Senin, 30 Agustus 2021

TERIMA KASIH GURUKU

 


Oleh : Ledwina Eti 

Cinta mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah  orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian. Mengubah pengecut menjadi  pemberani. Mengubah  penderitaan  menjadi

 Kebahagiaan. Cinta Juga membawa  perubahan-perubahan  bagi siang dan  malam.

-Jallaludin Rumi-

 

Mungkin kisahku ini sangat  biasa dan tidak menarik. Bukan hal  yang heboh  apalagi fantastis. Namun  aku selalu  yakin bahwa setiap kisah perjalanan  hidup manusia ada hikmah yang bisa  diambil.  Atau  mungkin bisa juga menginspirasi. Semua tergantung dari cara  memberi makna atas  peristiwa ini. Dengan menuliskan kisah ini, bisa menjadi  kenangan untuk  generasi  kita. Seperti tertulis “ Tatkala  waktumu  habis tanpa karya  dan pengetahuan , lantas apa makna  umurku ini?”  -KH Wachid Hasyim-

 

Masa kecilku.

Aku empat bersaudara,  ibu dirumah saja dan  bapak adalah seorag guru. Jaman “umar Bakri. Sebagian  besar  yang usianya  seumuran denganku pastilah ingat perjuangan guru ‘seorang Umar Bakri”. Sosok guru hebat dan penuh kesederhanaan.  Gaji guru sangat kecil  tak pernah bisa  mencukupi untuk kebutuhan hidupnya. Akhirnya dia harus cari penghasilan tambahan, sebagai ojek atau pekerjaan lain.

Nah itulah aku  saat itu. Bapak dan ibu adalah ‘guruku’ di rumah. Mereka  orang yang  demokratis  dalam mendidik anak-anaknya. Dengan nasehat-nasehatnya yang  selalu kudengar. Tak pernah ada cerita  marah sepanjang mendidik aku dan adik-adikku. Mereka  halus, tulus dan sayang pada kami. Itu yang membuat kami selalu taat dan menghormati  mereka. Bapak seorang pekerja keras,  untuk mencukupkan hidup  bapak mengajar di beberapa sekolah. Setiap pagi bapak membawa bekal nasi karena biasa pulang sore hari.  Gaji guru saat itu  sangatlah kecil. Ibu  kerja sawah, menanam  padi dan sayur untuk menambah penghasilan. Ibu mengolah tanah sawah sedikit warisan dari kakek yang almarhum. Puji Tuhan kami hidup bahagia penuh cita dan kasih sayang.

 

 



 

Ketika aku Sekolah Dasar ( SD )

Aku kecil  usia 6 tahun  sekolah di sebuah  kampung kecil. Saat  itu tak ada taman kanak-kanak.   Jadi jika tangan kanan direntangkan  keatas sudah bisa pegang telinga  kiri, berarti itu adalah  sudah saatnya masuk kelas 1 SD. SD Kanisuis  Desa Kamal, kecamatan Mungkid, kabupaten Magelang.  Sekolah swasta  katholik  yang  sangat  diminati  para penduduk di situ.  Walaupun kami  minoritas tapi kami begitu merasakan indahnya perbedaan. Tak pernah ada selisih,  semua lancar, aman damai dan tenteram. Hidup rukun saling menghormati.

Jarak dari rumah ke sekolah  sekitar 3 km. Dengan kaki kosong, kami berjalan rame-rame bersama teman-teman. Begitu bahagia  saat itu.  Bahkan pulang sekolah sering mandi dikali besar yang kita lewati setiap hari. Begitu lugunya saat itu. Lucu deh kalau kuingat masa lalu.   Guru-guru begitu perhatian dan sayang pada kami. Mereka  mendidik dengan keras,  tertib  dan disiplin. Siswa  amat sangat ‘takut’  dan menghormati guru.  Jadi tak ada siswa yang nakal, pemalas  apalagi melawan guru. Dari  pada kena strap atau kena pukul, lebih baik  rajin, tekun dan jangan buat masalah. Jika pak guru sudah menunjukkan kepalan tangan, itu sudah ketakutan setengah mati. Puji Tuhan, yang kuingat aku dan adik-adik selalu langganan  untuk pegang ranking di SD itu.

