanku kepada keluargaku. Aku langsung dilarikan di rumah sakit umum. Aku tergolek lesu di ruangan isolasi. Mataku memandang nanar langit-langit plafon rumah sakit.   Galau, sedih. Sendirian. Sepi. Ngeri.Takut sekali hati ini. Tak  pernah sedikitpun kubayangkan sebelumnya.   

“Tuhan,  bagaimana ini???”, bisik dalam hatiku.  Hanya  bunyi mesin  pendeteksi saja  yang menemani aku di ruangan besar itu. Menjadi pasien  yang positif terinfeksi virus  corona  membuatku  terisolasi dari dunia ini.  Siang dan malam  terasa sepi. Hanya doa yang terus kudaraskan. Siapapun tak boleh menemui aku. Untung ada HP ini yang menjadi teman setiaku.

Aku rindu  sekali dengan suami dan anak-anakku. Dadaku sudah nyeri  terasa sesak  karena rindu yang membuncah. Tak terasa air mataku mengalir deras memenuhi pipi  hingga bantal tidurku. Aku pikir hidupku tak lama lagi. Malam  ini terasa  sepi sekali. Ya Tuhan...

Tiba-tiba infusku habis.  Ku bel-bel kok tidak ada yang datang. Kubel terus... tetap tidak ada yang datang. Ketakutan semakin menjadi. Kuberanikan diri  aku keluar  ruangan dan  kupikul infus itu. Sepi sekali. Ya ampun....aku mau menangis, dag dig dug  jantungku  berdetak.  Dimana perawat???. Halo...halo..., ku ulang ulang , tetap tidak ada suara. Aku sudah melewati 2 ruangan. Bulu kudukku mulai berdiri. Nyaris aku  mau lari  karena ketakutan. Seumur hidupku aku baru merasakan  hal seperti ini.

Syukurlah,... tiba-tiba terlihat seorang perawat sementara menutup pintu ruangan di ujung.  Ritttt.......kudengar bunyi  pintu itu. Suster-suster!! Kupangill dengan  gugup.  Dari kejauhan  terlihat dia mendekatiku.  Suster infusku sudah habis!!, kataku  dengan penuh ketakutan. “Tunggu  sini dulu ya bu, saya ambil  infus yang  baru”, katanya.  Aku  berdiri didepan pintu sambil menunggu suster. Tak lama kemudian  suster keluar dan  membawaku  kembali ke ruangan. Infus sudah diganti, suster  langsung meninnggalkan aku lagi. Sepi lagi. Kusetel  lagu rohani di Hpku untuk menemani tidurku.

 Suasana tengah  malam begitu menyayat hati. Pikran-pikiran ini selalu  dihantui  dengan pasien-pasien yang  sudah meninggal. Tiba-tiba, pintu ruangan diketuk. Tok! Tok! Tok!  Aku kaget setengah mati. Seorang perawat  yang tak kutahu wajahnya menghampiriku. Penampakannya seperti  astronot dengan apron yang membalut tubuhnya berlapis-lapis. Dengan  masker khusus yang pasti membuatnya sesak nafas. Lengkap dengan kacamata google untuk menghindari kontak droplet saliva kemukosa mata. Katanya menurut yang kubaca, hehe...Perawat  itu menegurku...selamat malam  ibu,  aku nyinyir. Antara  takut, mau senyum jadi kaku  karena kaget.

Sontak  saat itu berderai air mataku. Aku menceritakan semua  kekuatiranku. Ketakutanku. Kegelisahanku...semuanya. Aku terus bercerita  supaya  suster tak meninggalkanku.  Mungkin  aku bisa  mati ketakukatan. Apalagi kalau aku sendirian terus. Aku tahu,  ruanganku ini dekat  dengan kamar  mayat, tambah  merinding  bulu kudukku. Suster itu baik sekali hatinya. Terlalu baik.  Dia  memberikan kepadaku  kata penghiburan dan kekuatan.  Dia memberiku semangat  hidup. Aku pasti kuat melaluinya. Aku pasti sembuh. Yakin!.  Hidup mati ada di tangan Tuhan. Mendengar  Suster Anna, begitu dia memperkenalkan diri tadi,.  Harapan hidupku  jadi ada. Asaku melambung tinggi.

Benar adanya. 14 hari kemudian, dokter menyatakan  aku negatif. Aku sembuh. Aku  bahagia sekali. Pokoknya  bahagianya tak bisa  dilukiskan dengan kata-kata. Akhirnya aku  keluar dari ruang isolasi. Jantungku terasa lega. Sesak didada  sudah sirna. Kuingat suster Anna.  Segera aku tanya kepada para perawat yang  ada. Aku harus menemuinya. Aku ingin berterima kasih padanya. Beliau penyemangat  hidupku. Karena  beliau aku  sekarang sudah sembuh. Aku sudah  terbebas dari Corona.

Aku digandeng  oleh seorang suster, diajaknya aku duduk.  Dibangku panjang  depan Laboratorium dekat, ruangan ICU.   Suster cerita padaku bahwa Suster  Anna sudah meninggal 2 hari yang lalu. Suster Anna  tidak bertahan  karena sudah terinfeksi duluan.  Badannya terlalu lemah ditambah mungkin Kecapean merawat pasien. Selain itu Suster punya riwayat sakit  asma. Lengkaplah.

Mataku terbelalak  saat mendengar kata-kata yang terlontar dari bibir perawat itu.

Ya Tuhan......tenyata suster yang baik hati itu sudah  meninggalkan kami.  Tuhan pasti sudah menyiapkan tempat yang indah diSorga.

 

 

ULAMA

 

Oleh: Ledwina Eti Wuryani

Namaku Eduardus Umbu Tamu Ama, aku biasa  dipanggil Ama oleh teman-temanku. Aku sekolah di salah satu SMA  Favorit di kotaku.  Cieee...Cieee, Jurusanku  IPA. Jurusan yang memang kucita-citakan sejak aku masih SD. Aku  pingin   jadi Arsitek  supaya  kalau aku disuruh gambar rumah  orang,  aku dapat uang. Apalagi kalau  suatu saat dapat  proyek. Woww....pasti asyiklah.

Waktu , hari jumat,  aku  menuju ke laboratorium Biologi dekat asrama. Aku sudah janjian dengan  teman-teman untuk  membuat laporan  praktikum tadi  pagi. Tapi siapa sangka sampai   di situ  aku bertemu  dengan guruku. Guru yang mengajarku matematika  waktu aku masih kelas 10. 

Dia adalah bu  Ani, guru  yang paling aku hormati dan aku kagumi. Karena dari  beliau  akhirnya aku jadi menyukai pelajaran itu sampai mengantarku ke Propinsi. Jadi salah satu  wakil kabupaten untuk lomba olimpiade matematika. Kenangan indah. Yach walaupun  di sana aku tak dapat  juara. Minimal sudah bisa naik pesawat gratis dan tidur di hotel mewah.

Disaat aku  sibuk  membuat  laporan bersama teman-teman ku. Mataku tertuju  ke arah ibu guru. Bu Ani  begitu serius dengan Hpnya. Aku mendekatinya dan penasaran.  “Apa yang dikerjakan ibu Ani itu?”, batinku.

