Oleh :
Ledwina Eti Wuryani
Tuhan menciptakan untuk kita saling
menyempurnakan satu sama lain. Dalam
pernikahan hendaknya kita bisa saling
melengkapi, saling mengisi karena saling membutuhkan. Selalu berharap agar
dalam pernikahan kita mendapatkan kebahagiaan. Rela untuk selalu senyum manis
romantis kepada pasangan .
Sebelum berkeluarga, dalam hati saya punya kerinduan mempunyai
pasangan yang seiman. Yang lebih dewasa dari saya. Pendidikan minimal sama,
supaya kalau berbicara bisa nyambung. Profesi tidaklah menjadi target. Yang penting punya pekerjaaan. Supaya
nanti kalau sudah berumah tangga tidak pernah ada masalah tentang perekonomian.
Tidak
ada manusia yang sempurna di dunia ini. Hanya Tuhan yang Maha Sempurna. Jadi
orang tak boleh idealis, egois. Ikuti
air yang mengalir. Kerendahan
hati dalam hidup itu penting agar
Tuhan sayang pada kita umatnya. Beberapa kali saya punya teman dekat. Kata bapak kalau cari suami itu harus memenuhi
persyaratan : bibit, bobot, bebet. Bibit, kira-kira artinya asal usulnya atau trah (leluhurnya). Bobot
kurang lebih pendidikan atau daya nalar (pikiran) sedangkan bebet adalah cara berpenampilan, berpakaian
dan tatakrama kehidupannya. Begitulah kata bapak Sudayat almarhum, bapak
kandungku.
Denie
(bukan nama sebenarnya) adalah cowok
pertama yang sempat singgah dihati. Karena dia
lanjut kuliah di seminari (calon pastor) akhirnya lewat. Yang berikut
Mas Wondo, dia adalah anak tokoh umat
dari Prambanan. Seorang anak kepala desa. Cuma karena saya tidak bisa mengikuti gaya hidupnya saya memutuskan mundur
saja. Satu lagi orang Bali, namanya I
Nyoman Alita Warma Dewa. orangnya super baik. Sebagai anak kos saya sering
diberi hadiah, dibawakan makanan, orangnya tidak pelit … wuih
saya suka. Tapi saya tidak bisa mencintai, dia beda agama. Akhirnya
kandas juga.
Setelah
saya lulus PNS, saya ditempatkan di daerah konflik bencana. Tepatnya di
Timor-Timur. Saya merasa sendirian.
Masih jomblo pula. Takutnya saya nanti jadi perawan tua, saya memutuskan
tunangan dengan teman dekat saya. Sudah 2 tahun pacaran. Akhirnya saya resmi punya ‘tunangan’. Saya pergi meninggalkan dia karena saya harus pergi melaksanakan tugas negara sesuai SK. Betapa sedihnya saya saat itu. Saya mengajar
di SMA Negeri Maliana, sebuah kota kecil di Kabupaten. Bukannya GR, cowok bujang terlalu banyak. Mereka punya profesipun keren-keren habis.
Ada yang kepala Rumah sakit, kepala Bank, Kepala statistik, dan pegawai kantor
semuanya PNS. Sedangkan saya perempuan langka. Hehe.. maksudnya tidaklah banyak
wanita yang ditempatkan di daerah
konflik itu.
Hadiah-hadiah
dari para pengagum saya. Hihi… banyak. Mereka ingin berkenalan dengan saya,
menawarkan diri jadi pacarnya. Maklum,….
Saat itu tahun 1990 Timor-Timur masih
rawan. Daerahnya belum maju. Para
pegawai didatangkan dari pelosok Nusantara, dari Jawa, Sumatra, Kalimantan,
sulawesi yang penting dari luar TimTim.
Termasuk dari Nusa tenggara Timur ( NTT).
Saat
itu saya menyadari dengan sepenuh hati , saya yang bukan siapa-siapa ini diidolakan
oleh banyak orang. Dalam hati saya jadi malu sendiri. Serba perasaan. Dari pada
saya jadi fikiran tak tenang akhirnya saya memutuskan memilih satu orang untuk menjadi pendampingku,
penyelamatku. Karena saya tinggal di kota kecil dan daerah terpencil maka kalau bersuratpun sulit
aksesnya. Saya LDR dengan kak Adi tunanganku. Karena surat tidak pernah berbalas, hampir saja saya melupakannya.
