Rabu, 31 Maret 2021

PELATIHAN BELAJAR MENULIS ( Bunda Lilis)

 

Resume  1 : 1 April 2021

Nara Sumber : Bunda Lilis Sutikno

                         Ibu Dra  Lilis  Ika Herpianti Sutikno, SH ( mbak Pipin)

 


 


 


PELATIHAN BELAJAR MENULIS

 Siapa  tidak kenal ibu guru cantik, Bunda Lilis Sutikno. Beliau adalah montivator saya. Trimakasih  banyak bunda, karena ibu  saya jadi bisa menulis. Saya  merasa sangat beruntung  karena beliau selalu memberikan motivasi supaya terus menulis untuk memberikan inspirasi dalam segala hal. Ingatlah bahwa ‘Langkah seribu diawali dari langkah pertama’. Semoga langkah pertama  ini memicu semangat untuk  terus berliterasi.

Profil beliau, Nama lengkap: Lilis Ika Herpianti Sutikno, SH, TTL: Surabaya, 11 Maret 1969, Pendidikan, S1 IKIP PGRI Surabaya (Fakultas Pendidikan jurusan PMP/PPKN) S1 Universitas Wijaya Putera Surabaya Jurusan Hukum. Instansi :  SMP Negeri 2 Nekamese ( Jln HR. Koroh,  km 15,3 Desa Besmarak, kecamatan Nekamese ,  Kab Kupang NTT). Alamat Rumah : CV. Bumi Cendana , Jl. Ikan Kombong No: 09 Kota Kupang, NTT. 

Menurut bunda Lilis ‘Menulis adalah semudah ceplok telur’. Menulislah  agar cinta itu tersampaikan dengan baik lewat tulisan kita. Begitu pesan ibu yang merupakan  penulis buku best seller ‘Guru adalah Inspirasi”. Beliau adalah orang yang gigih, bermental sekuat baja, membakar semangatku bak tungku perapian, mengajariku untuk selalu berani dan percaya diri. Tentunya bukan hanya saya, tapi semua guru untuk berliterasi. Untuk mengobati rasa dahaga di tengah padang .

Beliau adalah guru yang amat menginspirasi banyak orang. Pejuang pendidikan di daerah terpencil di daerah pedalaman NTT.  Saya  salut sekali  melihat  perjuangan sorang guru yang  tetap semangat  menyelusuri medan yang sulit selama bertahun-tahun. Profesi guru adalah  sebuah perjuangan yang tak kenal lelah dan tak kenal waktu dimanapun, kapanpun.  Terharu saya membaca dari buku best seller  “Guru adalah Inspirasi” yang  mengajar  berjalan kaki, naik truk  tetapi tetap suka cita dan  terus tersenyum.  Beliau adalah   abdi negara yang pantang penyerah, rela ditempatkan di seluruh pelosok Nusantara. Seperti  pernyatakan dalam SK sebagai ASN.

         Masih pesan  ibunda Lilis, sehebat apapun kita jika kita tak menulis semua akan hilang ditelan zaman. Kita bisa menulis dan dapat meninggalkan jejak kita. Orang akan mengenang kita dalam setiap tulisan kita.  Sebaik-baik menulis adalah jika kita menulis ‘kisah inspirasi’ akan  dapat memberikan tauladan kepada semua umat di muka bumi ini.

 Supaya  orang bisa tertarik  membaca tulisan kita, ‘tips’nya  adalah: Pertama,  Jika akan menulis selalu awali dengan berdoa, dan sampaikan kepada Allah Tuhan kita, untuk senantiasa mengawal setiap gerak langkah kita. Agar setiap gerak langkah kita diberkati Allah. Yang kedua, menulislah dengan hati. Jika sesuatu kita sampaikan dengan hati yang tulus dan ikhlas,  maka ‘tulisan kita’  akan sampai kepada pembaca kita. Tentunya  akan di terima dengan hati yang tulus dan ikhlas juga. Tulisan kita akan dapat memberikan inspirasi tanpa ada perlawanan dalam batin pembaca kita.     Tulisan itu seperti anak panah yang bisa memanah hati siapa saja yang membacanya. Dan Menulis adalah berteriak kepada dunia tanpa suara.  Dengan menulis dan berteriak seluruh dunia tahu siapa kita.                                                                                                  

            Buku juga bisa kumpulan dari artikel-artikel di koran atau  di majalah seperti bukunya Pak Kadis PK Prov. NTT Bapak Linus Lusi ada yang karya beliau dari artikel, dari koran dan majalah tentang “Benang Merah Pendidikan di NTT”. Buku di tulis oleh beliau jauh sebelum beliau menjadi Kepala Dinas Pendidikan dan kebudayaan NTT. Karena tulisan-tulisan  beliau itulah beliau pantas menjadi Kadis PK NTT saat ini. Semua tentang pendidikan di NTT beliau soroti di koran. Bukunya Bapak Thomas  A Sogen “Kiat Sukses Publikasi Ilmiah Guru”  beliau adalah Ketua Agupena ( Asosiasi Guru Penulis Indonesia) sekaligus  menjadi Ketua Redaksi Jurnal Ilmiah Pen@ Guru NTT.

         Supaya kita nyaman menulis dan bisa kontinyu menulis saran yang bagus menulis saja di blog tak perlu ada kuratornya. Blog itu  milik pribadi sah-sah saja  tanpa harus ada kuratornya. Jika  ingin dijadikan sebuah buku pilih  dan tinggal poles  lagi sesuai yang kita kehendaki. Caranya : Bikin  satu  folder tulis ‘bank tulisanku’. Ikutkan jika ada  tawaran NUBER atau Antologi. Jika buku Antologi kita sdh banyak...Kumpulin deh dan jadikan satu. Kalau  mau dibukukan berarti sudah siap. Jadi dech bukunya.....

Yuk  wujudkan mimpimu nulis, nulis  dan terus menulis  lalu abadikan  jadi  sebuah buku, tetap  semangat  salam sehat, salam Literasi dan semoga pandemi cepat berlalu.