Bapak/ibu guru begitu mengingat  hingga saat ini kalau kami mudik di kampung. Pak Dawud, Pak Rismantoro, Pak Yatno, Pak Supama, Ibu Sri dan Ibu Suryani. Sangat kuhafal hingga detik ini. Mereka  sudah berumur diatas tujuh puhan tahun. Puji Tuhan , semua berumur panjang. Saya merantau di NTT sudah 31 tahun karena suami adalah orang Sumba Timur asli murni, putra daerah, kampung Meuromba ( Kucing hutan: Red). 

Saat kududuk di bangku SMP.

Untuk menuju sekolah saya harus berjalan sekitar 7 km. Melewati  2 sungai dan berjalan menyusuri pematang sawah. Sepatu dipegang.  Setelah  dekat sekolah baru dipakai. Setiap hari  jalan setengah berlari. Sampai di mesjid Kauman Muntilan, kami numpang cuci kaki  barulah pakai sepatu lengkap kaos kaki. Kami sekitar 7 orang  setiap hari  bersama-sama  menuju sekolah. Sebagai kenangan, berkat  setiap  hari berlari kami bisa jadi juara lari mewakili sekolah hingga dapat medali tingkat karesidenan. Itu adalah kenangan yang tak akan lupa hingga kini.

SMP kanisius Muntilan, itu nama sekolahku. Sekolah di depan gereja besar Santo Antonius. Gereja bersejarah karena  pertama kali misionaris Katholik masuk ratusan tahun yang lalu. Kata orang  waktu itu adalah SMP yang favorit. Guru-gurunya terbaik dan hebat. Penuh kasih sayang dan akrab dengan murid. Kami biasa bercanda tawa tanpa jarak pada mereka. Kami merasa baik-baik saja. Seolah  tak ada siswa nakal saat aku sekolah dulu.  Semua manis-manis. Semua berbakti pada guru. Benar saja  bukti dari sekolah, kami  sungguh-sungguh belajar. Akhirnya kini  kita semua  menjadi orang yang bermanfaat.

Hal ini terbukti   kami masih punya WA grup alumni SMP angkatan tahun 82. Dari WAG kami merasa akrab  dan begitu dekat antara kami. Bisa saling  melengkapi, saling memberi, berbagi  bahkan  menyampaikan curahan hati. Biar kami jauh di mata tapi selalu dekat di hati. Kami tak pernah  melewatkan kabar setiap hari. Minimal  haloo.., selamat pagi  rasanya hati jadi damai sejahtera. Kami punya iuran,  untuk ikatan. Punya pertemuan  saat-saat tertentu, walaupun kami menyebar di seluruh Indonesia. Dari sabang sampai Merauke. Dari Miangas  hingga pulau Rote.

Bukti kebersamaan kami, jika ada yang meninggal pasti ada wakil yang  menghadiri. Sumbangan  dari kami pasti selalu ada. Yang sakit, yang meninggal kita jadi tahu. Keluarganya kami  saling mengenalnya. Cerita seru, lucu-lucu  selalu membuat kami rindu. Bahkan baru-baru ada teman yang  rumahnya  rubuh/ hancur  karena diterpa angin  sumbangan dari  teman alumni sampai bisa membangunkan rumah kembali lebih bagus.

Puji Tuhan.  Teman yang jadi pejabat tinggi  mereka rela menyumbang yang  fantastis. Semua punya rasa sosial tinggi. Itu semua berkat didikan guru. Bimbingan guru kami. Trimakasih guru,  jasamu akan kami kenang selalu. Guruku jumlahnya banyak waktu itu, yang masih segar dalam ingatanku adalah Pak Sartiman ( Kepala Sekolah), pak Tamaji guru OR, pak Bianto, pak Ji, Ibu Trini, Ibu Sukanto, Pak Bento,  Ibu Naning, Ibu Trini ( ibu guru matematika cantik dan yang paling baik hati), sehingga aku kuliah ambil fakultas MIPA gegara selalu dapat nilai baik dari beliau. Alumni  kami rutin pertemuan setahun sekali,  sehabis lebaran kami selalu mengundang guru. Kami memberi hadiah pada mereka. Bukan  besaran hadiah yang kami berikan, tapi cinta dan perhatian untuk  guru yang harus kita kedepankan. Semoga Bapak dan ibu  guru diberikan umur yang panjang dan sehat selalu .

