Oleh : Ledwina Eti Wuryani, S.Pd
Untuk
memelihara impian, kita harus memvisualisasikan impian kita. Sesuatu yang
divisualisasikan akan mudah direkam
dalam pikiran bawah sadar, sehingga akan muncul daya dorong dari dalam diri kita yang akan
menggerakkan diri kita untuk melakukan
tindakan guna mewujudkan impian kita.
Saya menemukan passion menulis
setelah adanya pandemi ini. Mulai
awal Maret 2020. Dulu memang saya suka menulis dan sudah beberapa kali lolos di
media baik lokal maupun provinsi. Setelah itu fakum tak lagi menulis. Mengalami writer’s blok. Begitulah barangkali. Setelah adanya virus corona waktu terasa panjang. Seperti cinta lama bersemi kembali. Rasa hati ini ingin menulis. Dulu...sebelum pandemi seolah tak ada
waktu karena kesibukan duniawi, hehe …. Padahal sebenarnya semua pasti bisa
diatur, tergantung kita. Saat itu mau mulai melangkah....terasa jauuh sekali.
Sebagai guru, dulu pernah membayangkan kalau kita libur lama pasti membahagiakan.
Bisa di rumah sepanjang hari. Pasti asyik! . Waktu
luang terasa banyak. Bisa
melakukan sesuatu. Eh!, Tuhan menjawab kerinduan itu. Pandemi datang. Awal pandemi memang stress. Hidup terasa jenuh,
sumpek bahkan selalu tersugesti dan hidup dalam ketakutan. Saat itu banyak
teman dan saudara yang terpapar bahkan meninggal dunia. Di Waingapu zona Merah
terus.
Saat baca-baca di HP, iseng-iseng saya buka FB ada
banner ‘belajar menulis’.
Wow.. akhirnya
saya bergabung. Setelah masuk ternyata
di dalam group berisi para penulis hebat sebagai narasumber dan pesertanya para penulis pemula termasuk saya. Dari situlah saya mulai belajar
Pertama bergabung di Basic Batch 33 saya
merasa minder tapi peserta semua begitu baik. Mereka semua saling memotivasi.
Akhirnya muncul keberanian
untuk koment dan berusaha
bertanya materi yang saya tidak
paham. Awal belajar menulis saya bergabung di komunitas menulis yang diprakarsai
oleh penulis best seller
bapak Cahyadi Takariawan dan ibu Nurlaila. Suami Istri penulis hebat. Selama 3 bulan dari
bulan Juni s/d September 2021 dan dapat
sertifikat 235 jam. Lumayan untuk bekal
kenaikan pangkat. Di
komunitas itu saya banyak belajar tentang menulis dan kenal beberapa teman
menulis yang baik hati, Pak Irpan, Bunda Ellen, ibu Yulia, Ibu Nyi Ai Tita, ibu
Fitria dan lain-lain. Hasil belajar
menulis bersama pak Cah saya bisa menerbitkan 4 buah buku antologi : Untaian Pelangi Nusantara, Menuai Berkah Bertaut Aksara,
Kidung Rindu dan 1 buku Solo “ mengungkap Rahasia (Kumpulan cerpen)
Kedua, Belajar menulis bersama Bunda Lilis Sutikno. Passion menulis beliau adalah
‘Menulis semudah ceplok telur’. Dengan ibu Lilis
begitu akrab, seperti
saudara. Saya biasa
curhat, cerita ngalor ngidul, walaupun sedetikpun saya belum pernah ketemu (tatap muka) sama sekali. Hanya lewat chatt atau telpon. Dari situ saya belajar banyak
tentang teknik-teknik menulis. Teman-teman penulis senior adalah pak Rahmadi, pak Sahat, Cak Inin, Pak Nafrizal Eka Putra, bu Endah Win, pak Brian dan masih
banyak teman yang lain. Rasanya
sudah seperti keluarga. Padahal pesertanya dari berbagai daerah di
seluruh Indonesia. Mereka semua adalah motivator saya. Dari kelas
menulis ini saya membuahkan buku antologi,
“Kampusku”, “Sekolahku” kumpulan cerpen, Cuma masih menunggu, masih di penerbit.