             Trimakasih untuk para Nara sumber yang hebat, Om Jay, para Senior, Motivator  semua-muanya ( kata orang NTT)  yang tak bisa sebutkan satu per satu......pokoknya trimakasih banyak  sudah menjadi guru saya dan teman-teman pemula yang lainnya, semoga bisa terus berkarya dan menginspirasi. Insa Allah.

 

Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi kegagalan demi kegagalan dengan penuh kesabaran tanpa kehilangan semangat.

 

Waingapu, 1 April 2021

 

 

 


 

 

Selasa, 30 Maret 2021

MENULIS EKSPRESIF UNTUK MEMBANTU PROSES MEMAAFKAN

 


.

Writing for Wellness – 83

Oleh : Cahyadi Takariawan

Forgiveness involves forgoing destructive thoughts, feelings, and behaviors and, instead, engaging in constructive responses following an interpersonal offense – Catherine Romero (2008)

.

Anda pernah merasa sakit hati atau terzalimi? Bagaimana reaksi dalam diri Anda? Marah, dendam, ingin membalas? Atau Anda termasuk pribadi yang mudah memaafkan? Semua respon dalam diri Anda, memiliki konsekuensi yang berbeda-beda.

Sebagai manusia beriman, kita diarahkan untuk memiliki sikap pemaaf, dan menjauhkan diri dari dendam. Maka forgiveness (pemaafan) memiliki peran serta pengaruh yang positif dalam kehidupan manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata pemaafan adalah proses, cara, perbuatan memaafkan. Arti lainnya dari pemaafan adalah pengampunan. Pemaafan berasal dari kata dasar maaf. Pemaafan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga pemaafan dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.

Pengertian Forgiveness

Enright (dalam Nashori, 2016) mendefinisikan pemaafan sebagai kesediaan seseorang untuk meninggalkan kemarahan, penilaian negatif, dan perilaku acuh tidak acuh terhadap orang lain yang telah menyakitinya secara tidak adil, pada sisi lain menumbuhkan perasaan iba, kasih sayang, dan kemurahan hati terhadap orang yang telah menyakiti hatinya tersebut.

McCullough dkk (dalam Nashori, 2016) mengartikan pemaafan sebagai seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang agar tidak membalas-dendam dan. meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti.

Wardhati dan Faturochman (dalam Nashori, 2016) mengatakan bahwa pemaafan adalah upaya membuang semua keinginan pembalasan dendam dan sakit hati yang bersifat pribadi terhadap pihak yang bersalah atau orang yang menyakiti dan mempunyai keinginan untuk membina hubungan kembali.

Baumeister, Exline, dan Sommer (dalam Nashori, 2016) membagi pemaafan menjadi dua dimensi, yaitu dimensi intrapsikis dan dimensi Interpersonal. DImensI intrapslkis mellputi aspek emosI dan kognlsi. Dimensi interpersonal meliputi aspek sosial pemaafan. Pemaafan total dan tuntas mellbatkan dua dimensi di atas.

Pemaafan yang semu terbatas pada dimensi interpersonal yang ditandai oleh adanya perilaku memperlakukan orang-orang yang menyakiti secara wajar tetapi masih terus menyimpan dendam dan sakit hati. Pemaafan yang tulus merupakan pilihan sadar individu melepaskan keinginan untuk membalas dan mewujudkannya dalam respons rekonsiliasi (Nashori, 2016).

Forgiveness sebagai kekuatan karakter dan proses yang ketika dipraktikkan, dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan psikologis, kesehatan fisik, dan umur panjang. Penelitian menunjukkan bahwa proses fisik dan psikologis yang menunjukkan dampak dari forgiveness termasuk HIV/AIDS, fibromyalgia, penyakit arteri koroner, nyeri kronis, cedera otak traumatis, penyakit terminal, kanker tertentu, kecemasan, dan depresi (Aini, 2020).

Sementara gagal memaafkan adalah praktik yang melibatkan pikiran tentang kemarahan, balas dendam, kebencian—dan kebencian memiliki hasil yang tidak produktif, seperti meningkatnya kecemasan, depresi, tekanan darah tinggi, resistensi pembuluh darah, penurunan respons imun, dan hasil yang lebih buruk pada penyakit arteri koroner (Norman, dalam : Aini 2020).

Ada banyak penelitian yang menunjukkan efek positif yang sangat besar dari forgiveness pada kesejahteraan psikologis. Salah satu studi menemukan bahwa wanita yang memaafkan orang yang menyakiti mereka mengalami lebih sedikit depresi, kecemasan, dan memiliki harga diri yang lebih tinggi.

Sudah banyak penelitian tentang implikasi positif dari forgiveness, tetapi sayangnya tidak ada terapi yang ditetapkan untuk membantu membimbing klien menuju tindakan forgiveness (Bowles, dalam : Aini, 2020).  Untuk itu diperlukan uoaya memberikan bimbingan teknis, bagaimana forgiveness bisa dilakukan.

Menulis ekspresif yang dikembangkan oleh Pennebaker dan Beall sejak 1986 dapat menyediakan metode yang nyaman bagi individu untuk menghadapi perasaan dan pikiran yang tidak terselesaikan, terkait dengan peristiwa yang menimbulkan stres. Pennebaker mengembangkan intervensi ekspresi emosi tertulis singkat yang membantu individu untuk secara kognitif menghadapi dan memproses reaksi mereka terhadap peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.

Peserta menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam mereka yang terkait dengan peristiwa stres tertentu selama 20 menit per hari, biasanya untuk periode 3 hari. Lebih dari satu dekade penelitian menunjukkan kemanjuran intervensi ini dalam meningkatkan kesehatan fisik dan penyesuaian psikososial.

