Sabtu, 28 November 2020

AGAR TULISAN TIDAK MENGAMBANG – 3

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Suatu ketika, setelah selesai menulis, Anda membaca ulang tulisan yang telah Anda hasilkan. Anda merasa ada hal yang tidak pada tempatnya. Tulisan Anda serasa mengambang, tidak bisa menggambarkan apa yang sebenarnya Anda inginkan. Pernah mengalami kejadian seperti itu?

Ketika Anda merasa tulisan mengambang, yang harus Anda lakukan adalah meneliti, mengapa mengambang? Faktor apa yang membuat tulisan Anda mengambang?

Pada dua postingan sebelumnya, saya telah menyampaikan faktor mengambang karena tidak berbobot dan mengambang karena tidak jelas tujuannya. Simak kembali di sini dan di sini. Saya akan membahas faktor berikutnya.

Ketiga, mengambang karena tidak jelas alurnya

Anda pernah mendengarkan curhatan teman yang sangat panjang, selama tigapuluh menit anda dengarkan, namun tidak jelas arah pembicaraannya? Anda pernah mendengarkan sebuah ceramah yang panjang, sampai satu jam, namun tidak sistematis dan tidak jelas alurnya?

Anda pernah nonton film berdurasi dua jam, namun plot ceritanya “ngalor ngidul” tidak jelas arahnya? Anda pernah membaca novel yang tebal, namun tidak jelas jalan ceritanya? Pasti Anda sangat boring dan bete dibuatnya.

Seperti itulah yang disebut sebagai mengambang, karena ketidakjelasan alur cerita. Demikian pula dalam tulisan. Jika tulisan yang Anda buat tidak jelas alurnya, pembaca tidak mengerti, sebenarnya Anda mau nulis tentang apa?

Perhatikan contoh yang saya buat ini:

Pada suatu hari si Kancil pergi berjalan-jalan ke sebuah desa. Sesampai di desa, ia melihat ada kebun buah Naga yang sangat luas, maka iapun masuk ke dalam kebun itu. Ternyata, petani pemilik kebun itu sedang ke pasar untuk berjualan.

Di tengah pasar, petani bertemu dengan penjual ikan yang mengeluh tentang produksi ikan yang menurun. Rupa-rupanya para nelayan sedang kesulitan mencari ikan di laut karena musim sedang tidak bersahabat. Kita tahu di Indonesia ada musim hujan dan musim kemarau.

Ternyata musim berpengaruh juga pada tanaman tembakau. Kasihan nasib petani tembakau ketika musim hujan tiba. Namun yang sangat bersyukur adalah Bu Rini, karena ia jualan payung sehingga menjadi laris di musim hujan.

Payungnya Bu Rini berbentuk kotak, tidak seperti payung lainnya. Payung itu diproduksi di daerah Bantul, DI Yogyakarta. Sebagaimana diketahui, Bantul termasuk wilayah yang memiliki sangat banyak potensi wisata. Yang sangat terkenal adalah Pantai Parangtritis dan Taman Buah Mangunan.

Jadi, itu lagi cerita tentang Apa? Apakah sedang menceritakan Kancil, petani, nelayan, musim, ikan, payung, Bu Rini, Bantul, atau pantai? Pembaca akan berkomentar, “Anda sehat? Atau salah obat?” Tulisan cuma empat paragraf, tapi bikin jengkel orang yang terlanjur membaca.

Outline Adalah Solusi

Jika tulisan Anda mengambang karena tidak jelas alurnya, maka membuat outline tulisan adalah salah satu solusinya. Buatlah plot atau kerangka tulisan atau sistematika tulisan atau outline, setiap kali Anda akan menulis.

Ini sama dengan ketika Anda hendak ceramah satu jam, akan lebih lancar dan sistematis apabila Anda menyiapkan kerangka pembicaraan. Kerangka ini berupa poin-poin yang akan Anda sampaikan, sejak menit pertama berbicara hingga menit terakhir.

Ketika Anda akan menulis –terutama untuk tulisan yang panjang, seperti novel atau membuat buku, awali dengan membuat outline. Baik tulisan fiksi maupun nonfiksi, akan terarah dari awal hingga akhir, tidak mengalami kekaburan atau kebingungan, apabila Anda memiliki outline.

Kerangka tulisan ini yang akan menuntun Anda untuk menulis secara sistematis. Untuk menulis novel sejumlah 50.000 kata atau lebih, memerlukan waktu berbulan-bulan. Akan sangat mudah ‘tersesat’ dan hilang arah jika Anda tidak berbekal kerangka tulisan.

Demikian pula untuk menulis sebuah buku nonfiksi sejumlah 50.000 kata atau lebih, tak bisa selesai dalam sehari dua hari. Memerlukan waktu berpekan-pekan sampai berbulan-bulan untuk menyelesaikan. Tanpa outline, Anda mudah kebingungan di tengah perjalanan menulis.

Setelah memiliki tema, segera buat outline tulisan. Semakin rinci Anda membuat outline, semakin mudah pula bagi Anda untuk menuliskannya. Tulisan Anda lancar mengalir, mudah dimengerti, sehingga tidak membingungkan pembaca.

Yang penting Anda selalu disiplin dengan sistematika yang sudah Anda buat dari awal. Jangan mudah tergoda untuk mengganti atau mengubah kerangka. Ini untuk  menghindari ketidakjelasan alur tulisan.

Fleksibel dengan Outline

Outline bukan keharusan. Hanya bersifat pilihan. Boleh dibuat, boleh pula tidak. Terlebih untuk artikel atau opini pendek, sekitar 500 kata, tidak harus diawali dengan outline. Untuk tulisan pendek, di bawah 1.000 kata, masih mudah untuk menjaga ritme dan sistematika.

Menulis artikel di bawah 1.000 kata, masih bisa dilakukan dalam sekali duduk. Mungkin Anda punya waktu satu atau dua jam untuk menulis, dan Anda bisa menyelesaikan satu artikel 1.000 kata. Maka tanpa outline sekalipun, masih bisa menulis dengan kejelasan alur.