Tempat belajar ketiga
adalah Belajar Menulis bersama
bapak Wijaya Kusumah yang biasa disapa Om Jay. Belajar menulis Gelombang 18 selama
30 kali pertemuan selama 3 bulan
setiap hari Senin, Rabu dan Jumat ( Dari bulan April s/d Juli 2021 ). Om Jay Orangnya
sangat baik hati dan santai, biar belum kenal saya merasa dekat dan akrap sekali . Beliau
adalah guru TIK di SMP Labschool Jakarta. Beliau
adalah guru dari keponakan saya Devi
Hapsari dan Yoga Wikandaru yang kini keduanya sudah lulus kedokteran
UGM. Saya ikut bangga waktu itu pertama kenal Om Jay karena keponakan tersebut.
Ternyata Om Jay juga masih ingat Devi dan Yoga, mungkin karena
keduanya aktivis di OSIS.
Suatu saat chatt balasan dari Om Jay dan menyampaikan salam untuk Devi dan Yoga saya screenshoot saya kirimkan ke WA keluarga
saya. Apa tanggapan adik saya? Waaiii….hebat e mbak eti sekarang sudah jadi penulis. Berteman dengan Om Jay pula. Ternyata memang Om Jay kan penulis dan bloger
terkenal, tingkat Nasional. Siapa tak
kenal beliau. Saya post buku saya di FB, adik-adikku koment, seolah-olah saya sudah jadi penulis betulan, ihik
ihik... Aku jadi tersipu malu. Tapi jujur sebenarnya ada juga deh
rasa bangga. Saya paksa buat
buku karena memang syarat
untuk mendapatkan sertifikat 40 jam
harus sudah bisa menerbitkan buku solo hasil resume selama belajar menulis. Itu adalah tantangan.
Dengan penuh semangat saya harus bisa membuktikannya. Akhirnya terbitlah buku solo yang berjudul
“Trik Jitu Menjadi Penulis Masa Kini”. Tinggal tunggu Sertifikatnya. Ini yang namanya
Keterpaksaan membuahkan kebahagiaan.
Seiring berjalannya waktu terbit lagi
buku “Refleksi dan Resolusi Saat Pandemi”, “Belajar di Tengah Corona”, “Dermaga
Hati”, “Geliat Perempuan Milenial Dalam Narasi”, “Untaian cinta di batas cakrawala” , “Inspirasi dalam
untaian Puisi” dan “Langit dan Bumi NTT”. Ini
berkat menulis adalah passion. Menulis ternyata menikmati dan
mengasyikkan.
Tempat belajar keempat saya bergabung dengan belajar ‘Menulis Bersama Pak
Naff ( Nafrizal Eka Putra, M.Pd )’ disingkat MBPN. MBPN diadakan setiap hari tanpa henti ,
akhirnya bisa menerbitkan 1 buku solo
yang berjudul “Bangga Menjadi seorang Penulis”. Dalam waktu bersamaan 2 komunitas belajar menulis
yang saya ikut, bahkan kadang jam pertemuan bersamaan. Karena pembelajarannya melalui WA ya harus
pinter-pinter muter-muter. Syukurlah akhirnya keduanya lulus dan menghasilkan 2
buah buku solo dari masing-masing tempat belajar.
Seiring berjalannya waktu Ibu kanjeng salah seorang narasumber hebat ,
bloger, penulis dan seorang kepala sekolah
selalu mengajak bergabung untuk
membuat buku antologi pasti terbit. Nah itu
tantangan buat saya untuk selalu ikut menulis. Saking seringnya saya
bergabung di Antologi menulis buku saya jadi merasa dekat sekali dengan
beliau. Kebetulan 2 buku solo saya, Ibu kanjeng editor dan kuratornya. Saat ini saya diberi tugas oleh ibu untuk menjadi kurator buku
antologi yang temanya
Ketika Keluarga Terpapar covid-19. Ada rasa bangga dan sedikit percaya
diri deh menjadi kutator. Sebuah pengalaman
baru. Aslinya saya sendiri masih sangat
minim ilmu. Ilmu yang saya punya masih seujung kuku. Dengan menjadi kurator semoga
menambah wawasan saya untuk menambah pengetahuan
saya tentang menulis.
Hari ini, Jumat, 30 juli
2021 penulis yang bergabung di
Group antologi Terpapar covid-19 sudah 21 orang. Penulis dari berbagai
daerah di seluruh Indonesia. Penulis juga berbagai latar belakang pendidikan.
