Oleh : Ledwina Eti Wuryani
Karena persahabatan itu seperti tangan dan mata. Saat tangan terluka
mata menangis. Saat menangis tangan
menghapusnya
Hidup bagai roda. Nikmat
Tuhan kan selalu ada. Ujianpun tak akan
menolak lupa. Drama kehidupan selalu siap dimainkan oleh sang pemeran. Liku-liku kehidupan akan membuat
indahnya suatu cerita. Kisah hidup setiap insan pasti berbeda. Ada yang menarik, mengesankan dan ada yang biasa-biasa
saja. Tapi itu tergantung juga penilaian sang pembaca. Sebagai penulis
pemula belajar dan mencoba berteriak lewat
aksara. Menyampaikan curahan tanpa suara. Biar jejak
bisa dikenang oleh siapa saja. Jika
tak menarik, bolehlah tak dibaca. Biarkan saja. Jangan pula terpaksa. Kecuali penasaran, bolehlah silahkan baca.
Cerita akan bisa menghibur
dan punya makna saat sang
pembaca iklas dan tulus untuk meluangkan waktu ‘walau’
hanya sebentar saja.
Hehe...
cerita ini adalah
kisah baru seorang guru dirantau orang. Curahan hati Sebagai orang pendatang karena
terlepas dari korban konflik bencana. Tepatnya dari provinsi termuda Indonesia yang akhirnya memilih ‘merdeka’. Mereka ingin bebas. Saya dan keluarga adalah salah satu korbannya. Di tempat baru, saya harus menyesuaikan diri. Beradaptasi kembali
di tempat yang baru. Kata pepatah
dikandang kambing harus bisa mengembik, di kandang ayam juga harus
bisa berkokok.
Itulah amanah yang wajib kujalani sebagai abdi
negara. Saat dirantauan dulu anggap saja
saya sudah mapan secara finansial. Bapak
kandung, suami dan saya sempat punya rumah. Rumah tinggal dan rumah perumnas Usindo
di Comoro. Ada pula kos-kosan di Becora. Ada motor, bahkan punya taxi bisa untuk
menambah income keluarga. Hal ini
karena memang di Timtim saat itu ada
tunjangan kemahalan bagi semua PNS. Ada juga tugas tambahan seperti jadi guru
inti, penatar di balai penataran guru ( BPG) dan Tutor PGSD yang nota bene, ada
honornya.
Demi menyelamatkan diri kami tinggal ‘semua’ harta benda yang kami
punya. Rumah lengkap isinya serta kunci kami tempelkan di masing-masing pintu.
Harapan kami supaya yang akan menempati nanti
tidak usah repot-repot merusak rumah. Siap pakai dengan segala fasilitasnya. Enak
kan? Kami lari mengungsi hanya membawa
surat penting dan pakaian secukupnya saja. Cukuplah bisa ditenteng di tas kecil sekenanya. Saat itu Dili, Timor Timur
sudah jadi lautan api, pembunuhan dan pembakaran
dimana-mana. Semua orang Indonesia harus
pulang ke negaranya, termasuk saya.
Di tempat yang baru saya memulai kehidupan dari ‘nol’. Merayap dengan
penuh keprihatinan. Ada sebenarnya rumah tapi tidak bisa perbaiki untuk layak huni karena tidak ada dana. Kami berstatus pengungsi
belum ada modal. Akhirnya kami ‘numpang’ tinggal di rumah kakak kandung suami. Kakak saat itu menjabat kepala desa di
Kamanggih (-+ 60 Km) dari kota Waingapu. Ternyata kami tinggal bersama lebih dari 20-an orang. Ratapan, kepedihan, derita yang selalu
menemani pribadiku. Hanya doa yang bisa
menghibur diriku. Dengan situasi seperti itu saya ‘belum’ sanggup membawa kedua
anak kandungku di tempat kerja yang baru. Hidup dan nasib kami belum jelas. Anakku
masih tinggal bersama ibu kandungku di Jawa.
Selama 4 tahun saya ‘numpang’
dirumah kakak. Hati kecilku ingin lari dari rumah. Saya tak tahan hidup dengan
banyak sekali orang. Belum terbiasa saja. Berusaha untuk senyum tapi terasa
hampa karena terpaksa. Mencoba tertawa
tapi terlihat rekayasa. Apalagi saya seolah jadi tuan rumah. Maafff.....,
saya hanya curhat sebagai seorang
pendatang baru. Gaji guru PNS tahun
2004 teramat sangat minim. Untuk makan sekian orang tidaklah cukup. Hanya untuk
beli beras saja rasanya beraaat sekali. Kadang sampai hutang di tetangga yang baik hati demi sang perut yang sering
protes karena laparnya luar biasa. Ada
motor satu-satunya kami sewakan 30 ribu
perhari untuk mencukupkan makan saat
itu. Badanku kurus kering karena kurang gizi. Muka terlihat pucat . Wajah sayu,
lusuh dan tak berdaya. Pergi mengajar sekitar 2 km kadang jalan kaki. Naik bemo harus menunggu lama dipinggir
jalan. Lebih repot jika harus terputar
sampai di Mauliru. Setiap hari tak pernah sarapan pagi padahal pulang sekolah sekitar jam 14.30 wita.