Bu, sudah sore begini, apa yang ibu kerjakan? Aku bertanya dengan wajah penasaran. “Oh ini, Ibu sedang membuat  Video pembelajaran untuk besok pagi di kelas X IS1. “Kenapa ibu harus disini, kok tidak di tempat lain”, tanyaku.   “Yaa... di sini kan sepi, kebetulan yang di asrama tak ada orang. Sore begini  susah cari tempat sepi. Rumah ibu di pinggir jalan.  Dari pagi sampai pagi  selalu bising kendaraan.  Asyik di sini bersama Om Raja, sang penjaga sekolah yang baik hati. Bereteman dengan sepi.

Kekagumanku kepadanya semakin menjadi,  mengingat usianya sudah lanjut. Mungkin 2 tahun lagi pensiun, tapi keinginan belajarnya  masih tinggi. Benar ini yang namanya  #Ulama. UsiaLanjutMasihAktif.

Berbeda denganku,  diumurku yang masih muda  kadang aku masih  saja berjibaku dengan malas yang meradang. Benar kata orang tuaku,  mencari ilmu itu tak perlu ke negeri cita. Mbah google akan setia dan  cerdas menjawab apa yang kita tanya. Ibu guru saja  rajin.  #Aku harus lebih rajin dong.   Semangat!!!   Long life Education.

 

*#$@BuDe@$#*

Rabu, 24 Februari 2021

MENULIS NARATIF UNTUK MENGHADAPI RETAKNYA KELUARGA

 



.

Writing for Wellness – 50

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Gambaran tentang keluarga “sempurna” yang sering ditayangkan majalah, TV, atau media sosial, membuat banyak orangtua dan anak yang mengembangkan harapan terlalu tinggi terhadap diri sendiri maupun keluarga. Kesenjangan ini memicu stres, terlebih ketika menghadapi realitas adanya keretakan dalam keluarga.

Saat menghadapi stres, setiap keluarga memiliki respon yang berbeda. Mengutip laman Scanva, ada beberapa respon yang sering terjadi. Di antaranya adalah adu argumen, pertengkaran, dan bentuk komunikasi buruk lainnya; kelelahan dalam keluarga; kebingungan, terutama pada anak-anak, tentang hubungan dengan anggota keluarga lainnya; pelarian dengan makanan, alkohol, dan zat adiktif lain.

Pada dasarnya semua keluarga memiliki masalah dan stres masing-masing. Namun setiap keluarga mengalami efek stres yang berbeda, dan menangani stres dengan cara berbeda. Maka Scanva menyarankan agar semua mampu bekerja sama sebagai sebuah keluarga untuk menghadapi stres.

Di antaranya adalah dengan membicarakan perasaan secara terbuka. Jaga jalur komunikasi tetap terbuka sehingga setiap anggota keluarga merasa nyaman menyuarakan perasaan mereka jika mulai merasakan stres. Pilih suasana nyaman dan tenang untuk berbicara dari hati ke hati, biarkan semuanya berbicara dengan lancar mengalir tanpa diinterupsi dan dihakimi.

Pada dasarnya semua keluarga memiliki masalah dan stres masing-masing. Namun setiap keluarga mengalami efek stres yang berbeda, dan menangani stres dengan cara berbeda.

Semua persoalan yang menekan dan menimbulkan stres, sebisa mungkin segera mendapat penyelesaian. Jika tidak dikhawatirkan akan menimbulkan keretakan keluarga. Ketegangan yang semakin meningkan menyebabkan peningkatan pula dalam intensitas konflik, yang bisa berdampak buruk bagi anggota keluarga, terlebih anak-anak.

Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Nurtia Massa dan kawan-kawan pada tahun 2020, yang bertujuan untuk mengetahui dampak keluarga broken home terhadap perilaku sosial anak. Teknik pengumpulan data dengan observasi, dokumentasi, dan wawancara terhadap anak-anak yang dari keluarga broken home.

Dampak keluarga broken home terhadap perilaku sosial anak yang paling menonjol adalah mudah mendapat pengaruh buruk dari lingkungan dan mudah terlibat permasalahan moral.

Ditemukan beberapa perilaku sosial anak yaitu rentan mengalami gangguan psikis, membenci kedua orang tua, mudah mendapat pengaruh buruk dari lingkungan, memandang hidup adalah sia-sia, tidak mudah bergaul dan permasalahan moral. Dampak keluarga broken home terhadap perilaku sosial anak yang paling menonjol adalah mudah mendapat pengaruh buruk dari lingkungan dan mudah terlibat permasalahan moral.

Refleksi Diri dengan Menulis Naratif

Dampak negatif dari keretakan keluarga tentu harus disadari sepenuhnya oleh orangtua, agar mampu menemukan solusi yang paling tepat. Salah satu cara menyelesaikan persoalan keluarga adalah dengan meredakan ketegangan personal. Misalnya suami dan istri yang tengah mengalami keretakan, bisa menempuh mekanisme cooling down agar tercipta suana ‘perdamaian’ di antara mereka.

Setiawati Intan Savitri, seorang psikolog, bersama rekan-rekannya (2019) melakukan penelitian terkait salah satu cara merespon keretakan keluarga, dengan refleksi diri. Saat individu berusaha mengatasi dampak emosional menghadapi keluarga retak, individu mencoba untuk melakukan refleksi atas peristiwa tersebut meski kadang sulit karena individu larut pada emosi negatif (ruminasi). Namun, individu juga mampu melihat pengalamannya secara adaptif dari perspektif pengamat dengan merespon tekanan dengan berjarak, sehingga mampu memaknai atau mendapatkan solusi dari tekanan.

Savitri dan tim melakukan penelitian untuk menggambarkan proses refleksi diri adaptif ketika merespon peristiwa retaknya keluarga dengan cara menulis narasi dengan kata ganti personal satu (perspektif pelaku) dan menulis narasi dengan kata ganti personal nama-diri (perspektif pengamat).

Studi yang dilakukan Kross dkk (2014) menyatakan bahwa kata ganti personal nama-diri merupakan metode untuk refleksi diri yang dianggap lebih adaptif dibandingkan dengan menggunakan kata ganti personal satu (perspektif diri pelaku) yang menyebabkan efek larut pada emosi negatif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi. Subjek penelitian berjumlah tujuh orang, terdiri lima wanita dan dua pria. Data diperoleh dari teks tulisan subjek yang mengikuti eksperimen menulis naratif selama empat hari berturut-turut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa instruksi menulis dengan bahasa yang berjarak menggunakan perspektif pengamat, jika dibandingkan dengan instruksi menulis dengan menggunakan perspektif pelaku, pada level tertentu dapat membantu proses refleksi diri adaptif dengan mekanisme yang berbeda.

Menemukan Solusi dengan Hati dan Pikiran Jernih

Menulis naratif tentu saja tidak serta merta bisa menyelesaikan keretakan keluarga. Namun menulis naratif bisa dilakukan oleh suami dan istri yang tengah berada dalam keretakan hubungan. Saat suasana jiwa mereka dilanda emosi tingkat tinggi, sangat sulit untuk bisa menemukan solusi dan titik temu yang disepakati.