Namun untuk tulisan panjang, di atas 5.000 kata, akan menjadi kesulitan tersendiri untuk menjaga alur dan sistematika apabila tidak berbekal kerangka. Apalagi untuk buku setebal 50.000 kata atau ratusan ribu kata. Proses pembuatannya pun panjang. Di sinilah perlunya berbekal outline.

Bentuk outline juga fleksibel. Bisa dengan poin-poin berurutan, bisa dengan diagram, bisa dengan model flowchart, atau model coretan tangan. Semua sesuai kebiasaan dan kemudahan. Setiap penulis bisa memiliki pilihan yang berbeda.

Selamat menulis, selamat berkarya.

AGAR TULISAN TIDAK MENGAMBANG – 4

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Apakah setiap tulisan harus ada kesimpulannya? Tentu saja tidak. Karena tergantung dengan jenis tulisan yang kita buat. Namun, bagi pembaca, tulisan yang tidak menyiratkan kesimpulan, bisa dianggap sebagai mengambang.

Pada tiga postingan sebelumnya, saya telah menyampaikan faktor yang membuat tulisan menjadi mengambang. Yaitu mengambang karena tidak berbobot, mengambang karena tidak jelas tujuannya dan mengambang karena tidak jelas alurnya. Simak kembali (1) di sini (2) di sini dan (3) di sini.

Pada postingan kali ini, saya akan membahas faktor berikutnya.

Keempat, mengambang karena tidak jelas kesimpulannya

Tulisan bisa disebut mengambang ketika tidak jelas kesimpulannya. Sebenarnya, secara alur dan sistematika sudah bagus, namun giliran sampai kepada kesimpulan, pembaca tidak bisa menyimpulkan apa-apa.

Tulisan serasa belum selesai. Serasa lomba tebak tepat, atau serasa menggantung di langit tanpa kepastian jawaban. Atau seperti hubungan cowok cewek yang sudah bertaun-tahun tapi tidak jelas kesimpulannya.

Coba baca kembali contoh empat paragraf yang saya tulis pada postingan sebelumnya. Kisah tentang si Kancil. Sekarang tebak kesimpulannya, apakah si Kancil pergi ke Pantai Parangtritis? Tak ada yang bisa menyimpulkan.

Nah, sama juga dalam tradisi lisan, ketika seseorang berceramah panjang lebar, sistematis, lucu, namun tidak ada kesimpulan, maka audiens pulang dengan rasa mengambang. Tadi apa ya kesimpulannya? Padahal sudah duduk mendengarkan kajian dua jam.

Jika tulisan Anda mengambang karena tidak jelas kesimpulannya, maka ada tiga pendekatan untuk memahaminya.

Pertama, bahwa tulisan itu sengaja Anda buat mengambang tanpa kesimpulan, sebagai daya tarik dari tulisan yang diharapkan akan bersambung.

Pembaca dibuat penasaran, dan akan bertanya, bagaimana kelanjutannya? Maka kesempatan bagi Anda untuk menulis episode berikutnya yang sudah ditunggu-tunggu pembaca. Ini bagian dari trik penulis, agar buku kelanjutannya bisa laku.

Jenis ini termasuk tulisan mengambang, namun justru menjadi daya tarik. Pembaca tidak kecewa. Bahkan berharap kelanjutannya.

Kedua, tulisan sengaja Anda buat mengambang tanpa kesimpulan, dan menyerahkan kepada pembaca sendiri untuk mengambil kesimpulan masing-masing. Terutama ini banyak terjadi pada naskah novel, drama, ataupun film.

Mengambangkan kesimpulan untuk memberi kesempatan kepada pembaca mengembangkan sendiri ceritanya dan mengambil sendiri kesimpulannya. Ini juga daya tarik tersendiri dalam karya tulis. Sepenuh kesimpulan diserahkan kepada pembaca.

Jika dibuat film, selesai menonton film, penonton pulang dengan kesimpulan yang berbeda-beda.

Jenis kedua ini juga termasuk tulisan mengambang, namun menarik. Pembaca tidak kecewa. Mereka bisa mengambil kesimpulan sesuai alam pikiran masing-masing.

Ketiga, tulisan yang gagal menyimpulkan, inilah yang bermasalah. Sebab, ada jenis tulisan tertentu yang harus menghasilkan kesimpulan. Untuk jenis tulisan seperti ini, hukumnya wajib untuk memberikan kejelasan kesimpulan. Meskipun kesimpulan yang dibuat bisa berupa opsi, bukan satu kesimpulan.

Sebagai contoh, seseorang menulis makalah berjudul “Bolehkah Meninggalkan Shalat Jumat dengan Sengaja di Masa Wabah Corona?” Para pembaca pasti mengharapkan ada kesimpulan dari tulisan tersebut.

Sang penulis membuat bagian pendahuluan, dilanjutkan pembahasan dimana disampaikan dalil dari Al Qur’an dan Hadits Nabi, disertai beragam pendapat para ulama. Namun ternyata hanya berhenti di situ.

Tulisan itu tidak menyimpulkan apapun, sehingga ketika seseorang awam membaca dari awal sampai akhir, ia tidak tahu jawaban dari pertanyaan yang menjadi judul makalah tersebut. Judulnya saja “Bolehkah”, tentu jawaban yang ditunggu adalah, boleh atau tidak boleh.

Ini contoh tulisan yang gagal menyimpulkan, dan membuat pembaca tidak mendapat kesimpulan apa-apa, padahal bagian itu justru yang paling ditunggu. Nah, jika seperti ini yang terjadi, Anda harus merevisi, dengan memberikan poin kesimpulan yang jelas dan tegas.