Menulis Ekspresif untuk Membantu Forgiveness

Menulis ekspresif, bisa dikembangkan untuk menjadi sarana untuk membantu forgiveness. Studi telah dilakukan oleh Catherine Romero (2008), membandingkan dua tugas menulis ekspresif dengan tugas menulis kontrol untuk menentukan apakah menulis tentang pelanggaran interpersonal mendorong tindakan pemaafan.

“Participants who empathized with the offender and identified benefits of forgiveness experienced decreases in avoidance and increases in perspective-taking” – Catherine Romero (2008)

Peserta yang berempati dengan pelaku dan mengidentifikasi manfaat pengampunan mengalami penurunan dalam penghindaran dan peningkatan pengambilan perspektif. Peserta yang menulis tentang pikiran dan perasaan mereka atau tentang kejadian sehari-hari tidak mengalami hasil pengampunan tersebut.

Hasil studi Romero ini menandakan, menulis ekspresif mampu membantu proses memaafkan. Dengan manfaat kognitif maupun mental yang didapatkan melalui menulis ekspresif, membuat seseorang lebih mudah memaafkan.

Penelitian serupa dilakukan oleh Qurrota Aini (2020). Aini melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas menulis ekspresif terhadap peningkatan forgiveness pada individu yang mengalami pemutusan hubungan romantis. Penelitian menggunakan metode kuasi-eksperimen dengan desain penelitian Non-Randomized Pretest-Posttest Control Group Design.

Partisipan terdiri dari 36 individu pada usia dewasa awal dengan rentang usia 18-23 tahun yang telah mengalami pemutusan hubungan romantis. Hasil uji hipotesis menggunakan uji t berpasangan menunjukkan kegiatan menulis ekspresif efektif dalam meningkatkan forgiveness pada individu setelah adanya pemutusan hubungan romantis.

Selamat menulis, selamat menikmati kedamaian.

Bahan Bacaan

Catherine Romero, Writing Wrongs: Promoting Forgiveness Through Expressive Writinghttps://doi.org/10.1177/0265407508093788, Journal of Social and Personal Relationships, 1 Agustus 2008, diakses dari https://journals.sagepub.com/

Qurrota Aini, Efektivitas Menulis Ekspresif Terhadap Peningkatan Forgiveness pada Individu yang Mengalami Pemutusan Hubungan Romantishttp://repository.unj.ac.id, 8 April 2020

Fuad Nashori, Meningkatkan Kualitas Hidup dengan Pemaafan, DOI : 10.20885/unisia.vol33.iss75.art1, 21 Juli 2016, diakses dari https://journal.uii.ac.id

.

MENULIS EKSPRESIF UNTUK MEREDAKAN DEPRESI PELAKU SELF INJURY

 


.

Writing for Wellness – 84

Oleh : Cahyadi Takariawan

“… bapak sama ibu sering berantem, pukul-pukulan, sampe diliatin sama tetangga… Bapak juga suka main tangan ke anak-anak, ga cuma sama ibu aja… Setiap kali bapak main tangan, di situ aku sering ngerasa frustasi … Jadi aku suka nyilet-nyilet tangan… sampe bapak tau pertama kali, aku dikata-katain ‘goblok, ngapain lo kaya gitu make narkoba ya lo’ terus dijedot-jedotin kepala aku. Adek juga sering dipukulin karena main warnet, sampe diseret-seret dari warnet, sampe kasian kita ngeliatnya…” (Simatupang, 2019)

.

Curhat di atas ditulis oleh Simatupang (2019) dalam penelitian terhadap pelaku self injury. Simatupang melakukan wawancara terhadap tiga orang pelaku self injury, dan meneliti penyebab tidakan tersebut. Ia menemukan, ketiga pelaku memiliki motif yang sama, yaitu merasakan stres akibat tekanan masalah dalam keluarganya.

Perbuatan melukai diri sendiri disebit sebagai self injury. Beberapa ahli menyatakan, self injury adalah tindakan mencederai tubuh sendiri dengan disengaja, tanpa niat bunuh diri. Self Injury juga sering dikenal dengan istilah self harm, atau disebut juga NSSI, non-suicidal self-injury (Serani, 2012).

Tindakan self injury bisa dalam bentuk mengamputasi anggota tubuh, menghantam-hantamkan kepala ke tembok, menyayat bagian tubuh, –seperti pergelangan tangan, paha bagian dalam, lengan atas— mencabuti rambut, mematahkan tulang, dan tindakan lain (Afnida, 2021).

Self injury umumnya dilakukan secara rahasia atau diam-diam. Pelaku  menutupi luka akibat sayatan dengan pakaian, perhiasan, atau perban. Beberapa remaja sengaja berpakaian lengan penjang, untuk menutupi luka sayatan di tubuhnya.

Tindakan self injury dapat terjadi pada usia berapa pun, namun  lebih sering muncul pada masa perkembangan remaja. Saat remaja mulai melakukan self injury, kemungkinan besar mereka akan ketergantungan dengan tindakan ini untuk mengelola emosi negatifnya (Afnida, 2021). Hal ini dikarenakan seorang remaja biasanya masih belum cukup memiliki cara untuk meredakannya. 

Self injury juga sering dijumpai pada seseorang dengan diagnosa borderline personality disorder, gangguan suasana hati, gangguan makan, gangguan stress paska trauma, kecemasan, gangguan kontrol impuls, dan gangguan obsesif kompulsif (Serani, 2012).

Biasanya, pelaku tindakan self injury bertujuan untuk meredakan perasaan-perasaan yang menyakitkan yang terlalu berlebihan. Namun ada pula pelaku self injury karena merasakan kekosongan jiwa (Simatupang, 2019). Tujuan lain adalah sebagai cara mengekspresikan hal-hal yang tidak dapat mereka ceritakan.  Ada juga pelaku self injury dengan tujuan untuk menghukum diri sendiri (Afnida, 2021).