Dengan menulis naratif sebagaimana direkomendasikan oleh hasil studi Savitri dan tim, setiap individu bisa mengalami proses refleksi diri. Hingga tercapai suasana yang lebih kondusif. Hati dan pikiran yang tenang, untuk melahirkan energi perbaikan suasana. Masing-masing pihak telah mampu merefleksikan kondisi, sehingga bisa berbicara dan berdiskusi yang membawa solusi.

Selamat menulis, selamat menemukan kedamaian.

Bahan Bacaan

MENULIS EKSPRESIF UNTUK MENGHILANGKAN KESEDIHAN

 


.

Writing for Wellness – 51

Oleh : Cahyadi Takariawan

“Feeling sad can alter levels of stress-related opioids in the brain and increase levels of inflammatory proteins in the blood that are linked to increased risk of comorbid diseases including heart disease, stroke and metabolic syndrome” – ScienceDaily, 2016

.

Sedih adalah salah satu kondisi yang bisa terjadi pada semua manusia, tanpa terkecuali. Bahkan kesedihan menjadi ciri kehidupan manusia. Tidak ada manusia yang tidak pernah merasakan kesedihan. Bahkan pada orang-orang pilihan seperti para Nabi sekalipun. Dalam sejarah dikenal ada ‘tahun kesedihan’ yang dialami Nabi Muhammad saw.

Meski demikian, terlalu banyak bersedih tidak baik bagi kesehatan manusia. Sebab merasa sedih dapat meningkatkan kadar protein inflamasi dalam darah yang terkait dengan peningkatan risiko penyakit penyerta, seperti penyakit jantung, stroke, dan sindrom metabolik. Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di The University of Pusat Ilmu Kesehatan Texas di Houston (UTHealth) menyatakan hal tersebut.

Salah satu sumber kesedihan adalah kehilangan orang-orang terkasih, seperti pasangan hidup, orangtua, bahkan sahabat dekat. Adalah wajar dan manusiawi, ketika kehilangan orang terkasih, kita merasa sedih. Terkadang bahkan sampai larut dalam kesedihan. Diperlukan intervervensi yang tepat untuk mempercepat pulih dari kesedihan.

Berbagai Cara Menghilangkan Kesedihan

Sangat banyak cara untuk mengelola kesedihan. Pada orang-orang beriman, mereka memiliki cara menghilangkan kesedihan dengan kembali kepada keyakinan imannya. Misalnya, bagi umat muslim, mereka akan menghilangkan kesedihan dengan sabar dan shalat (QS. 2 : 45 – 46), juga memperbanyak dzikir (QS. 13 : 28).

Selain menggunakan metode spiritual, mereduksi kesedihan juga bisa dilakukan dengan menyibukkan diri dalam berbagai aktivitas positif. Tidak membiarkan hati dan pikiran terus menerus mengingat kesedihan yang dialami, namun mengajak otak untuk sibuk dengan berbagai hal yang positif. Pada dasarnya otak hanya akan fokus kepada satu hal dalam satu waktu.

Salah satu aktivitas yang bisa mereduksi kesedihan adalah dengan menulis ekspresif. Courtney E. Ackerman (2021) menyatakan, menulis berfungsi untuk meningkatkan kesehatan mental dengan membimbing kita menghadapi emosi yang sebelumnya dihambat.

Menulis mampu mengurangi stres, membantu memproses peristiwa sulit, dan menyusun narasi yang koheren tentang pengalaman kehidupan –Courtney E. Ackerman (2021)

Menulis mampu mengurangi stres, membantu memproses peristiwa sulit, dan menyusun narasi yang koheren tentang pengalaman kehidupan. Menulis memungkinkan bagi kita untuk melalui pengalaman berulang terhadap emosi negatif, misalnya terkait dengan ingatan traumatis, sebagaimana hasil studi Baikie & Wilhelm (2005)

Menulis Ekspresif untuk Menghilangkan Kesedihan

Setiawati Intan Savitri, seorang psikolog, dan tim melakukan penelitian pada tahun 2019 lalu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pengaruh tulisan ekspresif terhadap tingkat kesedihan seseorang melalui desain sekuensial. Dilakukan percobaan menulis ekspresif selama 3 hari berturut-turut selama 15 menit setiap hari, kemudian dilakukan analisis terhadap isi tulisan peserta.

Penelitian ini menggunakan desain eksperimen teknik pencocokan pre-post test yang dilanjutkan dengan analisis isi. Melibatkan 30 partisipan, yang kehilangan orang tua lebih dari enam bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelompok eksperimen mengalami penurunan tingkat kesedihan relatif terhadap kelompok kontrol, teks menunjukkan hasil yang menarik untuk dibahas lebih lanjut.

Savitri dan tim membuka wawasan kita bahwa menulis ekspresif bisa menjadi sarana meredakan kesedihan karena kehilangan orangtua. Dalam studi lain, menulis ekspresif juga mampu meredakan kesedihan yang diakibatkan kehilangan sahabat dekat. Seperti studi yang dilakukan oleh Davide F. Margola dan tim.

Margola dan tim melakukan studi untuk menyelidiki pengungkapan emosi tertulis pada remaja untuk menghadapi peristiwa traumatis yang mereka alami secara kolektif. Peristiwa traumatis kolektif tersebut adalah kematian mendadak seorang teman sekelas. Tentu saja, kehilangan salah seorang sahabat memberikan kesedihan tersendiri bagi teman sekelas.

Dua puluh siswa sekolah menengah diminta menulis tentang reaksi emosional mereka terhadap kematian salah seorang teman sekelasnya, selama tiga hari berturut-turut. Tulisan-tulisan tersebut diproses menggunakan Linguistic Inquiry dan Word Count (LIWC) dan dianalisis menggunakan perangkat lunak metode campuran (T-LAB).

Analisis tekstual mengungkapkan elaborasi progresif peristiwa traumatis selama tiga hari penulisan, bergerak dari perspektif faktual ke pemrosesan emosi, menuju restrukturisasi emosional dan kognitif yang terintegrasi. Secara khusus, siswa dalam lintasan stabil-positif dan pemulihan lebih banyak menyebutkan teman sekelas yang meninggal dan mencerminkan pemrosesan kognitif yang lebih besar dari trauma tersebut.

Siswa dalam lintasan stabil-negatif menggunakan lebih banyak referensi diri dan kata-kata emosi negatif dan menunjukkan tingkat penghambatan yang lebih besar. Hasilnya memberikan petunjuk awal untuk proses penyesuaian pada kematian remaja. Terdapat pengaruh untuk memproses kesedihan menjadi pemaknaan kognitif, melalui tulisan ekspresif.

Dari berbagai studi, semakin menjelaskan peran menulis ekspresif untuk meredakan kesedihan, pada contoh kasus karena kehilangan orangtua atau sahabat dekat. Menulis ekspresif mampu mengolah peristiwa traumatis menjadi pemaknaan kognitif yang membuat kesedihan mereda.

Selamat menulis, selamat menikmati kebahagiaan.

Bahan Bacaan

Courtney E. Ackerman, 83 Benefits of Journaling for Depression, Anxiety, and Stress, 5 Februari 2021, https://positivepsychology.com

MENULIS UNTUK MEREDAKAN DEPRESI RINGAN

 


.

