Oleh : Ledwina Eti Wuryani
Badanku Lemas. Kepalaku pusing Sekali. Aku tidak tahan lagi, ku putuskan aku tidak pergi ke sekolah.
Padahal hari itu ada rapat persiapan
Ujian Sekolah. Akhirnya aku Ijin bapak kepsek lewat SMS memberitahukan kalau aku sakit. Aman.
Aku harus pergi ke rumah sakit supaya segera sembuh. Benar! Dengan
motor tua kesayangan aku menuju rumah sakit. Ya.. aku sendirian kupikir aku masih kuat tanpa
diantar siapapun.
Aku menuju kebagian resepcionis untuk mendaftarkan diri.
Kuberikan kartu askes padanya. Tak lama
kemudian aku dipanggil. Kepalaku masih
pening. Nyut nyut semakin kencang.
Akhirnya aku disuruh naik tempat
tidur besi untuk di periksa. Ada
3 orang pasien yang bersamaku.
Sambil menunggu giliran rasa hatiku deg degan. Ternyata semua yang masuk rumah sakit harus rapit tes.
Aduh!!. Mati aku!. Hampir aku
mau lari dari rumah sakit,. Aku mulai
gelisah. Takut! Ngeri! Pokoknya hati ini
jadi tak karuan.
Nah!!, saat pun tiba
kini giliranku. Setelah aku dirapit, benar ada stripp
2 merah. Katanya aku positif. Pihak
rumah sakit langsung memberitahukan
keberadaanku kepada keluargaku. Aku langsung dilarikan di rumah sakit umum. Aku
tergolek lesu di ruangan isolasi. Mataku memandang nanar langit-langit plafon
rumah sakit. Galau, sedih. Sendirian.
Sepi. Ngeri.Takut sekali hati ini. Tak
pernah sedikitpun kubayangkan sebelumnya.
“Tuhan, bagaimana ini???”,
bisik dalam hatiku. Hanya bunyi mesin
pendeteksi saja yang menemani aku
di ruangan besar itu. Menjadi pasien
yang positif terinfeksi virus
corona membuatku terisolasi dari dunia ini. Siang dan malam terasa sepi. Hanya doa yang terus kudaraskan.
Siapapun tak boleh menemui aku. Untung ada HP ini yang menjadi teman setiaku.
Aku rindu sekali
dengan suami dan anak-anakku. Dadaku sudah nyeri terasa sesak
karena rindu yang membuncah. Tak terasa air mataku mengalir deras
memenuhi pipi hingga bantal tidurku. Aku
pikir hidupku tak lama lagi. Malam ini
terasa sepi sekali. Ya Tuhan...
Tiba-tiba infusku habis.
Ku bel-bel kok tidak ada yang datang. Kubel terus... tetap tidak ada
yang datang. Ketakutan semakin menjadi. Kuberanikan diri aku keluar
ruangan dan kupikul infus itu.
Sepi sekali. Ya ampun....aku mau menangis, dag dig dug jantungku
berdetak. Dimana perawat???.
Halo...halo..., ku ulang ulang , tetap tidak ada suara. Aku sudah melewati 2
ruangan. Bulu kudukku mulai berdiri. Nyaris aku
mau lari karena ketakutan. Seumur
hidupku aku baru merasakan hal seperti
ini.
Syukurlah,... tiba-tiba terlihat seorang perawat sementara
menutup pintu ruangan di ujung.
Ritttt.......kudengar bunyi pintu
itu. Suster-suster!! Kupangill dengan
gugup. Dari kejauhan terlihat dia mendekatiku. Suster infusku sudah habis!!, kataku dengan penuh ketakutan. “Tunggu sini dulu ya bu, saya ambil infus yang
baru”, katanya. Aku berdiri didepan pintu sambil menunggu suster.
Tak lama kemudian suster keluar dan membawaku
kembali ke ruangan. Infus sudah diganti, suster langsung meninnggalkan aku lagi. Sepi lagi.
Kusetel lagu rohani di Hpku untuk
menemani tidurku.
Suasana tengah malam begitu menyayat hati. Pikran-pikiran
ini selalu dihantui dengan pasien-pasien yang sudah meninggal. Tiba-tiba, pintu ruangan diketuk.
Tok! Tok! Tok! Aku kaget setengah mati.
Seorang perawat yang tak kutahu wajahnya
menghampiriku. Penampakannya seperti
astronot dengan apron yang membalut tubuhnya berlapis-lapis. Dengan masker khusus yang pasti membuatnya sesak
nafas. Lengkap dengan kacamata google untuk menghindari kontak droplet saliva
kemukosa mata. Katanya menurut yang kubaca, hehe...Perawat itu menegurku...selamat malam ibu,
aku nyinyir. Antara takut, mau
senyum jadi kaku karena kaget.
Sontak saat itu
berderai air mataku. Aku menceritakan semua
kekuatiranku. Ketakutanku. Kegelisahanku...semuanya. Aku terus
bercerita supaya suster tak meninggalkanku. Mungkin
aku bisa mati ketakukatan. Apalagi
kalau aku sendirian terus. Aku tahu,
ruanganku ini dekat dengan
kamar mayat, tambah merinding
bulu kudukku. Suster itu baik sekali hatinya. Terlalu baik. Dia
memberikan kepadaku kata
penghiburan dan kekuatan. Dia memberiku
semangat hidup. Aku pasti kuat
melaluinya. Aku pasti sembuh. Yakin!.
Hidup mati ada di tangan Tuhan. Mendengar Suster Anna, begitu dia memperkenalkan diri
tadi,. Harapan hidupku jadi ada. Asaku melambung tinggi.
Benar adanya. 14 hari kemudian, dokter menyatakan aku negatif. Aku sembuh. Aku bahagia sekali. Pokoknya bahagianya tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Akhirnya
aku keluar dari ruang isolasi. Jantungku
terasa lega. Sesak didada sudah sirna.
Kuingat suster Anna. Segera aku tanya
kepada para perawat yang ada. Aku harus
menemuinya. Aku ingin berterima kasih padanya. Beliau penyemangat hidupku. Karena beliau aku
sekarang sudah sembuh. Aku sudah
terbebas dari Corona.
Aku digandeng oleh
seorang suster, diajaknya aku duduk.
Dibangku panjang depan Laboratorium
dekat, ruangan ICU. Suster cerita
padaku bahwa Suster Anna sudah meninggal
2 hari yang lalu. Suster Anna tidak
bertahan karena sudah terinfeksi
duluan. Badannya terlalu lemah ditambah
mungkin Kecapean merawat pasien. Selain itu Suster punya riwayat sakit asma. Lengkaplah.
Mataku terbelalak saat mendengar
kata-kata yang terlontar dari bibir perawat itu.
Ya Tuhan......tenyata suster yang baik hati itu sudah meninggalkan kami. Tuhan pasti sudah menyiapkan tempat yang
indah diSorga.