Kadang ada pembaca tidak mau membaca bagian pendahuluan dan pembahasan. Mereka hanya ingin kesimpulan. Tanpa kesimpulan, pembaca menilai “tulisan ini mengambang”. Untuk jenis tulisan ketiga ini, tanpa kesimpulan, pembaca akan kecewa.

Selamat berkarya.

TULISAN YANG BAGUS DAN BERKUALITAS – 1

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

“In good writing, everything makes sense and readers don’t get lost or have to reread passages to figure out what’s going on” –Melissa Donovan, 2017

.

Seorang pria tengah asyik bekerja di kantor, ketika sebuah panggilan telepon masuk ke smartphone-nya. Ternyata dari petugas di rumah sakit. “Pak, istri Anda mengalami kecelakaan serius. Ada kabar buruk dan kabar baik untuk Anda,” ujar petugas.

Dengan ragu-ragu, pria itu pun memutuskan mendengar kabar buruknya terlebih dahulu.

“Kabar buruknya, istri Anda mengalami kelumpuhan total. Untuk bisa bertahan hidup, dia harus menggunakan respirator.”

Dengan tak kuasa menyembunyikan kesedihannya, pria itu bertanya, “Lalu apa kabar baiknya?”

Petugas menjawab, “Saya hanya bercanda, Pak….”

Pria itupun merasa lega, dan petugas kembali melanjutkan bicaranya, “Sebenarnya, istri Anda sudah meninggal dunia.”

Berita Baik dan Berita Buruk

Mungkin seperti pria itulah perasaan saya, ketika mendapatkan bertubi-tubi pertanyaan dari para peserta Kelas Menulis Online (KMO), tentang membuat tulisan yang bagus dan berkualitas. Di setiap batch KMO, selalu ada pertanyaan seperti ini:

“Bagaimana caranya agar kita bisa menghasilkan tulisan yang berkualitas?” (Erni Bulkisi, Batch 29 / 2020). “Bagaimana cara meyakinkan diri sendiri bahwa tulisan kita berkualitas? Bagaimana strategi supaya tulisan kita selalu berkualitas?” (Sri Wahyuni, Batch 29 / 2020). “Apa kiat agar tulisan kita bagus? Apa ciri artikel yang menarik bagi pembaca?” (Khamsiatun, Batch 29 / 2020).

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, berita baiknya, menandakan antusiasme para peserta untuk menghasilkan karya tulis yang bagus dan berkualitas. Berita buruknya, saya sulit menjawab –karena saya sendiri merasa tulisan saya biasa-biasa saja. Bagaimana orang yang tulisannya biasa-biasa saja, harus menjelaskan tentang tulisan yang bagus dan berkualitas?

Tapi karena saya ditanya oleh peserta –mau tidak mau—saya harus menyediakan jawabannya. Dengan memberanikan diri, saya ajak anda untuk memahami terlebih dahulu, ‘daftar keinginan’ dari pertanyaan-pertanyaan yang saya tuliskan di atas. Paling tidak, saya menangkap ada tiga bagian keinginan peserta.

  1. Agar tulisan bagus dan berkualitas
  2. Agar tulisan menarik bagi pembaca
  3. Agar pembaca senang membaca tulisan kita

Dari ketiga bagian tersebut, sesungguhnya terbangun satu logika linear. Tulisan yang bagus dan berkualitas, adalah tulisan yang menarik bagi pembaca, dan membuat pembaca senang membacanya. Tulisan yang bagus dan berkualitas membuat pembaca tertarik untuk meneruskan dan menyelesaikan bacaan. Maka, saya ajak Anda untuk menemukan jawaban, seperti apakah tulisan yang bagus dan berkualitas itu.

Tulisan yang Bagus dan Berkualitas

Hampir saya tidak berani menulis soal ini. Takut tidak sepadan antara judul tulisan dengan kenyataan. Supaya saya tidak kesulitan sekaligus tidak kepedean, maka saya akan meminjam penjelasan tentang tulisan yang bagus dan berkualitas, dari karya Melissa Donovan (2017).

Menurut Melissa Donovan, tulisan yang bagus harus memiliki karakter ‘clarity and focus’. Harus jelas dan ada fokusnya. Semua bagian harus masuk akal sehingga membuat pembaca tidak tersesat atau kebingungan. Tulisan yang tidak masuk akal, menyesatkan dan membingungkan, tentu tidak berkualitas.

Tulisan disebut bagus, masih menurut Donovan, apabila terorganisir dengan baik. Tulisan harus disajikan dengan cara logis, sistematis dan estetis. Dalam menyusun kisah fiksi, Anda dapat bertutur secara linear ataupun non-linear. Namun harus teroganisir dengan baik.

Donovan menyatakan, tulisan yang bagus harus memiliki topik atau tema tertentu. Bahkan saat membuat puisi, tetap ada tema yang menjadi pesan dari puisi tersebut. Kalimat dalam puisi cenderung abstrak, namun estetis dan tengah menyampaikan pesan tertentu kepada pembaca.

Tulisan yang bagus juga terkait dengan ketepatan dalam memilih kata. Ketidaktepatan dalam memilih kata, bisa berdampak bias terhadap makna. Memilih kata secara efektif dan efisien, tidak boros, tidak mengulang-ulang, menjadi karakter tulisan yang bagus.

Yang lebih penting lagi, tulisan bagus akan mampu menggugah pikiran atau menginspirasi secara emosional. Donovan mengingatkan, apa yang didapatkan oleh pembaca? Misalnya, pembaca memperolah informasi, pengetahuan, motivasi, inspirasi, hiburan, kesenangan, atau pengalaman spiritual ataupun emosional yang mengasyikkan.

Donovan menganggap penting bagi penulis untuk memegangi kriteria tulisan yang berkualitas, agar bisa menjadi alat evaluasi untuk selalu memperbagus kualitas tulisan. Tanpa mengerti kriteria tulisan yang bagus, bagaimana tulisan kita bisa lebih bagus dari waktu ke waktu? Demikian pertanyaan Donovan.