Writing for Wellness – 52

Oleh : Cahyadi Takariawan

“Pada tahun 2020, diperkirakan 15,6 juta jiwa masyarakat Indonesia mengalami depresi –Halodoc, 2020.

.

Depresi merupakan gangguan medik serius menyangkut kerja otak, bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan mengganggu fungsi keseharian seseorang.

Biasanya ditandai dengan suasana perasaan murung, perubahan pola tidur dan makan, perubahan berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah, perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya.

Menurut Arhatya Marsasina (2016), prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 hingga 9 juta jiwa pada tahun 2016. Pada tahun 2020, diperkirakan 15,6 juta jiwa masyarakat Indonesia mengalami depresi (Halodoc, 2020).

Setelah mencapai pubertas, resiko depresi meningkat 2 hingga 4 kali lipat, dengan 20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat anak-anak 1:1. Dengan peningkatan resiko depresi pada wanita setelah pubertas, perbandingan pria dan wanita menjadi 1:2. Hal ini berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi, perubahan estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial budaya yang berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita (Marsasina, 2016).

Menurut Marsasina, di antara gejala depresi adalah kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi, meningkatnya keadaan mudah lelah, menurunnya produktivitas. Gejala lainnya adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, perasaan bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan psimistik. Di level tertentu muncul gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.

Menulis Ekspresif Meredakan Depresi Ringan

Sebenarnya, depresi ringan adalah hal yang sangat lumrah terjadi dalam kehidupan manusia modern. Terlebih lagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Banyak kalangan masyarakat yang dilanda kecemasan terkait resiko terinfeksi Covid-19 ditambah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Untuk itu, diperlukan intervensi untuk meredakan depresi ringan agar tidak berkembang menjadi depresi sedang apalagi depresi berat. Hendaknya kita bisa memahami gejala depresi ringan, agar bisa melakukan tindakan untuk meredakan atau menghilangkannya.

Ada sangat banyak cara untuk meredakan depresi –terutama depresi ringan. Bagi manusia beriman, ibadah dan pendekatan diri kepada Allah adalah cara paling utama untuk meredakan depresi. Rasa tawakal, sabar dan syukur adalah bagian sikap yang akan mampu meredakan ketegangan serta kecemasan menjalani kehidupan. Selain pendekatan spiritual, terdapat berbagai intervensi teknis.

Novi Qonitatin dan tim (2011) menyatakan depresi ringan banyak dialami oleh orang dewasa muda, terutama mahasiswa, karena memiliki tuntutan peran dan tugas yang tidak mudah. Qonitatin melakukan penelitian untuk melihat pengaruh katarsis dalam menulis ekspresif sebagai intervensi depresi ringan pada mahasiswa. Sebagai partisipan penelitian adalah mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Semarang.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah BDI (Beck Depression Inventory) untuk melihat tingkat depresi pada partisipan penelitian. Efektivitas atau pengaruh dari intervensi menulis ekspresif sebagai variabel bebas terhadap depresi sebagai variabel terikat dilihat dari perbedaan antara pretest dengan postest.

Sebanyak 84 mahasiswa sebagai subjek penelitian, 47 orang (55,95%) diantaranya mengalami depresi, dimana sebagian besar berada pada taraf depresi ringan. Berdasarkan hasil analisis data tersebut menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti katarsis dalam menulis ekspresif memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap depresi ringan pada mahasiswa.

Penelitian lain dilakukan oleh Nety Mawarda Hatmanti dan Rusdianingseh (2019). Menurut mereka, mahasiswa dalam tahapannya mengalami masa kritis dan transisi sebelum menjalani kehidupan sesungguhnya di masyarakat. Pada tahap ini mereka mengalami berbagai hal adaptasi dan tekanan dari lingkungan di sekitarnya.

Hatmanti dan Rusdianingseh melakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh expressive writing treatment terhadap stres mahasiswa. Desain dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pre and post test control group design. Populasi penelitian ini adalah 152 mahasiswa Prodi S1 Keperawatan di semester VI.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor stres kelompok yang tidak diberikan expressive writing treatment (control) adalah 130,7, sedangkan rata-rata skor stres kelompok yang diberikan expressive writing treatment adalah 124,95. Hal ini menandakan pemberian expressive writing treatment dapat menurunkan tingkat stres.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor stres kelompok yang tidak diberikan expressive writing treatment (control) adalah 130,7, sedangkan rata-rata skor stres kelompok yang diberikan expressive writing treatment adalah 124,95. Hal ini menandakan pemberian expressive writing treatment dapat menurunkan tingkat stres.

Hatmanti dan Rusdianingseh merekomendasikan, dosen bisa menerapkan teknik menulis ekspresif untuk menggali dan mengungkapkan perasaan mahasiswa selama kegiatan di kampus. Harapannya, para mahasiswa bisa mereduksi stres yang dirasakan selama fase kehidupannya.

Terbukti secara akademik, menulis ekspresif mampu menurunkan gejala depresi ringan. Selamat menulis, selamat menikmati kebahagiaan.

Bahan Bacaan

Arhatya Marsasina, Alifiati Fitrikasari, Gambaran dan Hubungan Tingkat Depresi dengan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pasien Rawat Jalan Puskesmas, Jurnal Kedokteran Diponegoro, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016, http://ejournal-s1.undip.ac.id  

MENULIS EKSPRESIF UNTUK MENURUNKAN KECEMASAN ANAK JALANAN

 



.

Writing for Wellness – 52

Oleh : Cahyadi Takariawan

“Becoming street children is not a desirable option to everyone, especially for security issues. Street children often seen as a problem, and there are no regulations yet to overcome this phenomenon” – Herlina Astri, 2014

.

Anak jalanan sudah menjadi fenomena masyarakat perkotaan. Di berbagai kota besar, dengan mudah kita menemukan anak-anak yang dikategorikan sebagi anak jalanan. Mereka kerap tampak di traffict light, sebagai pengasong, pengamen atau peminta-minta. Terkadang dengan tampilan art performance. Di Jakarta, dijumpai pula sebagai joki “3 in 1” karena kebijakan lalu lintas yang mewajibkan minimal tiga penumpang dalam satu mobil.

Odi Shalahuddin (2004) membagi anak jalanan dalam tiga kategori. Pertama, children on the street, yaitu anak jalanan yang karena masalah ekonomi terpaksa berada di jalanan dan masih memiliki hubungan dengan keluarga. Kedua, children of the street, yaitu anak-anak yang menghabiskan seluruh atau sebagian besar waktunya di jalanan, dan tidak memiliki hubungan dengan orang tua atau keluarganya lagi. Ketiga, children in the street, yaitu anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan, dari keluarga yang hidup di jalanan.

Nyayu Fatimah (2020) menyampaikan data penelitian, bahwa 21,9% dari anak-anak jalanan umumnya telah mengenal dunia jalanan dan berada di jalanan sejak usia masih relatif muda, sekitar 5 tahun. Mengenai alasan mereka bekerja di jalanan, 50% menyatakan untuk membantu orang tua. Pekerjaan orangtua dari anak jalanan itu pada umumnya adalah kuli pasar / kuli bangunan (24,8%), berdagang (21%) dan pengaguran (10,5 %).

