Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan,
mengubah orang tak berpendirian menjadi
teguh berpendirian. Mengubah pengecut menjadi
pemberani. Mengubah penderitaan menjadi
Kebahagiaan. Cinta Juga membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam.
-Jallaludin Rumi-
Mungkin
kisahku ini sangat biasa dan tidak
menarik. Bukan hal yang heboh apalagi fantastis. Namun aku selalu
yakin bahwa setiap kisah perjalanan
hidup manusia ada hikmah yang bisa
diambil. Atau mungkin bisa juga menginspirasi. Semua
tergantung dari cara memberi makna
atas peristiwa ini. Dengan menuliskan
kisah ini, bisa menjadi kenangan
untuk generasi kita. Seperti tertulis “ Tatkala waktumu
habis tanpa karya dan pengetahuan
, lantas apa makna umurku ini?” -KH Wachid Hasyim-
Masa kecilku.
Aku
empat bersaudara, ibu dirumah saja
dan bapak adalah seorag guru. Jaman
“umar Bakri. Sebagian besar yang usianya seumuran denganku pastilah ingat perjuangan
guru ‘seorang Umar Bakri”. Sosok guru hebat dan penuh kesederhanaan. Gaji guru sangat kecil tak pernah bisa mencukupi untuk kebutuhan hidupnya. Akhirnya
dia harus cari penghasilan tambahan, sebagai ojek atau pekerjaan lain.
Nah
itulah aku saat itu. Bapak dan ibu
adalah ‘guruku’ di rumah. Mereka orang
yang demokratis dalam mendidik anak-anaknya. Dengan
nasehat-nasehatnya yang selalu kudengar.
Tak pernah ada cerita marah sepanjang
mendidik aku dan adik-adikku. Mereka
halus, tulus dan sayang pada kami. Itu yang membuat kami selalu taat dan
menghormati mereka. Bapak seorang
pekerja keras, untuk mencukupkan
hidup bapak mengajar di beberapa
sekolah. Setiap pagi bapak membawa bekal nasi karena biasa pulang sore hari. Gaji guru saat itu sangatlah kecil. Ibu kerja sawah, menanam padi dan sayur untuk menambah penghasilan. Ibu
mengolah tanah sawah sedikit warisan dari kakek yang almarhum. Puji Tuhan kami
hidup bahagia penuh cita dan kasih sayang.
Ketika aku
Sekolah Dasar ( SD )
Aku kecil usia 6 tahun sekolah di
sebuah kampung kecil. Saat itu tak ada taman
kanak-kanak. Jadi jika tangan kanan
direntangkan keatas sudah bisa pegang
telinga kiri, berarti itu adalah sudah saatnya masuk kelas 1 SD. SD Kanisuis Desa Kamal, kecamatan Mungkid, kabupaten
Magelang. Sekolah swasta katholik
yang sangat diminati
para penduduk di situ. Walaupun
kami minoritas tapi kami begitu
merasakan indahnya perbedaan. Tak pernah ada selisih, semua lancar, aman damai dan tenteram. Hidup
rukun saling menghormati.
Jarak
dari rumah ke sekolah sekitar 3 km.
Dengan kaki kosong,
kami berjalan rame-rame bersama teman-teman.
Begitu bahagia saat itu. Bahkan pulang sekolah sering mandi dikali besar yang kita
lewati setiap hari. Begitu lugunya saat itu. Lucu deh kalau kuingat masa
lalu. Guru-guru begitu perhatian dan sayang pada
kami. Mereka mendidik dengan keras, tertib
dan disiplin. Siswa amat sangat
‘takut’ dan menghormati guru. Jadi tak ada siswa yang nakal, pemalas apalagi melawan guru. Dari pada kena strap atau kena pukul, lebih
baik rajin, tekun dan jangan buat
masalah. Jika pak guru sudah menunjukkan kepalan tangan, itu sudah ketakutan
setengah mati. Puji Tuhan, yang kuingat aku dan adik-adik selalu langganan untuk pegang ranking di SD itu.