Mari belajar bersama. Jelas tulisan saya ini pun biasa-biasa saja. Tapi kita selalu belajar menjadi semakin lebih baik.

Bersambung.

Minggu, 22 November 2020

MENGUTIP TULISAN ORANG LAIN

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Ketika Anda tengah menulis sebuah karya, ada kalanya harus mengambil suatu data, fakta, peristiwa maupun analisa. Anda bisa mengambil dari buku, jurnal, ebook, web atau dari lembaga-lembaga resmi seperti Biro Pusat Statistik (BPS), Pemerintah Daerah, Rumah Sakit, Kepolisian, dan lain sebagainya. Bisa pula dari hasil penelitian, atau bahkan dari sebuah wawancara

Saya sebut “ada kalanya”, karena dalam proses menulis Anda tidak harus merujuk, mengutip, serta menggunakan referensi atau daftar pustaka. Apalagi dalam karya tulis populer nonfiksi, maupun dalam karya tulis fiksi. Daftar pustaka bukanlah keharusan. Anda bisa menulis berdasarkan pemikiran, perasaan dan pengalaman Anda sendiri, tanpa harus merujuk kepada siapapun.

Keberadaan referensi menjadi wajib, dalam karya tulis ilmiah (murni) atau karya akademis. Misalnya ketika Anda menulis skripsi, tesis, desertasi, laporan penelitian, artikel untuk jurnal akademik, tulisan untuk syarat kenaikan pangkat, maupun untuk lomba yang mengharuskan pencantumannya. Anda harus mencantumkan sumber pengutipan, sesuai dengan ketentuan. Ini tidak saya bahas dalam tulisan kali ini.

Saya hanya akan sharing dalam konteks menulis jenis populer, baik fiksi maupun nonfiksi. Secara sederhana, ada beberapa cara pengutipan dalam karya tulis populer.

Pertama, Kutipan

Kutipan merupakan salinan kalimat, paragraf, data, atau pendapat dari seorang penulis; atau ucapan seorang ahli karena keahliannya, baik yang terdapat dalam buku, jurnal, maupun terbitan lain. Kutipan berfungsi untuk menegaskan isi uraian, memperkuat argumen, pembuktian, dan mengungkapkan kejujuran penggunaan referensi.

Ada beberpa jenis kutipan, yaitu:

  1. Kutipan Langsung

Kutipan langsung adalah salinan yang persis sama dengan sumbernya, atau salinan tanpa perubahan. Penulisannya disertai data pustaka dari sumber yang dikutip.

Untuk kutipan langsung yang kurang dari lima baris, biasanya ditulis berintegrasi ke dalam teks. Jika kutipan langsung lebih dari lima baris, biasanya ditulis terpisah dari teks dengan spasi rapat. Tapi ini bukan keharusan dalam jenis tulisan populer.  Boleh juga ditulis dengan terintegrasi ke dalam teks.

*************

Contoh 1

Cahyadi Takariawan dalam buku Wonderful Love (2016) menyatakan:

“Berbagai studi ilmiah telah menunjukkan betapa dahsyat pengaruh memaafkan dalam kehidupan seseorang. Dalam memaafkan tersimpan kekuatan. Orang yang mudah memaafkan bukanlah orang yang lemah. Justru mereka adalah orang-orang kuat yang sanggup memaafkan kesalahan banyak orang. Dalam memaafkan tersimpan manfaat kesehatan, bukan hanya kesehatan mental, namun juga kesehatan badan. Dalam memaafkan terkandung kebahagiaan. Semakin pandai memaafkan, semakin mudah mendapat kebahagiaan”.

Contoh 2

Cahyadi Takariawan dalam buku Wonderful Love (2016) menyatakan, “Berbagai studi ilmiah telah menunjukkan betapa dahsyat pengaruh memaafkan dalam kehidupan seseorang. Dalam memaafkan tersimpan kekuatan. Orang yang mudah memaafkan bukanlah orang yang lemah. Justru mereka adalah orang-orang kuat yang sanggup memaafkan kesalahan banyak orang. Dalam memaafkan tersimpan manfaat kesehatan, bukan hanya kesehatan mental, namun juga kesehatan badan. Dalam memaafkan terkandung kebahagiaan. Semakin pandai memaafkan, semakin mudah mendapat kebahagiaan”.

Cahyadi Takariawan, Wonderful Love, Era Intermedia, 2016

*************

  • Kutipan Tidak Langsung

Kutipan tidak langsung adalah menyadur atau mengambil ide dari suatu sumber dan menuliskannya sendiri dengan kalimat atau bahasa sendiri. Cara penulisan dalam karya tulis kita tetap harus disertai data pustaka yang dikutip.

******

Contoh:

Friedman (1986) menyatakan, meskipun setiap keluarga melalui tahapan perkembangannya masing-masing secara unik, namun pada dasarnya seluruh keluarga mengikuti pola yang relatif sama. Masing-masing memiliki kondisi dan memerlukan waktu yang berbeda-beda untuk menempuh setiap tahapan perkembangan, namun ada pola yang sama.

Marilyn M. Friedman, Family Nursing: Theory and Assessment, Fleschner Publishing Company, 1986

*******

  • Mengutip dari Kutipan Orang Lain

Kadang kita mengutip dari kutipan orang lain. Kita tidak bertemu langsung dengan buku aslinya, hanya menemukan kutipannya. Cara menuliskan adalah dengan menggunakan kata dalam. Contohnya sebagai berikut:

Menurut John Gottman (dalam Cahyadi Takariawan, 2016), ada empat perilaku suami istri yang potensial memisahkan mereka. Empat perilaku itu adalah (1) banyak mengkritik (2) banyak mencela (3) menyalahkan pasangan (4) membangun benteng.

Kedua, Catatan Kaki

Catatan kaki adalah keterangan yang dicantumkan pada margin bawah halaman dari karya tulis. Catatan kaki bisa berupa foot note ataupun end note. Foot note dibuat di setiap halaman, adapun end note dibuat di bagian paling akhir dari sebuah karya tulis.