 

SMAK Tarakanita Stella Duce Yogyakarta Sekolahku.

Aku asli orang kampung. Dulu bapak cerita punya cita-cita anaknya bisa sekolah di Jogya. Kota pelajar dan sekolah itu yang ditunjuknya. Aku sudah diterima di SMA N 1 Muntilan tapi  disuruh membatalkannya. Padahal sudah bayar uang pangkal dan dapat seragam sekolah dan kaostim.  Aku harus hijrah ke kota propinsi. Sebagai  anak harus patuh pada orang tua. Apa yang diharapkan orang tua jangan dikecewakan. SMA itu  terlalu mewah dimataku. Sebagian besar  siswanya adalah  anak China. Nota bene Orang-orang yang kaya. Murid  seribuan semua perempuan. Sekolah Favorit katanya, hingga kini masih terlihat juga gaungnya.

Dengan menutup mata  aku disuruh bapak  ikut daftar di situ. Modal nekat aku  untuk berani  mencoba ikut tes masuk . Puji Tuhan aku diterima. Nah giliran wawancara tentang biaya. Wow.. jangan tanya. Ini yang namanya pungguk merindukan bulan. Mana kita  orang kampung  seperti saya bis membayar  uang sekolah yang mahal. Berkat  belas kasihan Tuhan  aku dapat keringanan, bapak  adalah guru yang pintar bicara. Dalam Wawancara  bapak menyampaikan curahan hati dan fakta kehidupan nyata kami. Karena iba, Suster kepala mengijinkan dan berbelas kasih padaku. Akhirnya aku sekolah di SMA itu dengan biaya yang jauh lebih murah dari  teman-teman lainnya. Ini yang namanya rejeki itu tak pernah tertukar.

Para gurunya profesional. Berpengalaman dan hebat.  Murid-murid keren-keren, glamor maklumlah asli orang kota dan berada. Aku yang asli kampung ini nyinyir, bernyali kecil bahkan pertama kali masuk aku minder. Ternyata  bayanganku salah. Guru-guru  begitu dekat dengan kami. Kami sangat akrab dengan mereka. Apalagi setelah  saya ikut ekskul pramuka. Sering kegiatan  di alam bebas bersama para guru. Jalan bersama, pernah tidur bersama dan  saling cerita. Asyik lah pokoknya.

Jika kami ada masalah atau ingin curhat  bisa ketemu  suster di BK (Ruang bimbingan konseling). Bisa ke wali kelas yang serasa orang tua. Atau ke guru tertentu yang kami merasa dekat.  Benar, guru adalah sahabat yang baik. Guru adalah orang tua kita di sekolah. Guru yang membimbing, melatih dan mendidik kita. Dari merekalah kita dibentuk. Guru : digugu dan ditiru. Apa yang dilakukan guru akan ditiru oleh peserta didiknya. Trimakasih bapak ibu guru SMA-ku  yang baik hati yang sudah banyak berjasa untukku hingga mengantar  aku sampai ke bangku kuliah. Ibu Suhartini yang centil seksi tapi baik hati. Ibu Kireni guru prakarya yang membuat aku suka jahit sampai hari ini. Pak Simatupang guru bahasa Jerman, Guru matematika ada 2 Suster dan 1 Bruder yang mengajar kami ( Aljabar, geometri, aritmetima). Dan masih banyak guru  yang tak bisa kusebut satu per satu. Kalau ingat aku merasa rinduuu...sekali. Kadang kalau aku  pulang jawa, pasti kusempatkan  napak tilas untuk melihat SMA-ku dulu dan membayangkan  hal indah yang pernah kulakukan saat itu. WA grup juga ada, berkat  Era digital  semuanya bisa menjadi mudah, murah, meriah. Jauh dimata dekat dihati.

 



Di saat Aku Kuliah Di IKIP Sanata Dharma.