Karena pemula saya agak gugup juga jadi kurator. Para penulis yang bergabung kemampuan dan pengalamannya
jauh di atas saya. Matur nuwun Ibu Kanjeng untuk kepercayaan ini.
Pengalaman berikut, saya buka fb, coba-coba cari info
lomba penulis, eh ada dari Kreatory. Lomba menulis cerpen. Yang menarik bagi saya adalah 100 peserta terbaik dapat
sertifikat tingkat nasional. Ah, lumayan, bagi saya yang penting
mencoba, menguji
kemampuan saya menulis, bukan cari hadiah. Cukuplah sertifikat, bisa untuk modal kenaikan pangkat ke IVc (mimpi).
Ingat perkataan pak Emco ( Much choiri)
kalau kirim naskah setelah itu lupakan.
Jangan pikir lagi. Begitulah kata beliau. Dikoment apapun
silahkan, tidak dikomen juga sialhkan. Jika dikirim ke majalah juga, tak usah
ditunggu-tunggu, masalahnya kalau ditunggu, ternyata tidak terbit nanti
sakit hati. Begitupun
kalau lomba, kirimkan lalu lupakan.
Lomba kreatory sekitar bulan maret, pengumuman 3 bulan berikutnya. Saya
benar-benar sudah lupa. Tiba-tiba ada WA masuk dan tertulis : proficiat! cerpen anda masuk TOP-30 dan berhak mendapatkan medali,
buku dan sertifikat. Wahhhh!! saya serasa tak injak bumi. Melayang pikiran tak terbayang, berarti
tulisan saya diakui, betapa bahagianya. Saya ada diurutan ke-22. Salah satu teman ke-100 saja tidak masuk, bersyukurlah saya.Trimakasih
Tuhan untuk pengalaman ini.
Bersamaan dengan itu ada
tawaran menulis untuk NTT, yaitu Catatan harian, cerpen dan puisi. Akhirnya
saya memilih cerpen dan saya cerita tentang budaya Sumba Timur. Kebetulan
teman saya punya sanggar ‘Ori Angu’ dan mereka (tim penari:red) baru pulang dari Amerika selatan, Colorado,
mengikuti Fastival. Itu yang jadi ide cerita saya. Puji
Tuhan saya lulus Kurator, akhirnya tulisan saya dibukukan bersama para penulis hebat NTT.
Begitu bangganya saya, bisa ikut berpartisipasi
melestarikan budaya NTT.
Jadi sekarang menulis adalah sebuah passion. Dengan
menulis membuat hati bangga, bisa meningkatkan imun dan menjadi sebuah hobi. Rasanya
hari-hari
menikmati kalau menulis. Untuk
melatih diri menulis saya berusaha untuk mengikuti menulis buku antologi setiap ada tawaran.
Maksudnya sambil menyelam minum
airnya, terasa sia-sia kalau tulisan tidak kita abadikan dalam buku. Ada juga tawaran menulis cerpen remaja dengan tema Romatika remaja….., kini tinggal tunggu terbit. Yah, kalau dihitung lumayan sudah 15 buku
antologi dan solo yang terbit sampai saat ini. Semangat terus untuk menambah koleksi. Dari pengalaman
yang saya lalui, menulis sebagai passion yang saya rasakan adalah:
1.
Selalu rindu untuk menulis, Menulis rasanya suatu kuajiban
yang harus dijalani. Jika tidak menulis
terasa ada yang kurang. Entah apa saja yang ditulis. Jika hari itu
sudah menulis saya merasa hutang
sudah terbayar. Ada kenyamanan diri sudah memeluknya dalam untaian kata.
2.
Tanpa dibayarpun bersedia menulis, Pengalaman menulis saya masih
seujung kuku, tapi ketika namaku tertera di buku atau di media ada kebanggaan
luar biasa. Bersyukur sudah bisa
menuangkan isi hati dan pikiran dalam
tulisan. Menulis adalah berteriak dalam diam. Aku banget. Sejujurnya saya ini
orang yang pemalu dan tak suka tampil di
depan. Dengan menulis akhirnya semua
bisa tercurah. Tidak penting dibaca atau tidak, dikomen atau tidak, dicela,
dihina atau tak dibayarpun tak apa, yang penting saya sudah bisa berbuat
sesuatu yang menurut saya bermanfaat untuk orang lain.