Catatan kaki menunjukan kualitas pertanggungjawaban akademik dari karya tulis, karena menunjukkan adanya bagian yang diambil dari karya atau pemikiran orang lain[i]. Lazim digunakan dalam karya tulis ilmiah atau kata akademis[ii]. Namun dalam dunia akademik, tetap harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku pada tulisan tersebut[iii].

Ketiga, Bibliografi

Bibliografi atau daftar kepustakaan adalah sebuah daftar yang berisi judul buku, artikel, dan bahan-bahan penerbitan lainnya yang mempunyai pertalian dengan sebuah karangan atau sebagian dan karangan yang tengah digarap. Bibliografi dapat memberikan deskripsi yang penting tentang buku atau media lain yang dikutip, sehingga memudahkan pembaca untuk mencari serta merujuknya kembali.

Unsur bibliografi biasanya terdiri dari nama pengarang, judul buku / artikel, data publikasi: penerbit, tempat terbit, tahun terbit, cetakan ke-berapa, nomor jilid, dan jumlah halaman buku tersebut. Namun dalam tradisi tulisan populer, tidak ada ketentuan tentang teknis penulisannya. Dikembalikan kepada selera penulis, namun dilakukan dengan konsisten.

Contoh:

  1. Cahyadi Takariawan, Wonderful Love, Era Intermedia, Solo, 2016
  2. Takariawan, Cahyadi. 2016. Wonderful Love. Solo : Era Intermedia

Demikianlah pengenalan singkat mengenai cara menuliskan kutipan, bagi Anda yang ingin menggunakannya. Jika Anda mengutip, baik data, analisa, atau pendapat orang lain, pertanggungjawabkan dalam tulisan Anda dengan mencantumkan rujukannya. Jangan menjadi plagiat. Jujurlah dalam karya tulis Anda.

Selamat menulis, selamat berkarya untuk menginspirasi dunia.


5 URGENSI CERITA DALAM TULISAN KITA


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Fiksi adalah kisah yang tidak benar-benar terjadi. Namun pengaruhnya bisa benar-benar terpatri. Ini bukan hanya dalam tulisan fiksi. Kita bisa menulis kisah yang benar-benar terjadi, menjadi nonfiksi.

Baik cerita fiksi maupun nonfiksi, menjadi daya tarik bagi pembaca. Selain daya tarik, ada sangat banyak urgensi menyisipkan cerita dalam tulisan kita.

KM. Weiland (2016) menyatakan lima alasan, mengapa cerita menjadi unsur penting dalam tulisan. Berikut penjelasannya.

  • Lebih Efektif untuk Menyampaikan Pesan Kebenaran

Jika Anda memiliki suatu ajaran, keyakinan, ideologi, atau prinsip hidup yang Anda yakini kebenarannya, akan lebih mudah tersampaikan apabila dikemas dalam bentuk cerita. Maka sangat banyak penulis dunia yang ‘berkhutbah’ melalui cerita.

Ceramah berapi-api tentang suatu ideologi, mungkin akan bisa menanamkan keyakinan kepada pendengar, namun juga mudah untuk ditentang. Rangkaian cerita pada sebuah novel akan lebih masuk ke relung sanubari pembaca, nyaris tanpa pertentangan.

Ini yang disebut oleh Weiland sebagai “good truths”. Kebenaran yang baik, yaitu sesuatu yang diyakini dan diperjuangkan. Melalui cerita, keyakinan akan lebih mudah tersampaikan. Ini alasan penting, mengapa pendidikan anak akan sangat efektif melalui berkisah.

  • Mampu Memberikan Peringatan dengan Halus

Dalam kitab suci, terdapat kisah-kisah kaum yang mendustakan kebenaran. Semua kaum yang mendustakan kebenaran, akan berakhir dengan kehancuran. Kisah Kaum Luth yang menyimpang, diabadikan dalam Al Qur’an lengkap dengan kengerian adzab yang mereka terima.

Melalui cerita, para pembaca akan bisa mendapatkan peringatan nyata. Bahwa kebenaran Tuhan adalah untuk dijalankan. Jika menentang kebenaran, akan mendapat kehancuran. Pesan yang disampaikan melalui cerita akan lebih kuat diterima dan diingat.

Ini yang disebut oleh Wiland sebagai “bad thruths”, kebenaran yang buruk. Yaitu kebenaran bahwa kaum yang mendustakan kebenaran Tuhan akan dihancurkan. Bahwa pelaku kejahatan, pendusta kebenaran, akan mendapat balasan yang mengerikan.

  • Membuka Wawasan dan Mengajari Empati

Apa yang akan terjadi jika kita tidak pernah mendengar cerita tentang orang lain? Hidup kita akan terkurung dalam penjara sangat sempit. Kita tak akan peduli orang lain, kita tak akan mengerti betapa indahnya kehidupan, jika tak pernah mendengar cerita.

Kita akan mudah tergerak peduli dan berbagi, saat mendengar ada anak yang ingin membeli sepatu sekolah, lantaran orangtuanya tidak mampu. Akan terbuka wawasan dan pemikiran kita, saat mendengar cerita penderitaan orang lain.

Kita tidak sendiri dengan kesedihan yang kita alami. Di luar sana, ada sangat banyak kisah yang jauh lebih dramatis dari kisah kehidupan kita. Kita menjadi bersyukur, dan bertumbuh kebahagiaan, karena cerita.

  • Mampu Memberikan Model

Ketika seseorang tengah terpuruk kehidupannya, ia bisa mendapatkan inspirasi ‘model’ dari tokoh dalam cerita yang mengalami keadaan yang sama. Seseorang bisa mengidentifikasi dirinya melalui peran-peran dalam sebuah cerita, untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Kita juga bisa menjadi tokoh-tokoh dalam cerita untuk menjadi model kebaikan ataupun keburukan. Misalnya, jangan sampai kisah cinta Siti Nurbaya terulang lagi di zaman ini. Seorang wanita yang dipaksa menikah dengan Datuk Maringgih, dan berpisah dengan Syamsul Bahri, sang kekasih hati.