Hanya Doa yang membuatku kuat. Aku hampir mau mengakhiri hidup atau lari
menyendiri. Hidup terasa pahit dan sulit. Aku takut suami marah kalau aku mengeluh. Cuma kupikir kalau
aku lari aku pasti lebih menderita karena aku adalah seorang PNS. Saat itu
betul-betul aku ada di titik nadir, tapi
aku berusaha menutupi semuanya. Terasa sesak karena aku memang tidak
mungkin bisa curhat dengan siapapun. Saya orang baru. Orang tak mengenalku. Aku hanya dikenal teman di sekolah saja. Aku
jadi pemurung dan seperti orang
linglung. Hati bingung tapi hanya bisa
tercenung karena murung. Tak satupun tahu
tentang pergumulan hidup pribadiku saat itu.
Mungkin
suami ‘perasaan’ dengan keadaanku. Sebagai
orang Jawa pada umumnya istri hanya
mengalah dan diam. Saya tak suka bala-bala apalagi bertengkar
mulut. Apa kata orang luar tentang
keluarga kami jika kami bertengkar. Berstatus guru harus selalu bisa jadi teladan. Digugu dan ditiru.
Walau hidup dalam ‘gejolak’ tapi harus
tabah dan tawakal. Bagi orang Sumba Timur, suami tidak bisa dipandang
dengan sebelah mata. Menurut tradisi mereka ia masih termasuk golongan ‘bangsawan’. Keluarga mereka masih disegani, apalagi di kampung. Anak-anak
‘dalam rumah’ yang setia masih banyak.
Menimbang,
mengingat dan memperhatikan kondisi
keluarga yang terus menerus menyulit akhirnya
kami memutuskan untuk membuat rumah sederhana. Syukurlah pelan-pelan mulai
dibangun. Dengan modal nekat dan
mengikat erat ikat pinggang dan berpuasa. Suami mulia cetak bataco sendiri bersama anak-anak
tinggal. Beruntung mama mantu menjual kerbau kesayangannya untuk tambah membeli
material rumah .
Rumah sederhana akhirnya berdiri.
Walau belum layak huni kami terpaksa
tinggal. Tanah itu hasil barter dengan
rumah sederhana kami yang dibangun waktu masih di Timtim. Hasil honor suami
mengajar di SMA dan kirimanku saat masih pegawai baru di
Timor-Timur. Dengan menempati rumah berbeda tanggungan kami jadi terbagi.
Sebagai guru saat itu benar-benar sengsara. Dulu di Tim Tim gaji cukup bahkan
‘lebih’ tapi situasi selalu genting
karena sering terjadi pemberomtakan. Di NTT situasi aman tapi gaji Indonesia lama kecil dan tak pernah ada proyek apapun.
Maksudnya penghasilan tambahan ‘nol’. Tapi
kami terus berusaha untuk selalu bersyukur dengan apa yang ada. Kekuatan doa
membuatku semakin sabar dan tabah menerima tempa’an hidup. Dengan banyak ujian
juga menambah hati selalu dekat dengan Tuhan sang menolong.
Keluarga suami buanyak sekali, mereka terus
berdatangan. Kami harus selalu menyiapkan makan minum setiap hari. Mereka selalu tinggal lama,
mereka tidak pernah mengerti kalau hidupku lagi sulit. Berapa Gaji PNS saat itu.Saya kadang menangis dalam hati
dan menyesali diri. Benar saja teman-teman yang dari jawa ikut ke Jawa, batinku.
Tapi menyesal kemudian tak ada guna.Maaafffff....curhat
saja.
Di dalam ratapan dan kepedihan rasanya aku bahagia kalau ketemu sesama orang
jawa. Saya merasa menemukan saudara yang senasib di perantauan. Begitupun
mereka. Semakin lama semakin akrab.
Itulah rasanya setiap
bertemu orang jawa energi positif jadi selalu masuk dihati. Ternyata
sabahat benar-benar jadi pelipur lara. Akhirnya kami ber-ide
membuat pertemuan rutin. Dalam pertemuan
kami isi dengan pembentukan koperasi dan arisan. Nah dengan begitu akhirnya hidup terasa bermakna. Hidup jadi berwarna. Senyum kembali merekah. Kami
menemukan hal-hal yang selama ini
‘hilang’. Semakin banyak teman hati
semakin merasa damai tentram.
Ternyata saya jadi terhibur. Hari-hari
tidak merasa sendiri lagi, terasa banyak
yang menemani. Tak pernah ada lagi sunyi. Damai sejahtera menyertai.
Pada dasarnya, saya jelas malu kalau
pulang Jawa. Kenapa? Betapa keluarga menyangka seberat apa penderitaanku.
Sementara dulu saat menikah pun ortu kurang setuju untuk saya ikut suami ke NTT, eh! sekarang saya mengeluh. Itu namanya menjilat kembali ludah yang sudah ditumpahkan.