Menulis Ekspresif untuk Meredakan Depresi Pelaku Self Injury

Menulis ekspresif dapat membantu individu untuk mengekspresikan semua perasaan dan pikirannya melalui media tulisan. Selain itu kegiatan menulis juga memberikan kesempatan kepada individu untuk melakukan penilaian ulang mengenai permasalahan yang dihadapi serta penilaian diri sendiri.

Seruni Yuniarti (2018) melakukan penelitian yang melibatkan tiga orang partisipan. Desain penelitian adalah studi kasus dengan mixed method menggunakan Concurrent Embedded Strategy Design dan data kualitatif menjadi data primer. Data kualitatif dianalisis menggunakan thematic analysis sedangkan data kuantitatif menggunakan teknik statistik deskriptif.

Hasil dari data kualitatif maupun kuantitatif terlihat bahwa expressive writing therapy dapat menurunkan perilaku melukai diri pada mahasiswa. Berdasarkan data kualitatif juga tergambar bahwa terdapat perubahan pada diri partisipan, pemikiran partisipan menjadi lebih positif, meningkatnya kesadaran diri partisipan, hingga kemampuan partisipan dalam mengekspresikan emosi negatifnya.

Hasil kuantitatif menunjukan bahwa frekuensi dan intensitas perilaku melukai diri pada partisipan mengalami penurunan. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa intervensi menulis ekspresif dapat memberikan efek positif kepada partisipan.

Hasil penelitian Yuniarti (2018) menyimpulkan bahwa intervensi menulis ekspresif dapat memberikan efek positif kepada partisipan.

Studi serupa dilakukan oleh Maulida dan Annatagia (2019), Mereka melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas menulis ekspresif dalam menurunkan depresi pada remaja yang melakukan self injury.

Asesmen dilakukan dengan wawancara kepada guru BK dan focus group discussion kepada para partisipan. Penelitian dilakukan pada remaja perempuan kelas VII di SMP X yang melakukan self injury dan berada pada kategori depresi tingkat sedang hingga tinggi.

Kesimpulan dari penelitian Maulida dan Annatagia (2019) adalah, terapi menulis ekspresif efektif dalam menurunkan depresi pada remaja yang melakukan self injury.

Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan depresi pada kelompok eksperimen antara pretest dan posttest, dan pada saat pretest dan follow up. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terapi menulis ekspresif efektif dalam menurunkan depresi pada remaja yang melakukan self injury.

Selamat menulis, selamat menikmati kesehatan.

Bahan Bacaan

Afnida, Apa itu Self Injury? RS Awal Bros, http://awalbros.com, diakses pada 27 Maret 2021

Deborah Serani, Depression and Non-Suicidal Self Injury, 28 Februari 2012, https://www.psychologytoday.com

Laras Octavia Gracia Simatupang, Gambaran Kesepian pada Remaja Pelaku Self Harm, Universitas Negeri Jakarta, 2019, http://repository.unj.ac.id

Nurul Hikmah Maulida, Libbie Annatagia, Terapi Menulis Ekspresif untuk Menurunkan Depresi pada Remaja yang Melakukan Self Injury, Jurnal Psikologi Indonesia, Vol 4 No 1 th 2019, diakses dari https://jurnal.ipkindonesia.or.id

Seruni Yuniarti, Efektivitas Expressive Writing Therapy Untuk Menurunkan Perilaku Melukai Diri Pada Mahasiswa Universitas Padjadjaran, 2018, Penerbit Universitas Padjadjaran, http://pustaka.unpad.ac.id

.

MENULIS EKSPRESIF UNTUK MENINGKATKAN KEPUASAN PERNIKAHAN

 


.

Writing for Wellness – 85

Oleh : Cahyadi Takariawan

“Findings about positive affective language indicate that those who used more positive language in their writing reported greater marital satisfaction” – Rachel B. Williams (2014)

.

Kepuasan pernikahan merupakan evaluasi subjektif suami atau istri atas kehidupan pernikahannya yang berdasar pada perasaan puas, bahagia, dan pengalaman menyenangkan yang dilakukan bersama pasangan (Olson & Fower, dalam : Serli, 2016)

Kepuasan pernikahan merupakan penilaian yang bersifat subjektif mengenai kualitas pernikahan, meliputi perasaan bahagia, puas, menyenangkan, dan seberapa besar pasangan merasa kebutuhannya terpenuhi dalam hubungan pernikahan (Hajizah, dalam : Serli, 2016).

Aspek-aspek kepuasan pernikahan menurut Olson & Fowers (dalam : Serli, 2016) di antaranya adalah:

  • Komunikasi (Communication)

Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam berkomunikasi dengan pasangannya. Aspek ini berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif.

  • Aktivitas bersama (Leisure Activity)

Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan untuk mengisi waktu luang, merefleksikan aktivitas sosial versus aktivitas personal. Aspek ini juga melihat apakah suatu kegiatan dilakukan sebagai pilihan bersama serta harapan-harapan mengisi waktu luang bersama pasangan.

  • Orentasi keagamaan (Religius Orientation)

Aspek ini mengukur makna keyakinan beragama serta bagaimana pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang memiliki keyakinan beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang perduli terhadap hal-hal keagamaan dan mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan kehidupan beragama.

  • Pemecahan masalah (Conflict Resolution)

Aspek ini mengukur persepsi suami istri terhadap suatu masalah serta bagaimana pemecahannya. Diperlukan adanya keterbukaan pasangan untuk mengenal dan memecahkan masalah yang muncul serta strategi yang digunakan untuk mendapatkan solusi terbaik. Aspek ini juga menilai bagaimana anggota keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta membangun kepercayaan satu sama lain.

  • Manajemen keuangan (Financial Management)

Aspek ini berfokus pada bagaimana cara pasangan mengelola keuangan mereka. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan membelanjakan uang mereka dan perhatian mereka terhadap keputusan finansial mereka. Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangan yang juga tidak percaya terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.

  • Orientasi seksual (Sexual Orientation)

Aspek ini berfokus pada refleksi sikap yang berhubungan dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan. Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring berjalannya waktu.