Penghasilan yang diperoleh kedua orangtua tidak cukup untuk menghidupi seluruh keluarga. Karena kondisi inilah, mereka harus tega melepaskan anaknya ke jalanan sebagai upaya untuk menopang kelangsungan hidup mereka.

Dilihat dari jenis pekerjaan ibunya, 34,3%, merupakan pedagang, 31,4% adalah ibu rumah tangga, 11,4% kuli cuci dan 3,7 % pekerjaannya adalah mengemis. Penghasilan yang diperoleh kedua orangtua tidak cukup untuk menghidupi seluruh keluarga. Karena kondisi inilah, mereka harus tega melepaskan anaknya ke jalanan sebagai upaya untuk menopang kelangsungan hidup mereka.

Potret Perilaku Anak Jalanan

Nyayu Fatimah menyatakan, sikap-sikap yang lebih sopan dan bersih akan ditunjukkan oleh anak-anak jalanan “sampingan”, yaitu anak yang tidak setiap saat berada di jalanan. Sementara anak jalanan tetap (“matuh”) akan menunjukkan sikap dan berperilaku relatif kasar, kurang sopan serta kurang pengertian terhadap lingkungan. Ada perlakuan dan pribadi yang berbeda dari setiap kategori anak jalanan tersebut dan semua itu sangat tergantung dengan apakah ia masih bersama anggota keluarganya atau sudah lepas tanpa perhatian keluarga.

Hasil studi yang dilakukan Suryanto dan tim (2016) terhadap anak-anak jalanan yang diasuh oleh orangtua asuh, menunjukkan terdapat beberapa jenis perilaku pada anak-anak jalanan. Terdapat perilaku mengganggu teman, malas, banyak bermain, memegang alat vital temannya, berkata kotor, motivasi belajar rendah, membangkang, memukul teman, keras kepala, dan kesulitan belajar.

Dijumpai pula perilaku bermasalah, seperti anak yang mengancam bunuh diri. Permasalahan emosional anak yang sering muncul adalah mudah marah, tersinggung, kurang terbuka, membentak teman dan pendamping, memukul teman, emosional saat bicara, cemas, marah, perasaan bersalah dan sedih.

Hasil penelitian yang dilakukan Herlina Astri (2014) menunjukkan bahwa keberadaan anak jalanan sebagian besar disebabkan oleh kemiskinan, gangguan kepribadian, dan faktor eksternal anak. Mereka memiliki cara hidup sendiri dan sering dianggap sebagai sampah masyarakat.

Hasil penelitian yang dilakukan Herlina Astri (2014) menunjukkan bahwa keberadaan anak jalanan sebagian besar disebabkan oleh kemiskinan, gangguan kepribadian, dan faktor eksternal anak. Mereka memiliki cara hidup sendiri dan sering dianggap sebagai sampah masyarakat.

Kondisi kehidupan jalanan yang kurang mendukung dan kurangnya pengawasan dari keluarga membuat anak jalanan sangat rentan terhadap berbagai bentuk kekerasan. Untuk mengatasi permasalahan anak jalanan, diperlukan perubahan yang komprehensif agar mereka tidak lagi hidup dan bekerja di jalanan.

Mengatasi Kecemasan Sosial Anak Jalanan Melalui Tulisan

Salah satu persoalan yang dihadapi anak jalanan adalah kecemasan sosial. Mereka berada dalam stigma negatif masyarakat, yang menganggap mereka sebagai sampah. Di sisi lain, anak-anak jalanan harus bertahan hidup di jalanan yang keras, dengan berbagai kegiatan yang bisa mendatangkan uang.

Sudah banyak LSM dan Ormas yang peduli dengan nasib anak-anak jalanan. Umumnya dibuat kegiatan ‘penampungan’ dengan menghadirkan rumah singgah bagi mereka. Sebagian dibawa ke Panti Asuhan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Ada pula yang diangkat sebagai anak asuh dalam satu keluarga.

Dalam melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap anak-anak jalanan, salah satu metode yang bisa diterapkan adalah dengan aktivitas menulis ekspresif. Studi yang dilakukan oleh Ida Fitria dan tim (2016) telah menguji sebuah modul eksperimen menulis ekspresif yang dirancang oleh peneliti berdasarkan pada rancangan umum dari Pannebaker dan Chung.

Tolak ukur keberhasilan modul dinilai dari penurunan kecemasan sosial partisipan pada skala SKS-R dari hasil perbandingan mean pre dan post-test pada taraf signifikansi 0,05. Hasil penelitian menunjukkan keberhasilan pengaplikasian modul menulis ekspresif dengan penurunan 5,2 dari nilai range mean skala kecemasan sosial sebelum dan sesudah perlakuan dengan nilai t yang signifikan.

Hasil penelitian Ida Fitria dan tim menunjukkan keberhasilan pengaplikasian modul menulis ekspresif untuk menurunkan kecemasan anak-anak jalanan. Skala kecemasan sosial sebelum dan sesudah intervensi menulis ekspresif, mengalami penurunan yang signifikan.

Hasil penelitian ini berkontribusi untuk penambahan sarana pelayanan di panti asuhan atau rumah singgah, untuk mengarahkan anak asuh melakukan kegiatan menulis ekspresif dalam bentuk diary. Kontribusi ini akan memberi dampak positif bagi kesejahteraan psikologis mereka, mengingat di panti asuhan atu rumah singgah, sering kali jumlah pengasuh dengan anak asuh berbanding sangat jauh.

Metode Menulis Ekspresif untuk Menekan Kecemasan

Sudah sangat banyak studi yang menunjukkan efektivitas menulis ekspresif untuk menurunkan tingkat kecemasan. Studi yang dilakukan Ida Fitria dan tim terhadap anak-anak jalanan menunjukkan hasil yang konsisten, bahwa kecemasan anak-anak jalanan menurun dengan signifikan setelah mendapatkan intervensi menulis diary.

Pada dasarnya, menulis ekspresif adalah metode menuliskan kondisi perasaan, pemikiran, pengalaman traumatis, secara bebas yang dilakukan secara rutin dalam beberapa hari tertentu. Dengan menuliskan hal-hal yang menekan, mereka telah melepaskan bebean-beban yang menghimpit pikiran dan perasaan.

Menulis ekspresif bisa juga dilakukan dalam konteks pengalaman menyenangkan dan membahagiakan. Orang-orang yang menulis tentang momentum kebahagiaan mereka, akan bisa menambah nilai kebahagiaan. Kecemasan akan mereda, dan kesejahteraan mental mereka akan meningkat.

Dengan melihat hasil penelitian Ida Fitriaa dan tim, pihak panti asuhan atau rumah singgah dapat menggunakan sarana menulis ekspresif dalam bentuk diary, sebagai alternatif dan sarana anak asuh berkeluh kesah atau curhat tanpa kendala.

Bahan Bacaan

PROSES SELF EDITING

 


.

Serial Self Editing – 4

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Setelah Anda selesai melakukan first reading, selanjutnya masuk ke proses editing tulisan. Ada beberapa bagian penting yang perlu mendapatkan perhatian saat melakukan self editing.