Jika saya pulang Jawa, saya seolah-olah suasananya seperti sejak masih di Timtim,
makmur dan suka berbagi. Padahal setelah di NTT untuk makan sendiri saja kadang masih tidak tercukupi karena harus
menanggung makan banyak orang yang tinggal bersama kami. Saya berusaha
untuk menutupi hal sebenarnya supaya keluargaku
di Jawa melihat aku ada baik-baik saja.
Karena sudah banyak teman orang Jawa
akhirnya kami membentuk sebuah
perkumpulan yang kami beri nama’Srikandi’. Dengan begitu kami jadi merasa seperti di Jawa. Bisa ber haha hihi dengan bahasa Jawa. Kami saling melengkapi. Saling mengisi dan saling berbagi. Perkumpulan
diadakan setiap bulan. Saat pertemuan
sengaja membuat menu masakan jawa
sekalian bernostalgia. Cerita ngalor, ngidul tapi membuat hati terhibur.
Saya
masih beruntung karena pegawai yang nota bene bisa punya gaji sendiri.
Teman-teman lain ada yang ibu rumah
tangga saja. Mereka harus menunggu suami
memberikan uang. Beruntung kalau suaminya baik hati dan menafkahi istri.
Lah! kalau tidak. Dia harus banting
tulang, kerja, untuk mencukupkan
kebutuhan hidupnya. Dengan begitu saya jadi punya harapan dan optimis. Rejeki dari
Tuhan akan selalu ada. Akupun menyakini,
Tuhan akan mencukupkan asal kita
setia dan selalu bersyukur untuk
anugerahnya. Hidup jangan mengeluh. Hadapi dengan senyum. Hadapi dengan
iklas, pasti semua akan indah pada waktunya. Percaya penuh Tuhan akan selau
memberikan yang ‘terbaik’ untuk kita umatnya. Orang kampung asli yang tak ada
penghasilan sama sekali tapi mereka bisa hidup.
Saya yang jelas-jelas pegawai kok
mengeluh. Siap!! harus terus bersyukur..
Saya
tak pernah mengharapkan jadi orang kaya, itu menyalahi takdir Tuhan. Biarlah
aku hidup sederhana, semoga membuatku tenang, tentram, damai dan dan bahagia. Kini akhirnya saya penuh semangat ikut komunitas-komunitas yang membuatku merasa enjoy.
Ada paguyuban Srikandi. Perkumpulan
antari. Kelompok keluarga ‘Luri
Pandulang’. Kelompok Mom Jawa dan beberapa
perkumpulan keluarga yang lain.
Asli,
dengan adanya aktiv dalam perkumpulan
jadinya banyak teman. Banyak hiburan dan
saling bisa menyampaikan curahan hati,
merasa ‘aku tidak menderita sendiri’. Banyak teman yang hidupnya lebih sulit
dari pada aku, tapi mereka tak pernah mengeluh.
Mereka bisa menikmati hidup.
Kadang kita merasa orang lain ‘lebih’ dari pada kita. Taman di tetangga lebih subur dibanding
taman kita. Padahal......tak selamanya taman yang indah hidupnya lebih
bahagia dibanding kita. Setiap kita pastinya punya pergumulan
masing-masing tergantung bagaimana kita menyikapinnya.
Trimakasih
para sahabatku sudah menjadi guruku dalam universitas kehidupan. Sahabatku
adalah sang pelipur lara. Sahabat adalah yang mau menghampiri saat aku membutuhkan.
Sahabat akan menemani saat aku dalam
kedukaan.Trimakasih Tuhan saya bisa menjalani
hidup ini dengan penuh syukur. Kami sadar kami manusia yang lemah dan tak berdaya ada
Tuhan ada para sahabat yang membuatku hidup
jadi bermakna dan bergairah.
Salam ...Saya,
Ledwina Eti Wuryani, S.Pd, Asli Magelang Jawa Tengah yang tinggal dirantauan sejak tiga puluh
tahun yang lalu. Riwayat sekolah SDK
Kamal, SMPK Muntilan, SMAK Tarakanita Stella Duce Jogyakarta. Saya Lulusan Pendidikan guru IKIP Sanata
Dharma Jogyakarta tahun 1989. Seorang ibu dengan 2 putra ( Marcel dan
Anto), Suami adalah Adi Ch. Muhu, ibu rumah tangga sekaligus mengajar matematika
di SMA Negeri 2 Waingapu, Sumba Timur, NTT. Sudah banyak artikel dibuat penulis yang lolos dibeberapa media
masa ,lokal ada juga yang propinsi NTT.
Sudah 30 lebih buku ber-ISBN solo dan Antologi sebagai
karya inovasi sejak ada
wabah Pandemi maret 2020. Buku
karya ada cerpen, puisi, story
telling, Cerita tentang Belajar dari rumah ( PJJ) dll.
Penulis bisa dihubungi melalui email ledwinaetiwuryai@gmail.com , ledwinaastiwi44@guru.sma.belajar.id
, fb, IG dan You tube : Ledwina Eti dan blog
etiastiwi66.blogspot.com. Moto :
Bahagia jika hidup bisa bermakna.
Comments