Orang tua menyarankan supaya tunanganku ikut ke Tim Tim, kalau tidak putuskan
saja. Dilemalah aku saat itu. Waktu terus berjalan, umurku pun semakin
bertambah.
Ada
teman yang tulus mencintaiku, panggil saja dia Haris. Seprofesi dengan saya. Jujur
sebenarnya saya tidak bertepuk sebelah tangan. Hati tak boleh bohong, aku sudah
punya tunangan. Aku tak boleh menyakiti hatinya. Benar. Kusampaikan saran bapak padanya. Dia menyusulku di
Timor-Timor. Dia di kota provinsi, yaitu Dili.
Sementara saya di Kota kabupaten. Tak apalah yang penting masih dalam pulau
yang sama. Akhirnya tepat tanggal 20
Juni 1992 saya menikah dengan tunanganku itu.
Beruntung,
suami ikut tes PNS langsung lulus dan
ditempatkan di SMKK Negeri Dili. Setahun kemudian saya minta mutasi untuk di Dili. SK saya turun di
SMA Negeri 3 Dili Timor Timur. Lengkaplah kini keluarga kecil kami. Anak
pertama kami Marcel, lahir setelah 2
tahun menilah. Menyusul anak Kedua Dwi Ananto. Dua orang saja jagoanku. Hidup
apa adanya. Hidup sebagai seorang perantau yang kadang direndahkan oleh pribumi. Tak apa. Itu sebuah resiko yang
harus ditanggung.
Hari
terus berjalan, Tahunpun berganti. Selama tujuh
tahun kami menjalani rumah tangga
di kota Dili. Banyak cerita suka, duka, sedu sedan bahkan air mata yang
mewarnai kehidupan kami. Kekerasan kita
lihat hampir setiap hari. Konflik antara pendatang dan pribumi sering
terjadi. Sebagai pendatang harus selalu
mengalah dan tahu diri. Akhirnya, pasa bulan Maret tahun 2000 Timor Timur ‘merdeka’.
Kita Warga Indonesia harus meninggalkan tanah Tim Tim . Kini status kami adalah
seorang pengungsi. Semua pro Integrasi
harus keluar atau pulang ke tanah asal.
Bisa
dibayangkan, betapa hiruk pikuknya saat itu. Kota Dili dan sekitarnya sudah
menjadi lautan api. Pembunuhan terjadi dimana-mana. Suara tembakan tak
henti-henti. Hati dug dag, jantung
terasa mau lepas dan rasanya ngeri. Para
tentara Indonesia dan tentara musuh berkejar-kejaran. Pembakaran rumahpun
tak bisa dihentikan. Saya lari
terbirit-birit untuk menyelamatkan diri. Suami!! dia belum mau pergi, akhirnya saya lari menumpang mobilnya tetangga yang mau mengungsi.
Beruntung
kedua anakku sudah saya titipkan ke Jawa beberapa tahun yang lalu. Sebagai
pengungsi kami ditampung di barak-barak.
Beramai-ramai di suatu tempat yang sudah ditentukan. Mandi, makan,
tidur ditempat yang sama. Woww!! aromanyapun
luar biasa. Bagaimana tidak,
pengungsi se-provinsi ditampung
di lapangan. Basesak, beruntung akhirnya kami ditampung di rumah kosong. Bekas
kantor yang sudah lama tak berpenghuni. Tempatnya serem. Sampahpun setinggi gunung. Belum sarang laba-laba yang
menambah ngerinya suasana tempat itu. Tapi tak apalah. Daripada di lapangan
dengan suasananya panas dan tak bersahabat?!.
Selama
dipengungsian kami menunggu nasib. Menunggu SK penempatan. Oh iya, saat itu saya belum tahu suami dimana. Kami
terpisah. Untung Tuhan Maha baik, akhirnya kami bisa dipertemukan dalam keadaan selamat. Hanya rumah beserta
isinya sudah harus direlakan. Biarlah orang yang menempatinya. Harta bisa
dicari, tapi Nyawa??! Saat itu semua
pengungsi boleh memilih dimana ditempatkan, yang penting di Indonesia. Jika
orang Jawa boleh memilih di Jakarta, Semarang, Magelang, Surabaya……. Nah,
teman-temanku orang Jawa yang suaminya orang luar jawa ikut ke Jawa.