Kita semua tahu, itu hanya kisah fiksi. Namun Siti Nurbaya, Syamsul Bahri dan Datuk Maringgih bisa menjadi model-model, yang bisa memberi pelajaran kebaikan. Tokoh protagonis dan antagonis dalam sebuah cerita, adalah model pembelajaran.

  • Mengajari Kita untuk Selalu Memiliki Harapan

Anda pernah menonton film 127 Hours? Ya benar. Kisah dramatis tentang Aron Ralston. Tangan kanan Ralston terjepit di bebatuan Bluejohn Canyon, seorang diri. Ralston terjebak di posisi yang sangat sempit, berhari-hari.

Ia terpaksa mengamputasi lengannya yang terjebak batu. Ralston memotong tulangnya dengan pisau yang dia bawa. Setelah berhasil membebaskan diri, Ralston berjalan tujuh mil untuk kembali ke truknya. Beruntung, ia bertemu sebuah keluarga yang menyelamatkannya.

Apa yang kita dapatkan? tetaplah memiliki harapan, sesulit apapun kondisi kehidupan.

Mari bercerita. Mari menuliskannya.

Bahan Bacaan 

FOKUS WRITING, BUKAN CHATTING

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

Honestly, if you want to get work done, you’ve got to learn to unplug” – Nathan Englander

.

“Saya tidak punya banyak waktu”.

Yes, alhamdulillah. Kondisi ini justru akan membuat Anda semakin efektif dalam menulis, karena waktu Anda terbatas. Mereka yang memiliki sangat banyak waktu luang, justru tidak produktif menulis.

“Waktu saya sangat sedikit”.

Tidak masalah. Berapa waktu yang bisa Anda alokasikan untuk menulis setiap harinya? Sepuluh menit? Limabelas menit? Oke, itu sudah cukup. Sangat cukup. Yang penting Anda konsisten mengalokasikannya untuk menulis.

“Sebenarnya, berapa banyak waktu yang harus disediakan untuk menulis?”

Sebenarnya proses menulis itu sederhana. Waktu yang perlu Anda sediakan tidak perlu banyak. Andai Anda menyediakan waktu antara 10 hingga 30 menit saja setiap harinya untuk menulis, itu sudah sangat memadai.

“Bagaimana agar waktu yang terbatas itu bisa efektif menulis?”

Nah, di sinilah kuncinya. Letak persoalannya ada di sini. Bukan pada seberapa banyak waktu yang Anda miliki, bukan pada seberapa banyak waktu yang bisa Anda sediakan, namun seberapa efektif Anda menggunakannya.

Matikan Koneksi Anda

Nathan Englander, penulis novel “Dinner At The Center of The Earth”, memberikan saran yang sangat relevan : matikan smartphone Anda. Ya, benar. Matikan semua koneksi internet Anda. Fokuslah menulis.

“Jika Anda tengah menulis, Anda harus belajar untuk membebaskan diri. Tidak chatting, tidak membuka email, tidak melihat Facebook, Instagram”, ujar Englander.

Membebaskan diri dari koneksi internet, adalah cara untuk membuat Anda benar-benar menulis. Sepuluh menit menulis, limabelas menit menulis, tigapuluh menit menulis. Bukan chatting. Bukan update status. Bukan selfi.

Jika Anda benar-benar fokus menulis dalam waktu yang sudah Anda tentukan tersebut, maka itu sudah sangat memadai. Yang menjadi masalah adalah, pada waktu yang Anda alokasikan untuk menulis, justru Anda habiskan untuk hal-hal lain.

“Apa pun yang Anda lakukan, harus dihentikan saat menulis”, ujar Englander. Misalnya searching, download, upload, chatting, atau hal-hal lain. Hentikan. Bebaskan diri Anda dari berbagai hal yang menyibukkan dan mengalihkan perhatian Anda dari menulis.

Bahkan Nathan Englander menyampaikan pengalaman unik. “Sering kali –dan ini benar-benar konyol, saya menggunakan penyumbat telinga saat menulis, meskipun suasana di rumah sangat sunyi”.

Ini adalah cara pembebasan diri. Agar waktu yang sangat terbatas tersebut benar-benar untuk menulis. Bukan  untuk chatting. Bukan untuk searching. Bukan untuk mancing.

Selamat membebaskan diri. Selamat menulis.

Bahan Bacaan

MENGELOLA INSTING EDITOR

 



.

Oleh : Cahyadi Takariawan

You need to learn to switch off your internal censor or editor. Decide to write a terrible first draft consciously and just write” – Bridget McNulty (2016)

.

Salah satu insting yang muncul secara spontan saat kita menulis adalah mengedit. Ini yang disebut sebagai ‘insting editor’ alias sensor internal. Setiap kali menulis, kita selalu tergoda untuk mengedit. Dampaknya, proses menulis menjadi tersendat.

Salah satu kunci ‘menulis semudah bernapas’ adalah –matikan insting editor saat menulis. Biarkan saja ada tulisan salah, biarkan saja ada typo, biarkan saja ada yang kurang huruf. Mungkin kita merasa kalimat tidak menarik, tidak indah. Namun tetaplah pada menulis.

Untuk memperlancar proses menulis, maka kita harus pandai mengelola insting editor dalam diri kita. Berikut beberapa tips mengelolanya.

  • Jangan Beri Kesempatan

Edie Melson menyatakan, “Our internal editor gets stronger the more frequently we give in to her demands”. Insting editor akan semakin kuat bekerja apabila kita memberi kesempatan kepadanya untuk bekerja.

Jika kita tergoda hendak mengedit di saat menulis, jangan biarkan itu terjadi. Sekali Anda memberi kesempatan, ia akan hadir terus menerus di sepanjang proses menulis. Anda akan dibuat kewalahan menghadapinya.