Aku anak pertama dari empat bersaudara. Jadi ada 3 orang adikku. Mereka pasti   semua ingin kuliah, sementara bapak gaji pas-pasan.  Mengingat itu, aku akhirnya memutuskan kuliah jurusan matematika yang ikatan dinas ambil pendidikan untuk jadi guru. Dengan alasan kalau guru itu pasti akan laku. Cepat dapat kerja dan tak ada waktu nganggur. Adikku  juga butuh biaya  untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Supaya adik-adikku juga  kebagian jatah dari gaji bapak yang  tak seberapa. Gaji harus bisa mencukupkan semuanya dengan adil merata.

Cerita di tempat kuliah kita semua tahu. Dosen  bukan seperti guru SMA. Mereka mengharapkan mahasiswa mandiri. Mereka  cuek dengan kita,  bahkan mungkin mereka tak ada yang kenal dengan kita. Kecuali kalau kita  punya sesuatu “kelebihan” atau “keanehan”, nah itu  dosen baru kenal kita. Apalagi aku ini bukan siapa-siapa, standar dan tak punya kelebihan apa-apa. He he he.... Yang jelas mereka tetap sosok  guru. Mereka berjasa  mewujudkan cita-cita kita. Kita tak  boleh melupakan jasa mereka. Pak Tutoyo, M.Sc Rektorku saat itu.  Trimakasih bapak ibu  dosen, Trimakasih aku sudah lulus kuliah. Aku akan menjemput masa depanku. Begitulah doaku saat itu.



Akhirnya,  tak terasa habislah ceritaku. Cerita sederhana, semoga bermanfaat.  Semoga bisa dikenang anak cucu saat  penulisnya sudah tiada. Mereka akan mengenang  perjuangan  nenek moyangnya. Tak perlu menjadi Unicorn,  cukuplah menjadi diri sendiri.  Semua kita  pasti punya kisah  yang berbeda.  Menarik atau tidak itu  bukan tujuannya. Yang terpenting  kita bisa menorehkan kisah kita lewat goresan pena. Tentunya agar terekam jejak kita dalam tulisan agar dikenang selama-lamanya. Salam Literasi! Terus semangat untuk menulis dan berkarya.

Pandemi bukan hambatan untuk kita terus berkarya. Tulisan ini dibuat  saat corona sedang menggoncang dunia. Saya juga ikut  terpapar karena diterjang ganasnya corona. Dalam sakit aku menulis,  semoga ingat!. Trima kasih  kini sudah bisa  beraktifitas kembali walau terbatas. Semoga jangan  bertambah lagi korbannya. Tetap ingat prokes dan taati 5M  (mencuci tangan dengan air yang mengalir, memakai masker, menjaga jarak,  kurangi mobilitas dan mengurangi kerumunan). Semoga Pandemi cepat berlalu.

 

 

 

 



Ledwina Eti adalah nama facebook dan IG,  nama lengkap Ledwina Eti Wuryani Budi Astiwi, SPd. Suamiku Adi Ch. Muhu dan  anakku Marcel dan Anto.  Guru matematika SMA Negeri 2 Waingapu  Sumba Timur NTT. Selain sebagai pendidik  juga  suka  menulis di media  masa, fb, you tube, koran juga majalah. Sudah punya belasan  Buku Antologi yang sudah terbit ber-ISBN  adalah Untaian Pelangi Nusantara, Resolusi Saat Pandemi,  Kidung Rindu,Menuai Berkah Aksara, Dermaga hati dan lain-lain.  Buku Solo : Kumpulan cerpen berjudul ‘Mengungkap Rahasia”, “Trik Jitu Menjadi Penulis Masa Kini”, “ Dari Goresan Pena mengukir Prestasi” dan “Aku Bangga Menjadi Seorang penulis” Sekarang ini saya tingggal  di  Jl. Trikora No: 11 Hambala, Waingapu, Sumba Timur. NTT. Kode Pos: 87112. alamat email, ledwinaetiwuryani@gmail.com. Dan ledwinaastiwi44@guru.sma.belajar.id.  No HP / WA 085 230 708 285. Fb dan Instagram : Ledwina Eti. Blog : etiastiwi66.blogspot.com. Motto: Terus belajar dan bisa bermanfaat untuk sesama.