Pertama, Edit Isi Tulisan

Sebelum tulisan dipublikasikan maka penulis wajib melakukan tindakan edit isi agar tulisan menjadi baik dan benar. Ini yang sering disebut sebagai substansial editing. mengedit bagian yang paling substansi, yaitu isi tulisan.

Yang bisa mengedit isi adalah penulis karena penulislah yang mengetahui pesan yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Kelebihan atau kekurangan satu kata saja akan bisa menimbulkan bias persepsi di kalangan pembaca.

Ingat, isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis. Semua tuntutan akan kembali kepada Anda sebagai penulis. Maka Anda harus memastikan telah mengedit isi tulisan sebelum mempublikasikan.

Kedua, Edit Gaya Bahasa

Edit gaya bahasa perlu dilakukan agar terjadi kesesuaian atau keselarasan gaya bahasa tulisan Anda. Antara gaya bahasa bercerita, bertutur, bercanda, berbeda dengan gaya bahasa akademik dan kedinasan.

Jika berawal dari gaya bahasa formal agar tetap konsisten dengan gaya bahasa formal dari awal sampai akhir. Demikian pula jika Anda menggunakan gaya bahasa nonformal harus konsisten hingga akhir. Konsistensi penggunaan gaya bahasa, akan lebih nyaman dan enak dibaca.

Ketiga, Edit Point of View (POV)

Dalam tulisan fiksi, Anda harus konsisten menggunakan point of view (POV). Jika Anda memilih POV 1, artinya Anda menggunakan “aku” atau “saya” dalam cerita. Anda sebagai pelaku utama dalam cerita. Konsekuensinya, Anda tidak tahu isi hati orang lain.

Jika Anda memilih POV 3, artinya Anda bercerita tentang dia, mereka, atau tokoh-tokoh yang Anda ciptakan. Konsekuensinya, Anda boleh mengatur dan mengetahui isi hati semua tokoh yang ada dalam cerita. Anda bebas mengatur tokoh sesuai keinginan Anda.

Anda harus konsisten menggunakan sudut pandang. Dalam proses self editing, Anda perlu memeriksa semua isi naskah, apakah sudah konsisten dalam penggunakan POV.

Keempat, Edit Kosa Kata

Edit kosa kata perlu dilakukan agar tidak terjadi pengulangan kosa kata pada tulisan Anda. Jika itu terjadi, bisa menimbulkan kejenuhan dan kebosanan. “Kemudian ia berdiri, lalu ia duduk, kemudian ia berdiri lagi, lalu berjalan-jalan sebentar, kemudian berhenti, lalu duduk lagi”. Lelah pembaca bertemu “kemudian” dan “lalu”.

Demikian pula, penggunaan kosa kata yang tidak konsisten membuat tidak nyaman pembaca. Seperti penggunaan aku atau saya, kamu atau Anda, ini perlu konsisten dalam satu naskah.

Tulisan yang terlalu banyak unsur serapan bahasa daerah juga bisa membuat tidak nyaman pembaca. Untuk itu, kosa kata perlu disesuaikan dengan sasaran pembaca tulisan Anda. Untuk siapa tulisan Anda, sesuaikan kosa kata dengan segmen pembaca Anda.

Kelima, Edit Paragraf

Proses edit paragraf perlu dilakukan agar tulisan membentuk satu kesatuan makna, tidak terlalu panjang, juga tidak terlalu pendek. Kadang kala, pada tulisan terjadi ketidak koherenan di dalam paragraf maupun antar paragraf yang bisa membingungkan, mengaburkan, dan bisa menimbulkan persepsi lain di kalangan pembaca.

Lakukan upaya untuk mengatasi kondisi antar paragraf yang tidak bersambung. Bisa dilakukan dengan menambah paragraf baru untuk menyambungkan, atau bahkan membuang satu paragraf agar bisa lebih tersambungkan. Kadang Anda harus memecah satu paragraf yang terlalu penjang menjadi dua atau bahkan tiga.

Keenam, Edit Sistematika

Apakah keseluruhan tulisan Anda telah sistematis? Lakukan editing pada sistematika, agar antar bagian dalam tulisan Anda selalu tersambung, misalnya antar subbab dan antar bab satu dengan yang lainnya. Jika Anda merasa ada yang tidak sistematis, Anda masih bisa mengubah sistematika. Meletakkan bab dan subbab secara lebih teratur dan sistematik, sehingga enak dibaca.

Salah satu problem tulisan adalah tidak sistematis. Melompat-lompat, memutar-mutar, dan tidak urut logikanya. Ini sebabnya perlu editing pada sisi sistematika.

Ketujuh, Edit Ejaan dan Tanda Baca

Editing ejaan dan tanda baca sangat penting agar tulisan kita menjadi baik dan benar. Baik artinya tulisan itu memberikan manfaat serta mudah dipahami oleh pembaca, tidak menimbulkan konflik, tidak menyinggung pihak tertentu, dan sebagainya. Benar, artinya tulisan kita berada pada rambu-rambu penulisan yang sesuai dengan kaidah pada KBBI maupun PUEBI.

Perhatikan contoh kalimat berikut. “Ormas islam, seperti nu dan muhammadiyah, hendaknya bisa kooperatif dengan Pemerintah”. Penulisan kalimat pendek ini, dalam perspektif politik, bisa menimbulkan suasana konflik. Bukan soal isinya, namun soal cara penulisannya.

Ketika menulis islam, dengan huruf i kecil. Demikian pula menulis nu dan muhammadiyah, semestinya NU dan Muhammadiyah. Huruf N besar, U besar dan M besar. Sementara ketika menulis Pemerintah, dengan P besar. Ini bisa berdampak adu domba.

Demikianlah contoh pentingnya editing ejaan dan juga tanda baca. Kadang tampak sepele, namun bisa menjadi masalah besar.

Kedelapan, Editing Akhir

Yang dimaksud dengan editing akhir adalah mengedit kembali secara menyeluruh tulisan itu, sehingga Anda yakin tulisan Anda telah “sempurna”, sebelum akhirnya naskah Anda akan diedit di meja editor penerbitan buku atau koran dan majalah.

Sebelum tulisan dipublikasikan, perlu Anda edit semampu Anda, walaupun nanti tulisan itu ketika akan diterbitkan juga diedit kembali oleh tim editor penerbitan. Pentingnya proses editing tulisan agar pesan yang Anda sampaikan bisa ditangkap dengan baik oleh pembaca, tanpa menimbulkan persepsi lain, tulisan enak dibaca, dan memberikan kekuatan pesan yang sampai kepada pembaca.

Selamat mengedit tulisan, sebelum mempublikasikan.

Bahan Bacaan

Ella Yusuf, Jadi Editor untuk Tulisan Sendiri? Bisa Kok! www.kompasiana.com, 17 Juni 2015

MENULIS, DARI PASSION MENUJU MISSION

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

The first step in liquidating a people is to erase its memory. Destroy its books, its culture, its history –Milan Kundera

.