  • Keluarga dan teman (Family and Friend)

Aspek ini menunjukkan perasan dalam berhubungan dengan anggota keluarga dan keuarga dari pasangan, serta teman-teman, serta menunjukkan harapan untuk mendapatkan kenyamanan dalam menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman.

  • Anak-anak dan pengasuhan (Children and Parenting)

Aspek ini mengukur sikap dan perasaan terhadap tugas mengasuh dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan.

  • Masalah kepribadian (Personality Issues)

Aspek ini melihat penyesuaian diri dengan tingkah laku, kebiasaan- kebiasaan serta kepribadian pasangan. Biasanya sebelum menikah individu berusaha menjadi pribadi yang menarik untuk mencari perhatian pasangannya bahkan dengan berpura-pura menjadi orang lain. Setelah menikah, kepribadian yang sebenarnya akan muncul.

  • Kesetaraan Peran (Equalitarium Role)

Aspek ini mengukur perasaan dan sikap individu mengenai peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah, dan peran sebagai orang tua. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi. Suami dapat bekerjasama dengan istri sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah.

Menulis Ekspresif untuk Meningkatkan Kepuasan Pernikahan

Menulis ekspresif telah banyak dibahas mampu memberikan manfaat kesehatan fisik dan mental. Rachel B. Williams (2014) melakukan penelitian untuk memahami hubungan antara aktivitas menulis dengan kepuasan pernikahan.

Data dikumpulkan dari 79 pasangan menikah yang menyelesaikan kuesioner kepuasan pasangan dan berpartisipasi dalam latihan menulis tentang hubungan mereka. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penelitian ini menggunakan model analisis diadik yang disebut model interdependensi aktor-mitra.

“Findings revealed that those who used more first person plural pronouns in their writing were likely to report greater satisfaction in their relationship” – Rachel B. Williams (2014)

Temuan mengungkapkan bahwa mereka yang menggunakan lebih banyak kata ganti orang pertama jamak dalam tulisan mereka cenderung melaporkan kepuasan yang lebih besar dalam hubungan mereka. Temuan tentang bahasa afektif positif menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan bahasa yang lebih positif dalam tulisan mereka melaporkan kepuasan pernikahan yang lebih besar.

“Also, those whose partners used more positive language in their writing were likely to report greater marital satisfaction” – Rachel B. Williams (2014)

Selain itu, mereka yang pasangannya menggunakan bahasa yang lebih positif dalam tulisan mereka cenderung melaporkan kepuasan pernikahan yang lebih besar. Penelitian juga menunjukkan bahwa mereka yang menggunakan lebih banyak bahasa marah dalam tulisan mereka melaporkan kepuasan perkawinan yang lebih rendah.

Selamat menulis, selamat menikmati kebahagiaan pernikahan.

Bahan Bacaan

Mimi Serli, Komitmen dan Kepuasan Pernikahan pada Istri yang Bekerja,  Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2016, http://repository.uin-suska.ac.id

Rachel B. Williams, Expressive Writing and Marital Satisfaction: A Writing Sample Anlysis, 2014, Utah State University, https://digitalcommons.usu.edu

.

MENULIS EKSPRESIF UNTUK SELF DISCLOSURE

 


.

Writing for Wellness – 86

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Kathryn Greene et.all (dalam Mukhlishah, 2015) menyatakan, pengungkapan diri biasanya dipelajari dalam pesan verbal yang berisi pernyataan seperti ‘Saya merasa’ dan ‘Saya pikir’. Sedangkan pengungkapan adalah proses yang memberikan akses ke pribadi dan bersifat rahasia.

“Self disclosure usually studied in term verbal masage that contain statements such as ‘I feel’ and ‘I think’. Disclosure is process that grants access to private and to secret” –Kathryn Greene

Ruth Permatasari Novianna (dalam Mukhlishah 2015) menyatakan, self-disclosure adalah pemberian informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Informasi yang diberikan dapat mencakup berbagai hal seperti pengalaman hidup, perasaan, emosi, pendapat, cita-cita dan sebagainya.

Self disclosure juga merupakan metode yang paling dapat dikontrol dalam menjelaskan diri sendiri kepada orang lain. Individu dapat mempresentasikan dirinya sebagai orang bijak atau orang bodoh tergantung dari caranya mengungkapkan perasaan, tingkah laku, dan kebiasaannya (Mukhlishah, 2015).

Istilah pengungkapan diri (self disclosure) terdiri dari dua kata; yaitu diri (self) dan proses pengungkapan (disclosure). Konsep diri (self), dalam kajian psikologi, memiliki banyak sekali dimensi. Paling tidak, ada dimensi subjektif dan dimensi objektif seseorang.

Dimensi subjektif dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seseorang, mulai dari kematangan intelektualitas, internalisasi dan objektivasi pengalaman, serta pemaknaan diri terhadap tindakan yang dilakukannya. Sedangkan dimensi objektif, erat kaitannya dengan kehidupan sosial, lingkungan, kelompok, budaya dan hal-hal lainnya (Mukhlishah, 2015)

Self-Disclosure is difined as quantity and quality of personal information that an individual provides to another”.

Menurut Mukhlishah, pengungkapan diri berkaitan dengan informasi tentang diri seseorang yang diceritakan kepada orang lain. Kedua, self disclosure erat kaitannya dengan komunikasi dua orang (interpersonal communication) yang akan atau sedang membangun sebuah hubungan (relationship).

Menulis Ekspresif untuk Proses Self-Disclosure

Self disclosure atau sering juga disebut pengungkapan diri merupakan bentuk komunikasi berbentuk verbal maupun non verbal yang diakui sebagai suatu hal yang penting didalam berbagai konteks. Seseorang yang memiliki self disclosure rendah cenderung menyimpan sendiri perasaan dan emosi yang mereka rasakan (Khusana, 2016).