 

 

 

Rabu, 25 Agustus 2021

Puisi Telelet Antologi



  

KRITIS DITERJANG CORONA

Oleh : Ledwina Eti

 

Kusimpan goresan ini

Mengukir sebuah karya seni

Di sebuah puisi telelet terkini.

 

Kita tak pernah tahu dari yang Esa

Aku tak tahu pula umur kita tersisa

Hanya bisa pasrah pada yang kuasa

PadaNya saja kita  ungkapkan rasa.

 

Sedih, perih,  kini suamiku terpapar

Aku, anak-anakku juga terkapar

Mencekam pandangan nanar

Anggota badan terasa onar

Wajah  layu tak bersinar.

 

Sedih,sakitnya luar biasa

Badan letih rasa tersiksa

Harapan sirna,  putus asa

Ingin marah tapi tak kuasa

Oh TuhanKU   aku harus bisa

Semangat  kuat dan sentosa.

 

Derita ini membuat aku menangis

Apalagi saat badan lunglai dan kritis

Gelisah, susah tidur hanya meringis

Menahan sakit hingga hati terkikis

Sesak nafasnya hampir habis.

 

Ujian,  diterimalah dengan rela

Iklas hati jangan buat tercela

Dunia menghadapi pratala

Sanggupkan menolak bala.

 

Refleksi dari hati terdalam

Agar tak rasa dalam kelam

Ungkapan syukur dan salam.

 

 

Waingapu, 23  Agustus 2021

 

 


 

 

 

 

 

HIDUP DITANGAN TUHAN

OLEH : Ledwina Eti

 

Saat  hati terasa  tak tenang

 Tuhan terasa jauh di awang-awang

Damai  tak ada, apalagi kasih sayang.

 

Hati  seolah terasa kering kerontang

Pikiran  tak nyaman terasa melayang

Tak tentu arah yang jelas jadi tegang

Roh jahat selalu terbayang-bayang.

 

Terasa hidup hampa tak bermakna

Hidup percuma dan  tak ada guna

Cita-cita, harapan semua sirna

Hidup seolah tak berwarna

Hambar tak ada pesona.

 

Aku mencoba  kuat

Menatap  penuh semangat

Menjadi orang beriman dan taat

Bersujud kepada Tuhan agar selamat

Berdoa, berpengharapan  sebagai umat

Untuk hidup kekal, bekal menuju akhirat.

 

Bahagia jika  hidup dalam Kasih Tuhan

Hati sukacita  dan  rasanya selalu nyaman

Sejahtera, bahagia dan  penuh kedamaian

Penuh syukur,  tenang dalam pengharapan

Hanya kepadaMU yang selalu kurindukan.

 

Saat kudengar sangkakala menggema

Suara kecapi turut berbunyi bersama

Dengan kedua tangan sujud kuterima

Tak pandang  kita semua sama.

 

Trimakasih bisa hidup dalam Dia

Damai sejahtera membuatku bahagia

Senyum penuh syukur dan hati  selalu ceria.

 

 

 

 


Waingapu, 24  Agustus 2021

 

 

 

 

 

IBUKU

Oleh  : Ledwina Eti

 

Ibu  lahir ke dunia  tanggal  tujuh belas

Bulan Agustus 45  saat Indonesia terbebas

Saat pahlawan lega tugasnya tuntas.

 

Lahir bayi kecil mungil yang tangguh

 Rasa merdeka membuat hati teguh

Gembira membuat bugar tubuh

Lahir  selamat tak mengeluh.

 

Panjang umur diberkati

Terus bersyukur dihati

Tersenyum dengan pasti

Saudara menaruh simpati

Kepadamu ibu aku kan berbakti.

 

Kini hatimu dipenuhi dengan cinta

Tak  lupa memberi nasehat dan cerita

Membuat kita semua ada suka cita

Rasa damai sejahtera setiap kita

Terpancar aura terlihat nyata

Hati sejuk teduh dan tertata.

 

Ibu mengajariku  berbagi

Mandiri  dan jangan grogi

Rendah hati tapi bersinergi

Agar bisa hidup smart berenergi

Tak boleh sombong apalagi unjuk gigi.