Bapak/ibu guru begitu mengingat hingga saat ini kalau kami mudik di kampung. Pak Dawud, Pak Rismantoro, Pak Yatno, Pak Supama, Ibu Sri dan Ibu Suryani. Sangat kuhafal hingga detik ini. Mereka sudah berumur diatas tujuh puhan tahun. Puji Tuhan , semua berumur panjang. Saya merantau di NTT sudah 31 tahun karena suami adalah orang Sumba Timur asli murni, putra daerah, kampung Meuromba ( Kucing hutan: Red).
Saat kududuk
di bangku SMP.
Untuk menuju
sekolah saya harus berjalan sekitar 7 km. Melewati 2 sungai dan berjalan menyusuri pematang
sawah. Sepatu dipegang. Setelah dekat sekolah baru dipakai. Setiap hari jalan setengah berlari. Sampai di mesjid
Kauman Muntilan, kami numpang cuci kaki
barulah pakai sepatu lengkap kaos kaki. Kami sekitar 7 orang setiap hari
bersama-sama menuju sekolah.
Sebagai kenangan, berkat setiap hari berlari kami bisa jadi juara lari
mewakili sekolah hingga dapat medali tingkat karesidenan. Itu adalah kenangan
yang tak akan lupa hingga kini.
SMP
kanisius Muntilan, itu nama sekolahku. Sekolah di depan gereja besar Santo
Antonius. Gereja bersejarah karena
pertama kali misionaris Katholik masuk ratusan tahun yang lalu. Kata
orang waktu itu adalah SMP yang favorit.
Guru-gurunya terbaik dan hebat. Penuh kasih sayang dan akrab dengan murid. Kami
biasa bercanda tawa tanpa jarak pada mereka. Kami merasa baik-baik saja. Seolah
tak ada siswa nakal saat aku sekolah
dulu. Semua manis-manis. Semua berbakti
pada guru. Benar saja bukti dari sekolah,
kami sungguh-sungguh belajar. Akhirnya
kini kita semua menjadi orang yang bermanfaat.
Hal
ini terbukti kami masih punya WA grup alumni SMP angkatan
tahun 82. Dari WAG kami merasa akrab dan
begitu dekat antara kami. Bisa saling
melengkapi, saling memberi, berbagi
bahkan menyampaikan curahan hati.
Biar kami jauh di mata tapi selalu dekat di hati. Kami tak pernah melewatkan kabar setiap hari. Minimal haloo.., selamat pagi rasanya hati jadi damai sejahtera. Kami punya
iuran, untuk ikatan. Punya
pertemuan saat-saat tertentu, walaupun
kami menyebar di seluruh Indonesia. Dari sabang sampai Merauke. Dari
Miangas hingga pulau Rote.
Bukti kebersamaan
kami, jika ada yang meninggal pasti ada wakil yang menghadiri. Sumbangan dari kami pasti selalu ada. Yang sakit, yang
meninggal kita jadi tahu. Keluarganya kami
saling mengenalnya. Cerita seru, lucu-lucu selalu membuat kami rindu. Bahkan baru-baru
ada teman yang rumahnya rubuh/ hancur
karena diterpa angin sumbangan
dari teman alumni sampai bisa membangunkan
rumah kembali lebih bagus.
Puji
Tuhan. Teman yang jadi pejabat
tinggi mereka rela menyumbang yang fantastis. Semua punya rasa sosial tinggi.
Itu semua berkat didikan guru. Bimbingan guru kami. Trimakasih guru, jasamu akan kami kenang selalu. Guruku jumlahnya
banyak waktu itu, yang masih segar dalam ingatanku adalah Pak Sartiman ( Kepala
Sekolah), pak Tamaji guru OR, pak Bianto, pak Ji, Ibu Trini, Ibu Sukanto, Pak
Bento, Ibu Naning, Ibu Trini ( ibu guru
matematika cantik dan yang paling baik hati), sehingga aku kuliah ambil
fakultas MIPA gegara selalu dapat nilai baik dari beliau. Alumni kami rutin pertemuan setahun sekali, sehabis lebaran kami selalu mengundang guru.