Salim A. Fillah, penulis puluhan buku best seller, dalam acara Silaturahim Akbar Penulis Indonesia secara online, hari Kamis 10 Desember 2020, mengungkap istilah passion dan mission. Menurutnya, menulis jangan hanya karena passion, namun harus menjadi mission.

Simak kembali di sini:

Ini hal yang sangat menarik. Menulis bukan sekedar karena “saya suka”, atau “saya bisa”, atau karena telah menjadi hobi. Passion memang membuat seseorang bersemangat dan lancar menulis. Namun jika berhenti pada passion, bisa jadi tulisan yang dihasilkan tidak membawa misi yang membangun.

Maka menulis harus menjadi mission. Ada misi yang diemban dan dinyatakan melalui tulisan. Bahkan ketika menulis bukan menjadi passion dirinya, seseorang tetap bisa menulis karena memiliki misi yang jelas.

Misi Menghancurkan

Tulisan bisa menghancurkan sebuah peradaban. Generasi muda bisa diracuni pemikiran, perasaan dan perilaku mereka melalui tulisan. Perilaku menyimpang, bisa dicitrakan sebagai hal yang normal dan wajar, melalui tulisan.

Generasi muda bisa diajak menerima sex bebas, alkohol, obat terlarang, melalui novel dan naskah film. Dengan alasan kebebasan, hak asasi manusia, demokratisasi, dan jargon-jargon kemanusiaan, generasi muda bisa diracuni pemikiran mereka melalui tulisan.

Masyarakat bisa dirusak ingatan mereka akan sejarah bangsa, melalui tulisan. Milan Kundera, seorang novelis Ceko menyatakan, “The first step in liquidating a people is to erase its memory. Destroy its books, its culture, its history. Then have someone write new books, manufacture a new culture, invent a new history. Before long the nation will begin to forget what it is and what it was”.

Menurut Kundera, langkah pertama menghancurkan suatu bangsa adalah dengan menghapus ingatan mereka. Kundera sangat yakin, bahwa “the struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting”. Perjuangan manusia melawan kekuasaan, bagi Kundera, adalah perjuangan ingatan melawan lupa.

Hancurkan buku, hancurkan kebudayaan, hancurkan sejarah. Setelah musnah, tulis buku baru, ciptakan budaya baru, bangun sejarah baru –sesuai keinginan pihak yang merusak. Hancur sudah bangsa, dan muncul bangsa baru yang sesuai kehendak pihak perusak.

Buku sejarah bisa diubah. Persepsi masyarakat bisa diarahkan dengan tulisan. Novel diciptakan, naskah drama, telenovela, sinetron, serta sinema, semua bisa diseting untuk merusak bangsa. Sebuah bangsa bisa hancur dan binasa, melalui tulisan.

Misi Membangun

Bangsa Indonesia dijajah Belanda, adalah sejarah yang harus ditulis. PKI melakukan pemberontakan, adalah sejarah yang harus dituliskan. Harus menjadi bacaan masyarakat, melalui novel, kisah, legenda, film dan berbagai sarana lainnya.

Jika buku sejarah, novel, kisah, sinetron dan film yang beredar di masyarakat menyatakan Belanda membangun Indonesia, pasti tak akan ada kisah perjuangan. Tak akan ada kisah kemerdekaan. Tak akan ada kisah perlawanan.

Yang akan berkembang pada persepsi bangsa Indonesia, Belanda adalah pahlawan yang membangun dan mensejahterakan Indonesia. Belanda adalah negara yang sangat berjasa terhadap Indonesia, karena mengentaskan Indonesia dari kebodohan dan keterbelakangan.

Inilah yang dinyatakan oleh Kundera. “The struggle of memory against forgetting”, dalam bahasa lainnya, menolak lupa. Melalui tulisan kita melawan lupa. Jangan pernah lupa, bahwa kita pernah dijajah Belanda. Jangan lupa, pahlawan bangsa kita telah berjuang melawan penjajah Belanda.

Jangan pernah lupa, bahwa PKI pernah melakukan pemberontakan dan kekejaman. Jangan pernah lupa, pemberontakan PKI menelan korban jiwa yang tak terhingga. Banyak pahlawan revolusi yang gugur karena kekejaman PKI. Jika sejarah tidak ditulis, masyarakat akan lupa.

Menulis hendaklah memiliki mission membangun. Melalui tulisan, kita membangun sumber daya manusia Indonesia. Ada banyak sisi yang bisa kita bangun melalui tulisan. Di antaranya adalah mengarahkan bangsa Indonesia agar sesuai tujuan nasional.

Dalam Pembukaan UUD NRI 1945 dinyatakan, tujuan nasional ada empat aspek. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Maka miliki misi menulis. Bukan hanya karena memiliki passion. Akan sangat kuat pesan Anda melalui tulisan, apabila didasari mission.

Selamat menulis. Selamat berkarya, untuk membangun Indonesia.

Bahan Bacaan

Desmond Berg, We Were Warned About Histor

BORN TO WRITE

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

I think I was born to write” – Ida Pollock, 2013

.

Banyak orang yang mengalami disorientasi di masa tua. Itu karena mereka ‘tidak dewasa’, namun semata menua. Maya Angelou menyatakan, “Most people don’t grow up. Most people age. They find parking spaces, honor their credit cards, get married, have children, and call that maturity. What that is, is aging.” 

Menurut Angelou, kebanyakan orang tidak tumbuh dewasa. Mereka hanya menua. Ketika mereka mampu menemukan tempat parkir, bisa menggunakan kartu kredit, menikah, punya anak, itu disebut sebagai kedewasaan. Padahal, itu adalah penuaan.

Kedewasaan salah satunya ditunjukkan dengan produktivitas. Maka orang dewasa akan selalu menjaga produktivitas di sepanjang rentang usia mereka. Sampai mereka benar-benar telah ‘usang’ dimana sudah tidak mampu lagi untuk produktif.

Dunia tulis menulis, membuat kita bisa selalu produktif sampai akhir hayat. Budayawan Kuntowijoyo, di saat mengalami sakit yang membuat tubuhnya lemah, tetap bisa menulis dengan bantuan anaknya. Sampai akhir hayat, pak Kunto tetap berkarya dan menghasilkan buku.

Tetap Produktif di Usia Tua

Jika ada orang tua yang terus menerus berkarya, menghasilkan buku, salah satunya adalah Ida Pollock (1908 – 2013). Terlepas dari isi tulisan yang mungkin saja tidak cocok untuk masyarakat Indonesia yang religius, namun kita bisa belajar tentang produktivitas dan semangat berkarya darinya.

Ida Pollock adalah penulis novel roman yang produktif. Ia pertama kali menulis kisah thriller “The Hills of Raven’s Haunt” pada usia 14 tahun. Artinya, sejak remaja ia telah berkarya dan menghasilkan buku thriller.

Hingga usia tua, ia terus berkarya. Bahkan menjelang akhir hidupnya, ia melaunching novel ke 124, berjudul The Runaway. Usianya sudah 105 tahun saat launching buku tersebut pada bulan Mei 2013. Ia meninggal dunia pada bulan Desember 2013.