 

Keluarga kami dibuatnya selalu ceria

Saling melengkapi dan saling setia

Hingga  terwujud keluarga bahagia

Sebagai warga negara Indonesia.

 

Merdeka!!  Kusampaikan Selamat

Ibuku dan ibu pertiwi agar  tetap  Sehat

Untuk Indonesia maju dan  penuh semangat.

 

 


 

 

Waingapu, 17  Agustus 2021




 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KETIKA UJIAN ITU DATANG 1

 


 

Akhirilah setiap hari dengan pikiran yang positif. Tidak peduli  seberapa beratnya harimu, besok adalah kesempatan  baru yang membuat segalanya lebih baik.

 

Pertengahan juni  hingga tanggal 11 juli 2021 adalah kenaikan kelas TK,SD,SMP dan SLTA  untuk seluruh Indonesia. Para guru dan murid  libur sekolah. Sudah 3 tahun  lebih saya tidak mudik. Orang tua   sisa ibu  saja. Bapak sudah meninggal 12 tahun yang lalu. Hati begitu rindu  untuk  makan  sayur masakan ibu. Rindu sawahku, rindu  gudeg makanan kesukaanku. Hati ini  begitu  merindu  untuk  sekedar  napak tilas  masa kecilku dulu.

Masa indah  tinggal di kampung halaman  bersama  orang tua, dan adik-adiku. Duluuu....bercanda, saling mengganggu. Rindu untuk ke tempat kubur para leluhur yang kuyakini  dari doa untuk mereka  akan membawa berkah bagiku dan keluargaku.

Untuk menghemat  biaya, aku rencana  naik kapal Egon bersama Marcel anakku yang pertama. Hati sudah berbunga-bunga membayangkan  rumah kelahiranku, tempat aku dibesarkan oleh orang tuaku. Aku  tinggal dirantau sudah lebih dari 30 tahun. Sebagai  guru surat  ijin sudah  kulayangkan kepada atasanku.  Dengan penuh suka  cita  siap  melaju esok hari dengan kapal laut.  Syarat  sudah  terpenuhi, yaitu bukti vaksin  1 dan 2 sudah punya dan bukti PCR sudah siap.

Tas dan pembawaan sudah siap,  bekal  untuk makan  di kapal pun sudah dimasak. Perjalanan untuk 2 hari.  Sambal goreng kering kacang dan tempe campur ikan teri. Kesukaan anakku. Tak lupa ikan asin  1 dos produk Mangili pesanan  Anto anakku yang masih kuliah di Jogya.  Dengan  bekal semangat membara, kesehatan yang cukup, siap untuk berangkat esok pagi dini hari.

Sore itu.....tiba-tiba kubaca WA dari adikku yang di Jakarta, mengabarkan  Anto anakku terpapar corona. Begitu juga  Ibu, Dik Rudi  adikku yang bungsu, istri dan  Evan putra mereka. Ya Tuhan.  Hati ingin menjerit. Saat itu  saya memang dengar kabar kalau di provinsi Jawa Tengah orang yang terpapar paling tinggi. Zona merah parah. Orang-orang tidak  boleh keluar, yang meninggal banyak sekali.

Di desaku,  adikku bilang  mereka yang terpapar berjamaah. Kutanya, apa itu maksudnya. Jadi mereka  rame-rame kena  covid. Mas Joko kakak sepupu sakit parah,  badan yang kekar bisa turun hingga 14 kg dalam seminggu. Dik Anas  adik sepupuku orang yang  selalu optimis dalam hidup, rajin berolah raga istrinya dokter pula, meninggal karena covid-19. Belum cerita – cerita lain yang mendukakan hati dari para tetangga yang tak bisa kusebut satu persatu.

Betapa  menyedihnya dengar kabar itu.  Akhirnya adik iparku, dik Ita  dari Jakarta  menyarankan aku ‘tidak boleh’  datang ke Jawa. Bahaya! Bagaimana aku bisa ke Jawa?. Jika  nekat artinya  menjerumuskan diri. Serumah 'utuh' ‘ semua positif. Anakku yang di Jogya juga positif. Apa mungkin aku datang?