Kami memberi hadiah pada mereka. Bukan
besaran hadiah yang kami berikan, tapi cinta dan perhatian untuk guru yang harus kita kedepankan. Semoga Bapak
dan ibu guru diberikan umur yang panjang
dan sehat selalu .
SMAK
Tarakanita Stella Duce Yogyakarta Sekolahku.
Aku asli orang
kampung. Dulu bapak cerita punya cita-cita anaknya bisa sekolah di Jogya. Kota
pelajar dan sekolah itu yang ditunjuknya. Aku sudah diterima di SMA N 1
Muntilan tapi disuruh membatalkannya.
Padahal sudah bayar uang pangkal dan dapat seragam sekolah dan kaostim. Aku harus hijrah ke kota propinsi. Sebagai anak harus patuh pada orang tua. Apa yang
diharapkan orang tua jangan dikecewakan. SMA itu terlalu mewah dimataku. Sebagian besar siswanya adalah anak China. Nota bene Orang-orang yang kaya.
Murid seribuan semua perempuan. Sekolah
Favorit katanya, hingga kini masih terlihat juga gaungnya.
Dengan
menutup mata aku disuruh bapak ikut daftar di situ. Modal nekat aku untuk berani
mencoba ikut tes masuk . Puji Tuhan aku diterima. Nah giliran wawancara
tentang biaya. Wow.. jangan tanya. Ini yang namanya pungguk merindukan bulan.
Mana kita orang kampung seperti saya bis membayar uang sekolah yang mahal. Berkat belas kasihan Tuhan aku dapat keringanan, bapak adalah guru yang pintar bicara. Dalam
Wawancara bapak menyampaikan curahan
hati dan fakta kehidupan nyata kami. Karena iba, Suster kepala mengijinkan dan
berbelas kasih padaku. Akhirnya aku sekolah di SMA itu dengan biaya yang jauh
lebih murah dari teman-teman lainnya.
Ini yang namanya rejeki itu tak pernah tertukar.
Para
gurunya profesional. Berpengalaman dan hebat.
Murid-murid keren-keren, glamor maklumlah asli orang kota dan berada.
Aku yang asli kampung ini nyinyir, bernyali kecil bahkan pertama kali masuk aku
minder. Ternyata bayanganku salah.
Guru-guru begitu dekat dengan kami. Kami
sangat akrab dengan mereka. Apalagi setelah
saya ikut ekskul pramuka. Sering kegiatan di alam bebas bersama para guru. Jalan
bersama, pernah tidur bersama dan saling
cerita. Asyik lah pokoknya.
Jika
kami ada masalah atau ingin curhat bisa
ketemu suster di BK (Ruang bimbingan konseling).
Bisa ke wali kelas yang serasa orang tua. Atau ke guru tertentu yang kami
merasa dekat. Benar, guru adalah sahabat
yang baik. Guru adalah orang tua kita di sekolah. Guru yang membimbing, melatih
dan mendidik kita. Dari merekalah kita dibentuk. Guru : digugu dan ditiru. Apa
yang dilakukan guru akan ditiru oleh peserta didiknya. Trimakasih bapak ibu
guru SMA-ku yang baik hati yang sudah
banyak berjasa untukku hingga mengantar
aku sampai ke bangku kuliah. Ibu Suhartini yang centil seksi tapi baik
hati. Ibu Kireni guru prakarya yang membuat aku suka jahit sampai hari ini. Pak
Simatupang guru bahasa Jerman, Guru matematika ada 2 Suster dan 1 Bruder yang
mengajar kami ( Aljabar, geometri, aritmetima). Dan masih banyak guru yang tak bisa kusebut satu per satu. Kalau ingat
aku merasa rinduuu...sekali. Kadang kalau aku
pulang jawa, pasti kusempatkan
napak tilas untuk melihat SMA-ku dulu dan membayangkan hal indah yang pernah kulakukan saat itu. WA
grup juga ada, berkat Era digital semuanya bisa menjadi mudah, murah, meriah.
Jauh dimata dekat dihati.
Di saat Aku
Kuliah Di IKIP Sanata Dharma.
Aku anak pertama
dari empat bersaudara. Jadi ada 3 orang adikku. Mereka pasti semua ingin
kuliah, sementara bapak gaji pas-pasan.