3.
Sering lupa waktu, saat duduk di depan laptop saya
target untuk 1 jam. Jika saya pas menulis cerita tentang sesuatu saking
asyiknya ,eh ternyata sudah duduk lebih 3 jam lamanya tak terasa. Bahkan saking asyiknya
menulis hingga tengah malam. Apalagi kalau dikejar deadline, jangan tanya lagi.
Bisa tidak tidurpun rela!
4.
Menulis adalah kegiatan yang
menyenangkan.
Saat ini anak murid pembelajaran pakai daring. Saya sebagai guru, Setelah mengirim
materi, memberikan tugas, melaporkan hasil kerja siswa , Sisa waktu asyik untuk
menulis. Menulis semacam hiburan. Menulis adalah kesibukan yang mendatangkan
kebahagian.
5.
Kerelaan menyediakan waktu, Saya selalu ingat pak guru pernah omong. Hanya orang mati yang tidak sibuk.
Benar juga. Setiap orang harus kerja sesuai dengan skala prioritas. Harus
pintar membagi waktu 24 jam yang diberikan Tuhan. Jangan lupa waktu untuk
Tuhan. Jika menulis adalah passion
pastilah kita akan meluangkan
waktu untuk menulis.
Passion bukan hanya hobi, tapi lebih dari segala hal yang kita
sukai dan minati sedemikian rupa sehingga kita selalu senang saat melakukannya. Berusaha untuk meluangkan waktu untuk menulis. Seperti
Om Jay di tengah bejibun kegiatannya,
beliau selalu saja menulis setiap hari. Bahkan kalau lupa satu hari saja tidak menulis beliau minta maaf. Sungguh hebat dan luar
biasa. Harus ditiru.
Para pakar menulis, termasuk Ibu Kanjeng,
beliau super sibuk. Karena menulis adalah passion, maka beliau
begitu menikmati. Walau masih aktif menulis,
menjadi narsum nasional, dan banyak kegiatan lain beliau selalu
setia mendampingi, memotivasi kita semua di banyak group. Beliau selalu
saja ada waktu membalas pertanyaan atau keluhan kita. Dengan begitu kadang saya pribadi jadi malu,
saya yang bukan siapa-siapa kok alasan, sok sibuk, hi hi....
Jika menulis sebagai passion kita akan nyaman, lebih santai dan bisa
menikmati. Jadi seandainya karya kita
kurang dihargai dan tidak ada yang memuji bukan beban. Enjoy aja...yang penting sudah
menulis. Kuingat selalu pesan bijak, “ Jika anda bukan raja yang bisa mewariskan
kerajaan, bukan hartawan yang bisa
mewariskan kekayaan, Maka jadilah
penulis yang bisa mewariskan
pengetahuan. Kelak sejarah akan
mencatat perubahan yang pernah anda tuliskan (Imam Ghazali). Maka menulislah!!!! ***
Salam
...Saya, penulis pinggiran, nama Ledwina Eti Wuryani, Asli Magelang jawa Tengah yang tinggal dirantauan sejak tiga puluh
tahun yang lalu. Saya Lulusan Pendidikan
guru IKIP Sanata Dharma kala itu, tahun 1989. Seorang ibu dengan 2 putra, ibu rumah tangga
sekaligus jadi guru matematika di SMA Negeri 2 Waingapu Sumba Timur, NTT. Menjadi Tutor PGSD juga sejak tahun 1992 – 2018. Ketua MGMP
Matematika Kab Sumba Timur 2015 – 2018. Penulis juga korban konflik bencana
Timor Timur, SK CPNS di SMA Negeri
Maliana Bobonaro kemudian dimutasi di SMA Negeri 3 Dili TimTim. Sudah banyak artikel dibuat penulis yang jebol diberbagai media
masa ,baik lokal maupun propinsi NTT. Belasan
buku Antologi sejak ada wabah Pandemi corona awal bulan Maret 2020.
Tulisan antologi berupa cerpen, puisi, story telling, cerita tentang belajar dari
rumah ( PJJ) dll. . Penulis bisa dihubungi email ledwinaetiwuryai@gmail.com, ledwinaastiwi44@guru.sma.belajar.id
, fb, IG dan Youtube : Ledwina Eti dan blog
etiastiwi66.blogspot.com