Usaha individu untuk menekan pikiran dan emosi secara terus menerus membutuhkan usaha fisik yang berakibat stres. Seseorang yang memiliki self disclosure rendah ditemui pada korban bullying. Korban bullying merupakan individu yang dianggap lemah sehingga mendapatkan perlakuan bullying (Khusana, 2016).

Kebanyakan korban bullying akan merasa tertekan, trauma, merasa lemah, tidak berdaya, dan memunculkan perasaan harga diri yang rendah sehingga cenderung memiliki self disclosure yang rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan bantuan yang efektif untuk meningkatkan self disclosure korban bullying, salah satu upayanya ialah pelatihan teknik menulis ekspresif.

Khusana (2016) dari Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang, melakukan penelitian untuk mengetahui efektivitas teknik menulis ekspresif untuk meningkatkan self disclosure korban bullying. Rancangan penelitian menggunakan Pre Eksperimental Designs dengan desain One-Group Pretest-Posttest Design.

Hasil penelitian Khusana (2016) menunjukkan bahwa teknik menulis ekspresif efektif untuk meningkatkan self disclosure siswa korban bullying.

Subjek penelitian adalah siswa SMPN 15 Malang sebanyak lima siswa sebagai kelompok eksperimen yang dipilih berdasarkan angket korban bullying. Observasi dilakukan sebanyak dua kali yaitu sebelum perlakuan (pretest) dan sesudah perlakuan (posttest). Pretest dan posttest dilakukan dengan menggunakan skala self disclosure dan treatment berupa pelatihan teknik menulis ekspresif.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa teknik menulis ekspresif efektif untuk meningkatkan self disclosure siswa korban bullying. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan bagi konselor teknik menulis ekspresif dapat digunakan untuk meningkatkan self disclosure korban bullying dengan menggunakan panduan teknik menulis ekspresif.

Menulis ekspresif juga telah dipelajari bisa menjadi sarana self disclosure untuk pasien skizofrenia. Rohmah dan Pratikto (2019) melakukan penelitian untuk melakukan intervensi kepada salah satu pasien skizofrenia yang berada di RSJ Dr.Radjiman Widiodiningrat Malang. Subyek mengalami gangguan skizofrenia hebefrenik.

Peneliti memberikan intervensi berupa expressive writing therapy sebagai media untuk meningkatkan kemampuan pengungkapan diri (self disclosure), menyembuhkan dan peningkatan kesehatan mental. Terapi ini diyakini mampu mengungkap atau menggambarkan pengalaman hidup pada masa lalu, sekarang atau masa depan.

Hasil dari penelitian Rohmah dan Pratikto (2019) menunjukkan bahwa expressive writing therapy efektif digunakan sebagai media mengungkapkan perasaan, isi hati dan emosi subyek.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa expressive writing therapy efektif digunakan sebagai media mengungkapkan perasaan, isi hati dan emosi subyek.

Selamat menulis, selamat menikmati kesehatan dan kebahagiaan.

Bahan Bacaan

Ike Kurnia Ani Khusana, Keefektifan Teknik Menulis Ekspresif untuk Meningkatkan Self Disclousure Korban Bullying, 2016, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang, http://karya-ilmiah.um.ac.id

Lulus Faqihatur Rohmah, Herlan Pratikto, Expressive Writing Therapy As a Media to Improve Self Disclosure Skills of Hebephrenic Schizophrenia Patients, DOI: 10.30813/psibernetika.v12i1.1584, April 2019, https://www.researchgate.net

Mukhlishah AM, Teknik Pengungkapan Diri Melalui Angket Self-Disclosure, Prosiding Halaqoh Nasional & Seminar Internasional Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya, 2015, http://digilib.uinsby.ac.id/

.

MENULIS BERORIENTASI MASA DEPAN

 


.

Writing for Wellness – 87

Oleh : Cahyadi Takariawan

.

Susan Biali Haas menulis di Psychology Today (2019), “Saya menemukan bahwa menulis jurnal selalu menyenangkan dan memberikan efek terapeutik. Menulis adalah jendela yang sangat membantu cara kerja pikiran, hati, dan kehidupan saya. Saya merekomendasikannya kepada hampir semua pasien dan klien, terutama jika mereka merasa mandek atau kewalahan”.

Susan mengamati hasil studi James Pennebaker tentang dampak menulis ekspresif 15 – 20 menit, selama beberapa hari, terhadap kesehatan. Menuliskan peristiwa traumatis masa lalu, atau masalah yang menekan, mampu meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh.

Model intervensi ini telah direplikasi pada pasien dengan berbagai kondisi, termasuk asma, artritis, kanker payudara, dan HIV. Bahkan penelitian selanjutnya menemukan bahwa ketika orang melakukan intervensi menulis ekspresif jangka pendek, mampu mempercepat penyembuhan luka di kulit.

Beberapa temuan dari penelitian Pennebaker dan para ahli lainnya terkait dampak menulis ekspresif bagi kesehatan mental dan fisik, memberikan pelajaran sangat berharga dalam kehidupan manusia.

Menulis ekspresif, artinya mengeluarkan berbagai hal yang mengganjal di pikiran dan perasaan. Jangan membiarkan pikiran dan emosi Anda terpenuhi oleh pengalaman traumatis. Menekan dan membiarkan berkembangnya pikiran dan perasaan negatif, dapat membahayakan fungsi kekebalan.

Namun, menulis ekspresif juga bukan hanya soal melepas beban. Jika hanya berfokus pada pelampiasan emosi negatif, justru memungkinkan mendapatkan kondisi kesehatan yang memburuk. Untuk mendapatkan manfaat kesehatan dari menulis ekspresif, hendaknya tidak terfokus pada mengingat peristiwa traumatis (Susan, 2019).

Pennebaker menemukan pola penulisan yang memberikan perbaikan kondisi kesehatan. Yaitu, tidak berfokus pada ‘aku’, namun lebih berfokus kepada ‘karena’.