Maka Anda harus bersikap tega dan cuek atas tulisan yang Anda rasakan sebagai salah atau tidak menarik. Biarkan saja ada tulisan yang salah dan tidak tepat. Nanti akan ada masa untuk mengedit. Jangan Anda berhenti untuk memperbaiki atau membenarkan kesalahan.

  • Kalahkan Rasa Khawatir dan Takut

Edie Melson menyatakan, “Many times our internal editor is driven by fear. Fear that this draft isn’t good, won’t work or just doesn’t make sense”. Sering kali insting editor bekerja dengan dorongan rasa takut.

Kadang kita takut tulisan kita tidak menarik atau tidak masuk akal. Kadang kita khawatir atas respon negatif dari pembaca. Ketakutan seperti ini akan semakin menguatkan kehadiran insting editor saat menulis. Kalahkan rasa takut dan khawatir itu.

Jangan berorientasi pujian dan aplaus gegap gempita dari pembaca. Jangan berorientasi mendapat banyak like, comment dan share. Orientasi seperti ini yang akan memicu munculnya ketakutan dan kekhawatiran.

  • Selesaikan Proses Menulis

Selesaikan proses menulis yang sudah Anda mulai. Jika Anda menulis artikel pendek, sekitar 500 kata, biarkan semua selesai Anda tuliskan. Jangan berhenti untuk mengedit. Tulis saja semua bahan sampai habis diungkapkan.

Jika Anda dalam projek penulisan yang panjang –misalnya novel, paling tidak Anda menyelesaikan satu sub bagian tertentu, baru berhenti untuk mengedit. Jangan memberi kesempatan insting editor bekerja sewaktu-waktu.

Anda juga bisa menetapkan target menulis, misalnya berdasarkan waktu atau jumlah karakter tertentu. Anda baru boleh mengedit apabila sudah satu jam menulis, misalnya. Atau Anda baru boleh mengedit apabila sudah menyelesaikan limaribu karakter, misalnya. Dengan demikian, sebelum tercapai target, Anda harus fokus menulis. Tidak boleh mengedit.

  • Lakukan Editing Pada Waktunya

Jika Anda telah menyelesaikan semua draft tulisan, barulah bekerja melakukan self-editing. Inilah saat yang tepat melakukan edit atas tulisan yang telah kita hasilkan. Bukan pada sembarang waktu, namun pada waktu yang telah ditargetkan.

Editing dilakukan dengan membaca ulang keseluruhan tulisan. Pahami, resapi, rasakan. Adakah substansi yang salah atau bermasalah. Ini yang disebut sebagai substansial editing. Mengedit sisi substansi pesan, agar tidak ada kesalahan.

Setelah itu berpindah ke edit mekanik –yaitu memeriksa kesesuaian dengan PUEBI dan KBBI. Kemudian menghias dan memperindah rasa bahasa, agar tulisan enak dinikmati pembaca. Di waktu inilah Anda harus mencurahkan kemampuan mengedit.

Jika Anda sedang dalam projek pembuatan buku, lakukan editing berkali-kali. Tak cukup hanya dengan sekali membaca ulang. Setelah Anda yakin, barulah buku diterbitkan. Anda juga bisa meminta tolong kepada pihak editor profesional.

Selamat menulis. Kelola insting editor Anda dengan tepat. Jangan biarkan mengganggu proses menulis yang Anda lakukan.

Bahan Bacaan

Bridget McNulty, Writing Discipline: 7 Strategies to Keep Writing Your Novelwww.nownovel.com, 27 September 2016

BERAPA LAMA MENULIS BUKU?

 


.

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Saya sangat meyakini, semua orang bisa membuat buku sendiri. Ketika saya mengajak untuk menulis buku, banyak teman kesulitan membayangkan. Seakan membuat buku solo adalah sesuatu yang sulit dan tidak terbayangkan.

Seakan menulis buku memerlukan waktu bertahun-tahun. Seakan mustahil bisa membuat sendiri.

“Saya masih pemula”.

“Saya belum pernah menulis sebelumnya”.

“Saya bukan penulis”.

Demikian alasan yang biasa dikemukakan saat saya ajak menulis buku.

“Apa saya pantas membuat buku sendiri?”

“Apa saya bisa?”

Demikian pertanyaan sebagian yang lain.

Mari saya ajak Anda belajar dari para peserta Kelas Emak Punya Karya (EPK). Satu per satu mereka melaunching buku karya mandiri. Akhirnya mereka percaya bahwa semua orang bisa membuat buku.

Herlin Variani

Herlin Variani, 15 Hari Menulis Buku

Herlin Variani adalah seorang guru ASN di Solok Sumatera Barat. Total waktu yang diperlukan untuk menulis buku adalah 15 hari. Sebenarnya ia sudah memiliki bahan untuk buku tersebut, namun tidak ia gunakan.

Ia memulai dari nol, dari awal. Seperti petugas SPBU, “Dari nol”. Ternyata ia berhasil menyelesaikan menulis selama 15 hari untuk pembuatan buku “Parents Smart” setebal 250 halaman. Hanya setengah bulan.

Selama proses pembuatan buku, setiap hari Herlin menulis 2,5 hingga 5 jam setiap hari. Biasanya ia menulis antara pukul 02.30 – 05.00 WIB. Kadang ditambah pukul 08.30 – 10.00 WIB sesuai keluangan waktu di tempat kerja, serta pukul 12.30 – 13.30 WIB yang dilakukan di tepi jalan raya sembari menunggu bus pulang kerja.

Ida Kusdiati

Ida Kusdiati, 50 Hari Menulis Buku

Ida Kusdiati adalah seorang ASN di Pontianak, Kalimantan Barat. Total waktu untuk menulis buku adalah 50 hari. Tidak sampai dua bulan. Buku “Khatulistiwa Cinta” yang ditulisnya, setebal 335 halaman.