Mengingat itu, aku akhirnya memutuskan kuliah jurusan matematika yang
ikatan dinas ambil pendidikan untuk jadi guru. Dengan alasan kalau guru itu
pasti akan laku. Cepat dapat kerja dan tak ada waktu nganggur. Adikku juga butuh biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang
lebih tinggi. Supaya adik-adikku juga
kebagian jatah dari gaji bapak yang
tak seberapa. Gaji harus bisa mencukupkan semuanya dengan adil merata.
Cerita
di tempat kuliah kita semua tahu. Dosen
bukan seperti guru SMA. Mereka mengharapkan mahasiswa mandiri. Mereka cuek dengan kita, bahkan mungkin mereka tak ada yang kenal
dengan kita. Kecuali kalau kita punya sesuatu
“kelebihan” atau “keanehan”, nah itu
dosen baru kenal kita. Apalagi aku ini bukan siapa-siapa, standar dan
tak punya kelebihan apa-apa. He he he.... Yang jelas mereka tetap sosok guru. Mereka berjasa mewujudkan cita-cita kita. Kita tak boleh melupakan jasa mereka. Pak Tutoyo, M.Sc
Rektorku saat itu. Trimakasih bapak ibu dosen, Trimakasih aku sudah lulus kuliah. Aku
akan menjemput masa depanku. Begitulah doaku saat itu.
Akhirnya, tak terasa habislah ceritaku. Cerita sederhana,
semoga bermanfaat. Semoga bisa dikenang
anak cucu saat penulisnya sudah tiada.
Mereka akan mengenang perjuangan nenek moyangnya. Tak perlu menjadi
Unicorn, cukuplah menjadi diri
sendiri. Semua kita pasti punya kisah yang berbeda.
Menarik atau tidak itu bukan
tujuannya. Yang terpenting kita bisa
menorehkan kisah kita lewat goresan pena. Tentunya agar terekam jejak kita
dalam tulisan agar dikenang selama-lamanya. Salam Literasi! Terus semangat
untuk menulis dan berkarya.
Pandemi
bukan hambatan untuk kita terus berkarya. Tulisan ini dibuat saat corona sedang menggoncang dunia. Saya
juga ikut terpapar karena diterjang
ganasnya corona. Dalam sakit aku menulis,
semoga ingat!. Trima kasih kini
sudah bisa beraktifitas kembali walau
terbatas. Semoga jangan bertambah lagi
korbannya. Tetap ingat prokes dan taati 5M (mencuci tangan dengan air yang mengalir, memakai
masker, menjaga jarak, kurangi mobilitas
dan mengurangi kerumunan). Semoga
Pandemi cepat berlalu.
Ledwina
Eti adalah nama facebook dan IG, nama
lengkap Ledwina Eti Wuryani Budi Astiwi, SPd. Suamiku Adi Ch. Muhu
dan anakku Marcel dan Anto. Guru matematika SMA Negeri 2 Waingapu Sumba Timur NTT. Selain sebagai pendidik juga
suka menulis di media masa, fb, you tube, koran juga majalah. Sudah
punya belasan Buku Antologi yang sudah
terbit ber-ISBN adalah Untaian Pelangi
Nusantara, Resolusi Saat Pandemi, Kidung
Rindu,Menuai Berkah Aksara, Dermaga hati dan lain-lain. Buku Solo : Kumpulan cerpen berjudul
‘Mengungkap Rahasia”, “Trik Jitu Menjadi Penulis Masa Kini”, “ Dari Goresan
Pena mengukir Prestasi” dan “Aku Bangga Menjadi Seorang penulis” Sekarang ini
saya tingggal di Jl. Trikora No: 11 Hambala, Waingapu, Sumba
Timur. NTT. Kode Pos: 87112. alamat email, ledwinaetiwuryani@gmail.com.
Dan ledwinaastiwi44@guru.sma.belajar.id.
No HP / WA 085 230 708 285. Fb dan
Instagram : Ledwina Eti. Blog : etiastiwi66.blogspot.com. Motto: Terus belajar dan
bisa bermanfaat untuk sesama.