Anda harus berupaya memberikan makna positif atau menafsirkan pengalaman traumatis yang pernah terjadi, dengan cara yang positif. Pennebaker menemukan pola penulisan yang memberikan perbaikan kondisi kesehatan. Yaitu, tidak berfokus pada ‘aku’, namun lebih berfokus kepada ‘karena’.

Proses menulis ekspresif yang menggunakan lebih banyak pendekatan “karena”, “menyadari”, atau “memahami”, memiliki lebih banyak manfaat kesehatan dari tulisan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa penulis secara aktif tengah menafsirkan apa yang terjadi dengan cara yang positif (Susan, 2019).

Menulis Ekspresif Berorientasi Masa Depan

Menulis ekspresif yang hanya menceritakan kejadian masa lalu dan masa kini, kurang memiliki manfaat yang optimal bagi kesehatan. Namun, ketika mampu memberikan makna yang positif, atau menafsirkan kejadian tarumatis dengan perspektif yang positif di masa depan, lebih memberikan dampak kesehatan.

“Future orientation is related to a person’s ability to initiate and sustain goal-directed action. It is not sufficient to have goals; one must also have the general belief that these goals can be attained”.

Future orientation (orientasi masa depan) melibatkan dua sisi keterampilan yang berbeda tetapi saling terkait erat. Pertama adalah kemampuan untuk menetapkan tujuan dan memantau kemajuan menuju pencapaiannya. Kedua adalah harapan serta optimisme tentang potensi, sasaran, dan pilihan masa depan.

Orientasi masa depan terkait dengan kemampuan seseorang untuk memulai dan mempertahankan tindakan yang diarahkan pada tujuan. Tidak cukup hanya memiliki tujuan; seseorang juga harus memiliki keyakinan umum bahwa tujuan-tujuan ini dapat dicapai.

Hal ini sejalan dengan teori harapan CR Snyder, di mana harapan dipahami sebagai “sistem motivasi dinamis” yang terdiri dari tujuan, motivasi untuk mengejar tujuan tersebut dan kemampuan untuk menyusun rencana untuk mencapainya. Orientasi masa depan yang positif mampu memperbaiki penyesuaian sosial dan emosional, dan dapat membantu memediasi efek stres.

“Positive future orientation also predicts better social and emotional adjustment, and can help to mediate the effects of stress in youth”.

Nixon dan Kling (2009) melakukan penelitian untuk menguji intervensi menulis ekspresif yang berorientasi masa depan terhadap gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Penilaian dilakukan sebelum dan sesudah perawatan. Partisipan juga menyelesaikan penilaian tindak lanjut 3 bulan.

Hasil penelitian menunjukkan penurunan yang signifikan dalam keparahan PTSD pasca intervensi menulis ekspresif, dan pada tindak lanjut 3 bulan. Disimpulkan bahwa tulisan ekspresif dengan fokus pada pencapaian tujuan masa depan dan perubahan pribadi memiliki kemanfaatan dalam mengurangi stres pasca-trauma.

Selamat menulis, selamat menikmati kesehatan dan kebahagiaan.

Bahan Bacaan

Reginald DV. Nixon, Leonard W. Kling,  Treatment of Adult Post-traumatic Stress Disorder Using a Future-oriented Writing Therapy Approach, DOI: 10.1017/S1754470X09990171, Desember 2009, https://www.researchgate.net

Susan Biali Haas, Journaling About Trauma and Stress Can Heal Your Body, 7 Desember 2019, https://www.psychologytoday.com

YDEKC (Youth Development Executives of King County), Future Orientation: Definition, Measurent, and Strategies, 2015, https://ydekc.files.wordpress.com

.

Sabtu, 27 Maret 2021

MENULIS EKSPRESIF UNTUK PERTUMBUHAN PASCA TRAUMA

 


.

Writing for Wellness – 78

Oleh : Cahyadi Takariawan

“Few studies have explored whether expressive writing can contribute to increased positive changes in outlook or posttraumatic growth” — Stockton, Joseph & Hunt (2014)  

.

Post-traumatic growth (PTG) atau pertumbuhan pasca trauma adalah perubahan positif yang dialami seseorang setelah berjuang dengan kondisi kehidupan yang traumatik. Peristiwa traumatik membutuhkan usaha individu untuk memahami dan memaknai dirinya dan kehidupannya yang berubah akibat peristiwa yang dialami (Marty Mawarpury, 2018).

Pertumbuhan pasca trauma adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada perubahan psikologis positif yang mendalam yang dapat dialami setelah trauma dan yang “mendorong individu ke tingkat fungsi yang lebih tinggi daripada yang ada sebelum peristiwa tersebut” (Linley & Joseph, dalam : Marty Mawarpury, 2018).

Perubahan ini dapat mencakup peningkatan kasih sayang dan perbaikan dalam hubungan, peningkatan pandangan tentang diri, atau pergeseran dalam filosofi dan perspektif hidup (Tedeschi & Calhoun, dalam : Marty Mawarpury, 2018). Beberapa faktor yang diidentifikasi berkontribusi pada PTG adalah usia dan jenis kelamin, peristiwa traumatik, kepribadian, koping, dukungan sosial seperti keluarga, teman, dan organisasi.

Pertumbuhan pasca trauma memiliki tiga domain utama. Pertama, peningkatan hubungan dengan orang lain seperti memiliki nilai yang lebih baik terhadap keluarga dan teman. Kedua, perubahan pandangan terhadap diri sendiri seperti merasa lebih kuat menghadapi dunia dan memiliki penerimaan lebih besar terhadap keterbatasan diri. Ketiga, perubahan dalam filosofi hidup seperti memberikan apresiasi pada keseharian hidupnya dan bernegosiasi dengan diri dan keadaan (Linley & Joseph dalam : Marty Mawarpury, 2018)

Numerous studies have demonstrated that writing about stressful or traumatic life events is associated with improvements in physical and psychological health, relative to emotionally neutral writing — Stockton, Joseph & Hunt (2014)

Menulis Ekspresif dan Peristiwa Traumatis

Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa menulis tentang peristiwa kehidupan yang penuh tekanan atau traumatis dikaitkan dengan peningkatan kesehatan fisik dan psikologis, dibandingkan dengan tulisan yang netral secara emosional. Stockton, Joseph & Hunt (2014) mendata sejumlah hasil penelitian pengaruh menulis ekspresif terhadap pertumbuhan pasca trauma.