Saat
itu tiba giliranku dipanggil oleh pak Kakanwil. Aku orang Jawa, asli, suamiku
orang Sumba. Saya minta supaya saya ditempatkan di Sumba ikut Suami. Pak
kakanwil seolah tak percaya. Beliau melihatku dari ujung rambut sampai ujung
kaki. Dia menatapku dan penuh tanda
tanya. Mbak….. ah!!, mau tinggal di
Waingapu Sumba Timur?? Dengan mantap aku
menjawab. Alasanku saya sudah ada rumah sederhana di Sumba. Pejabat itu masih
meragukan pilihanku. Akhirnya beliau menyarankan untuk berpikir ulang. Besok
baru datang lagi. Saya mengikuti saran beliau.
Tekadku sudah bulat saya mau
ditempatkan di Waoingapu, Sumba Timur. Esok hari kami menghadap dengan
suara hati yang sama dengan kemarin. Akhirnya SK saya diterbitkan sesuai dengan
kemauanku.
Dengan
kapal laut Bernama ‘Dobon Solo’ kami pulang ke Indonesia, ke NTT. Dengan
bekal pakaian seadanya dan surat
berharga saya menuju ke tanah tumpah
darah suami tercinta. Sampai di Waingapu
saya dan suami dijemput keluarga besar mereka. Saya terharu dengan kekeluargaan
mereka. Ternyata dalam satu rumah ada 31 orang. Hati ini jadi sedih atau
gembira. Aku tak tahu.... Ternyata benar, cinta
itu butuh pengorbanan. Hanya dengan doa saya bisa dikuatkan. Saya harus
komitmen dengan pilihan saya.
Saya harus bisa lebih dewasa. Harus bisa menerima kenyataan. Tak boleh
mengeluh.
Di
Timor Timur boleh dibilang semua sudah ada, rumah beserta isinya. Bahkan
kendaraan (mobil dan motor) juga sudah punya. Tapi itu kita tinggalkan
semuanya. Sekarang kami mulai merayap
dari nol. Dengan beban hidup yang
ekstrim. Hampir saya mau lari dari rumah. Tapi bagimana?? Ya Tuhan berilah kekuatan dan semoga kami dicukupkan. Saya tidak berani mengambil
anakku yang di Jawa. Biarlah mereka bersama orangtuaku.
Waktupun
terus berjalan. Sebagai hiburan saya dan teman-teman asli Jawa membuat komunitas atau paguyuban.
Saya juga bergabung dengan kelompok-kelompok
dari jawa. Membuat pertemuan rutin sebulan sekali, membuat arisan.
Dengan begitu akhirnya saya tidak merasa
sendiri. Saya tidak lagi merasa jadi orang yang paling sengsara di dunia . ternyata masih ada yang lebih sengsara dari
saya. Saya jadi merasa selalu terhibur dan tak sedih lagi.
Berbekal
selalu bersyukur dan dekat dengan Tuhan ternyata sungguh membuat hidup terasa
ringan. Dengan banyak sahabat kita bisa
curhat. Kita bisa menghilangkan rasa
penat. Selalu semangat menghadapi hidup jadi
nikmat walaupun tadinya serasa berat.
Kini biduk rumah tangga kami sudah 30 tahun. 20 - 2
- 1992 sampai 22 – 02 – 2022. Dua anakku sudah sarjana. Semoga mereka bisa
berjodoh dengan orang baik dan bisa membanggakan keluarga. Terus menghormati
dan berbakti pada orang tua. Suami juga
sudah pensiun per tanggal 28 Oktober 2021. Saya masih lima tahun lagi.
Harapan dan doaku semoga saya masih bisa
naik pangkat satu level lagi. Bisa terus
menulis dan menginspirasi. Suatu kebanggaan jika bisa bermanfaat bagi sesama.
Tak perlu menjadi ‘unicorn’. Cukuplah dengan kemampuan kita
sendiri. Jadilah diri sendiri dan jangan bosan untuk terus belajar. Dalam mengisi hidup ini banyak cerita. Banyak
kenangan indah dan juga kenangan pilu
yang menyakitkan. Sulit untuk dilupakan, Indah untuk dilukiskan. Kiranya Tuhan
terus dan senantiasa mendampingi,
melindungi dan memberkati kami dalam untung dan malang. Semoga!