Uniknya, Ida senang menggunakan beragam nama pena. Hanya ada beberapa novel saja yang menggunakan nama asli. Di antara nama pena yang pernah digunakan antara lain Joan Allen, Susan Barrie, Pamela Kent, Averil Ives, Rose Burghley, Mary Whistler, Anita Charles, Barbara Rowan, Jane Beaufort, dan Marguerite Bell.

Ida mampu menulis satu novel tebal dalam waktu enam pekan saja. Bahkan 40 buku –dari 124 bukunya—ditulis dalam waktu lima tahun saja. Suaminya, Kolonel Hugh Pollock, terlebih dahulu meninggal pada tahun 1971. Kolonel Pollock adalah seorang editor.

“Sepertinya aku dilahirkan untuk menulis”, ujar Ida Pollock. Jika dilihat buku pertama dihasilkan saat dirinya berusia 14, dan buku terakhir saat dirinya berusia 105 tahun, artinya ia telah menulis lebih dari kurun 90 tahun.

Pembiasaan Sejak Kecil

Kebiasaan menulis itu ia dapatkan sejak kecil, karena pembiasaan yang diberikan ibunya. “Ibuku menaruh mesin ketik di ruang makan, dan dia bilang, ini dia,” ujar Ida. Kebiasaan sang ibu menyediakan mesin ketik di ruang makan, serta menyodorkan kepada dirinya, membuat Ida tertantang.

Saat ia menulis buku perdana di usia 14, saat itu adalah tahun 1922. Belum berkembang komputer canggih. Yang ada baru mesin ketik jadul yang bekerja secara manual. Dengan keterbatasan fasilitas, ia mampu menghasilkan karya.

Ia terus berkarya, dan melewati berbagai masa. Ia berpindah dari mesin ketik jadul, menuju komputer. Kemudian ia menjumpai masa kejayaan laptop, dan akhirnya gadget dan internet. Ia hidup di berbagai masa, dan tetap berkarya. Buku-buku yang ditulis, menjadi saksi produktivitasnya.

Perhatikan bagaimana sang ibu membiasakan dan menyemangati dirinya untuk menulis sejak masih kecil. Rupanya ini habit yang terus terbawa sampai dewasa, bahkan sampai usia senja. Menjelang wafatnya, masih menulis novel dan dilaunching pada tahun yang sama dengan kematiannya, 2013.

Tidak berlebihan jika Ida Pollock menyatakan, dirinya terlahir untuk menulis. Born to write. Bagaimana dengan kita? Sejarah yang akan membuktikannya.

Bahan Bacaan

Mark E. Williams, Aging and Productivitywww.psychologytoday.com, 10 Juni 2019

Richard Smith, World’s Oldest Romantic Novelist Ida Pollock Releases 124th Book 

GADIS CILIK 7 TAHUN MELAUNCHING BUKU

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Usia tidak menghalangi seseorang untuk menulis. Usia sangat tua, bisa menulis. Usia sangat muda, bisa menulis. Yang tidak menulis, bukan karena mereka terlalu muda atau karena mereka terlalu tua. Namun karena mereka beralasan.

Amat sangat banyak daftar alasan yang disampaikan orang, untuk memaklumi dan membenarkan dirinya yang tak pernah menulis. Saya sudah terlalu tua, saya sangat sibuk, saya tidak punya waktu, anak saya masih kecil, saya kerja penuh waktu, dan lain sebagainya. Ini adalah daftar alasan untuk tidak menulis.

Jika Anda merasa tua, saya yakin belum setua Ida Pollock. Di usia 105 tahun, Pollock melaunching buku ke 124 berjudul The Runaway. Anda juga belum setua Toyo Shibata yang menulis buku di usia 98 tahun, dan bukunya menjadi best seller saat ia berusia hampir 100 tahun.

Jika Anda merasa muda, mungkin masih kalah muda dibanding Hazimah. Pada usia 9 tahun, gadis muda belia ini melaunching buku perdana. Pada usia 11 tahun, ia melaunching buku kedua. Semangat berkarya yang luar biasa.

Ada lagi gadis usia muda belia yang melahirkan karya. Abhijita Gupta adalah gadis sangat muda belia yang bisa menulis dan menerbitkan buku. Ia mulai rajin menulis sejak usia 5 tahun. Pada usia 7 tahun, ia melaunching buku berjudul ‘Happiness All Around’, yang merupakan buku antologi cerpen dan puisi.

abhijita gupta

Penulis Buku Termuda di Dunia

Gadis cilik dari Ghaziabad India ini dinobatkan sebagai penulis termuda di dunia versi International Book of Records. Ia juga dianugerahi gelar ‘Grandmaster of Writing’ oleh Asia Book of Records, karena kepiawaian menulis puisi dan cerita.

Abhijita Gupta adalah cucu dari penyair Hindi modern, Maithilisharan Gupt dan Santkavi Shri Siyaramsharan Gupt. Ternyata darah sastra sang kakek menjadi salah satu spirit bagi Abhijita untuk berkarya. Ayah dan ibunya sangat mendukung kegiatan menulis. Lingkungan keluarga yang mendukung, membuat Abhijita lebih terpacu dalam menerbitkan buku.

Ayah dan ibu Abhijita dengan bangga menyatakan, “Buku Abhijita akan memberikan dampak positif bagi masyarakat dan menginspirasi anak-anak seusianya.” Tentu saja penghargaan terhadap Abhijita adalah kebanggaan yang luar biasa bagi kedua orangtua.

Dari mana Abhijita Gupta mendapatkan inspirasi menulis? Saat ditanya media, ia menjawab, “Lingkungan sekitar dan bahkan hal-hal kecil menginspirasi saya. Saya menulis tentang hal-hal positif, dari apa yang saya dengar, lihat, atau rasakan.”

Pandemi Covid-19 adalah hal yang negatif karena menghambat aktivitas manusia. Namun Abhijita justru menganggap pandemi adalah kesempatan yang bermanfaat karena bisa digunakan untuk menulis. Saat ini Abhijita menulis buku tentang pandemi dan pengaruhnya terhadap anak-anak di seluruh dunia.

Beberapa judul puisi Abhijita antara lain Mother Earth, Let’s Try, Study is my Best Buddy, dan Precious Friendship. Ia menulis dengan inspirasi hal-hal yang ada di sekitarnya. Tentu ini merupakan sebuah prestasi yang luar biasa untuk ukuran anak seusianya.

Agar Bisa Menulis Buku

Berapapun usia Anda, bisa menulis buku. Syaratnya hanya satu, jangan beralasan. Jika Anda tidak beralasan, pasti akan bisa menghasilkan karya tulis. Namun jika Anda beralasan, seumur hidup Anda tidak akan bisa menulis buku.

Jangan menganggap bahwa menulis buku itu sulit. Karena pada dasarnya semua bisa Anda tulis menjadi buku. Seperti yang disampaikan Abhijita Gupta, “Saya menulis tentang hal-hal positif, dari apa yang saya dengar, lihat, atau rasakan”.

Sederhana, bukan? Berbagai hal yang Abda dengar, Anda lihat dan Anda rasakan, bisa menjadi tulisan. Bisa Anda bukukan.

Jadi, alasan apa lagi yang hendak Anda sampaikan untuk tidak pernah menulis buku? Berhentilah membuat alasan.

Bahan Bacaan

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...