Ia menulis kejadian dan peristiwa hidup sehari-hari, baik di rumah maupun di tempat kerja. Selama projek penulisan buku, Ida Kusdiati rutin menulis 1 hingga 3 jam setiap hari.

Waktu yang paling disenangi adalah pada sepertiga malam, pukul 3.00 – 4.00 WIB. Ia juga menulis di dalam perjalanan kerja dengan mobil. Ia menyempatkan waktu antara 30 menit hingga 1 jam untuk menulis di dalam perjalanan.

Ida Kusdiati juga menyempatkan menulis saat ada waktu senggang di antara rutinitas kerja di kantor. Ia bisa menulis di mana saja dan kapan saja. Setiap ada keluangan waktu maka ia gunakan untuk menulis.

Endang SP Usman

Endang SP Usman, 56 Hari Menulis Buku

Endang Supriati Usman adalah seorang pengajar di lembaga pendidikan Al Qur’an. Ia juga ibu rumah tangga, yang awalnya tidak memiliki minat menulis. Ia belum pernah menulis sebelumnya.

Buku perdana Endang bercerita tentang pengasuhan anak pertama, berjudul Azzam Penggenggam Quran, setebal 226 halaman. Total waktu yang diperlukan untuk menulis buku adalah 56 hari.

Selama projek pembuatan buku,  Endang menulis rata-rata 1,5 jam setiap hari. Biasanya ia menuilis di waktu pagi, antara pukul 5.00 – 5.30 WIB dan waktu malam antara pukul 21.30 – 22.30 WIB.

Yulia K Rohima

Yulia K Rohima, 14 Hari Menulis Buku

Yulia K Rohima adalah seorang ibu rumah tangga, konselor keluarga, pengasuh Majelis Taklim, dan penyiar radio. “Catatan Pejuang Sakinah” adalah buku kedua yang ditulis Yulia K Rohima selama mengikuti Kelas EPK.

Buku yang menceritakan perjuangan membangun keluarga sakinah itu ditulis selama dua pekan saja, atau 14 hari. Waktu dua pekan berikutnya digunakan untuk editing dan cetak. Tidak sampai satu bulan, buku sudah terbit. Luar biasa.

Selama projek pembuatan buku, setiap hari Yulia Rohima rata-rata menulis dua jam setiap hari. Ia terbiasa menulis pada pagi hari antara pukul 7.00 – 09.00 WIB.

Rifuwanti

Rifuwanti, 42 Hari Menulis Buku

Rifuwanti adalah ibu rumah tangga dan pengasuh Majelis Taklim. Ia menulis buku tentang kemuliaan seorang ibu. Buku berjudul “Great Mother” itu memiliki ketebalan 236 halaman.

Total waktu yang diperlukan untuk menulis buku adalah 42 hari. Ditulis dari tanggal 18 Juli – 30 Agustus 2020, saat mengikuti Kelas EPK.

Selama projek pembuatan buku, Rifuwanti menulis 2 – 4 jam setiap hari. Biasanya ia menulis antara pukul 06.00 – 08.00 WIB atau 19.30 – 21.00 WIB, menyesuaikan waktu yang lebih luang.

Ummu Rochimah

Ummu Rochimah, 40 Hari Menulis Buku

Ummu Rochimah adalah seorang penyintas kanker. Ia ibu rumah tangga, konselor keluarga, dan aktivis sosial. Buku berjudul Chemistry Jiwa berisi poin-poin penting untuk membangun keharmonisan rumah tangga.

Waktu yang diperlukan untuk menulis buku adalah 40 hari. Selama projek penulisan buku, Ummu menulis sekitar 30 menit hingga 1 jam setiap hari. Tidak perlu waktu lama untuk duduk menulis, namun selalu disiplin setiap hari menulis,

Ia terbiasa menulis pada pukul 05.00 WIB dan pukul 21.00 WIB. Dengan kedisiplinan diri, di tengah sakit yang harus rutin berobat, ia mampu menyelesaikan projek penulisan buku. Hanya perlu waktu 40 hari saja untuk menulis naskah buku.

Happy Mama

Leni Cahya Pertiwi, 40 Hari Menulis Buku

Leni Cahya Pertiwi adalah seorang guru, ASN dan ibu rumah tangga. Ia menulis buku berjudul Happy Mama sebagai hadiah untuk ibu kandungnya. Naskah diselesaikan dalam waktu 40 hari.

Waktu yang dialokasikan untuk menulis adalah 2 jam perhari. Leni menulis dari pukul 21.00 hingga 23.00 malam. Ia mengaku termasuk golongan burung hantu, yang nyaman menulis di malam hari, di tengah keheningan.

Cahaya Dunia

Syasha Lusiana, 50 Hari Menulis Buku

Syasha Lusiana adalah seorang ibu rumah tangga, pendidik, konsultan pendidikan serta konselor keluarga. Ia menulis buku Cahaya Dunia, menceritakan pengalaman berkesan membersamai anak yang lahir prematur.

Total waktu yang diperlukan untuk menulis buku adalah 50 hari. Awalnya ia mentarget 100 hari, ternyata bisa selesai lebih cepat.

Selama projek pembuatan buku, setiap hari ia menulis 1 – 2 jam. Biasanya ia menulis antara pukul 04.45 – 5.45 atau pukul 20.30 – 21.30. 

Bagaimana Dengan Anda?

Masih tidak percaya bahwa Anda bisa membuat buku sendiri? Anda hanya memerlukan tekad dan keyakinan.

Ternyata, 14 atau 15 hari bisa menyelesaikan pembuatan naskah buku. Sebagian yang lain, menulis dalam waktu kurang dari dua bulan. Ada yang 40 hari, 42 hari, 50 hari dan 56 hari. Tidak sampai dua bulan, naskah buku sudah selesai disiapkan.

Semakin disiplin Anda, semakin cepat naskah buku Anda selesaikan.

  44 kali dilihat

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...