“Expressive writing has been related to improved mood, reduced health centre visits, improved immune system functioning, reduced symptoms of depression and anxiety, and reduced trauma-related intrusion and avoidance symptoms” — Stockton, Joseph & Hunt (2014)  

Hasil pendataan Stockton, Joseph & Hunt, menulis ekspresif memberikan pengaruh positif terhadap:

  1. perbaikan suasana hati (Páez, Velasco & Gonzalez, 1999)
  2. berkurangnya kunjungan ke pusat kesehatan (Pennebaker & Francis, 1996)
  3. peningkatan fungsi sistem kekebalan (Pennebaker, Kiecolt-Glaser & Glaser, 1988; Petrie et al., 1995)
  4. mengurangi gejala depresi dan kecemasan (Hemenover, 2003)
  5. mengurangi intrusi terkait trauma dan gejala penghindaran (Klein & Boals, 2001)
  6. meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologis (Frattaroli, 2006; Smyth, 1998).

Meskipun ada beberapa penelitian lain yang tidak mendukung, akan tetapi berbagai studi di atas cukup menjadi penguat akan efektivitas menulis ekspresif bagi kesehatan mental dan fisik.

“Meta-analyses have also confirmed that expressive writing can improve physical and psychological well-being” — Stockton, Joseph & Hunt (2014)  

Menulis Ekspresif untuk Pertumbuhan Pasca Trauma

Beberapa studi menunjukkan efektivitas menulis ekspresif untuk pertumbuhan pasca trauma. Misalnya, studi yang dilakukan Ullrich dan Lutgendorf (2002) menemukan bahwa individu yang menulis tentang kognisi dan emosi di sekitar peristiwa stres atau traumatis menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan pasca trauma.

“Smyth, Hockemeyer and Tulloch (2008) explored the efficacy of expressive writing in patients with posttraumatic stress disorder (PTSD) and demonstrated that expressive writing participants reported improved posttraumatic growth at 3-month follow-up”.

Smyth, Hockemeyer dan Tulloch (2008) melakukan studi untuk mengamati efektivitas menulis ekspresif terhadap pasien dengan gangguan stres pasca trauma (PTSD). Hasil studi menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan intervensi menulis ekspresif melaporkan peningkatan pertumbuhan pasca trauma pada 3 bulan tindak lanjut.

Gebler dan Maercker (2007) juga menemukan bahwa individu yang menulis ekspresif melaporkan peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan pasca trauma dari awal hingga tindak lanjut selama 8 pekan. Studi ini memberikan bukti awal yang menunjukkan bahwa tulisan ekspresif dapat meningkatkan perbaikan dalam pertumbuhan pasca trauma.

Gebler and Maercker (2007) also found that individuals in a standard expressive writing condition reported significant increases in posttraumatic growth from baseline to 8-week follow-up.

Stockton, Joseph & Hunt (2014) melakukan kajian eksploratif untuk mengamati efek menulis ekspresif berbasis internet, terhadap pertumbuhan pasca trauma. Peserta secara acak dibagi untuk masuk kelompok menulis ekspresif atau kelompok kontrol. Semua partisipan diminta menulis selama 15 menit dalam tiga sesi terpisah, selama tiga  hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pikiran yang mengganggu menurun dan pertumbuhan pasca trauma meningkat, pada kelompok kelompok menulis ekspresif. Penggunaan kata-kata yang lebih baik, berkorealsi dengan pertumbuhan pasca trauma yang lebih baik pula.

Zheng dan Gan (2018) melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh tulisan ekspresif dan penggunaan kata kognitif terhadap pembuatan makna pertumbuhan pasca trauma. Sebanyak 52 mahasiswa yang mengalami trauma ditugaskan untuk salah satu dari dua kondisi penulisan, yaitu menulis ekspresif atau menulis netral.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta yang terlibat dalam penulisan ekspresif menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada keberadaan makna dan pertumbuhan pasca trauma. Selain itu, tugas menulis (ekspresif atau netral) dan frekuensi kata-kata kognitif, menjadi prediktor makna yang signifikan, yang pada gilirannya menyebabkan tingkat pertumbuhan pasca trauma yang tinggi.

Zheng dan Gan menyimpulkan, penggunaan kata-kata kognitif merupakan proses kognitif penting untuk mengembangkan makna dalam tulisan, yang mendukung pertumbuhan pasca trauma. Penilitian ini semakin mengokohkan hasil-hasil studi sebelumnya terkait efektivitas menulis ekspresif untuk pertumbuhan pasca trauma.

Selamat menulis, selamat menikmati kesehatan.

Bahan Bacaan

Hannah Stockton, Stephen Joseph, & Nigel Hunt, 2014, Expressive Writing and Posttraumatic Growth: An Internet-Based Pilot Study, Traumatology: An International Journal, 20(2), 75–83. https://doi.org/10.1037/h0099377, diakses dari https://psycnet.apa.org/

Lei Zheng, Yiqun Gan, Effects of Expressive Writing and Use of Cognitive Words on Meaning Making and Posttraumatic Growth, DOI: 10.1017/prp.2018.31, Januari 2018, diakses dari https://www.researchgate.net/

Marty Mawarpury, Analisis Koping dan Pertumbuhan Pasca-trauma pada Masyarakat Terpapar Konflik, Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, Vol 3, No 2 (2018), DOI: http://dx.doi.org/10.21580/pjpp.v3i2.2818, diakses dari https://journal.walisongo.ac.id

.

Ilustrasi : https://recoverynet.ca/

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...