Dengan  badan terasa lemas aku mengurungkan  untuk  mudik. Sedih  dengar cerita anakku,  dia kos sendirian, badannya panas, kesulitan bernafas, nyeri dada atau rasa tertekan di dada, deman tinggi selama 4 hari. Makan tak  enak, tidur tidak bisa. Tenggorokan radang dan sakit sekali katanya. Jika menelan makanan juga sakit. Rasa  makanan semua hambar tak ada yang enak. Tambah  batuk-batuk  kering  tapi keluar dahak yang berwarna  coklat. Dia terasa parah karena  belum vaksin. Sebagai mahasiswa di Jogya mungkin belum dapat kesempatan vaksin.

Mamaa... dia  mengeluh padaku. Sebagai  mama  aku hanya bisa  menangis,  tak sanggup  menerima kenyataan yang ada.  Aku hanya  bisa menghibur, berdoa dan terus  berdoa,  semoga Tuhan sudi mendengakan kami. Apa yang  harus kukatakan padanya, aku seperti orang linglung. Apalagi dengar kabar   teman  kuliah dari anakku meninggal. Hal itu menambah kesedihanku.  Pagi-pagi dia ke rumah sakit Bethesda.  Dengan badan lemah dia paksakan diri untuk  rapit test dengan ongkos Rp 900 ribu.  Besar sekali,  jatah kiriman anak satu bulan. Ternyata benar dia  positif. Tak apalah, kesehatan jauh  lebih penting,  kuhibur anakku.  Akhirnya Tante Ita yang  kirim uang untuk membelikan obat-obatan dan menyambung hidup berikut. Syukurlah. Trimkasih Tante.

Untung ada adikku yang begitu perhatian padanya. Dik Rita dan di Ita adik iparku yang tinggal di Jakarta adalah keluarga yang baik sekali. Merekalah yang  selalu mensuport. Mengirimkan obat, vitamin  dan berbagai hal  untuk kesembuhan Anto dan keluarga di Muntilan. Bahkan mereka membelikan obat cina yang mahal untuk semua. Aku hanya bisa pasrah walau hati selalu  merasa kuatir dan was-was tiada henti. Apalagi kalau dengar  berita dan baca di medsos yang meninggal  semakin banyak setiap hari.

Corona menerjang  tak pandang bulu. Miskin kaya, tua muda,  apapun profesinya. Sediiih sekali!!.  Tak henti-hentinya saya berdoa dari NTT untuk keluarga yang di Jawa. Tuhan,  mampukan  kami  menerima ujian besar ini. Benar-benar  kami  tak berdaya. Setiap hari kunyalakan  lilin, kudaraskan doa dengan tangis dan air mata. Di Kos  anak saya ‘sendirian’. Merasakan ganasnya serangan  corona .  Mau minta tolong siapa?. Badan deman, panas tinggi, semua dirasakan dan diatasi sendiri. Mau keluar tak berani. Ibu kos tak boleh tahu. Jika  ia  lapor  pastinya akan diusir dari kos, jangan sampai nanti menularkan yang lain. Akhirnya dia menahan sakitnya sendiri tanpa minta bantuan  orang-orang di sekitar.

Berbeda  cerita yang di rumah ibu.  Semua membuatnya sedih, Sedih. Peristiwa ini  benar-benar membuat sesak di dada. Jantung bagai  terlepas dari tempatnya.  Belum suamiku tercinta sementara  sakit jantung  yang harusnya tak boleh  banyak berpikir. Tak boleh  stress. Tambah lagi  di Muntilan yang semuanya terpapar  harus isolasi mandiri. Mereka berkabung di rumah. Semuanya badan lemah,  panas tinggi,  batuk-batuk dan tak bisa beraktifitas. Ibu punya riwayat asma, ini yang membuat kami selalu kawatir.

Tapi beruntung yang di kampung.  Penduduk setempat yang tak terpapar  dengan suka rela mereka  mengirimkan  makan dan minun setiap hari. Sungguh berhati malaikat mereka itu. Saat  serumah tak berdaya karena terpapar, Tuhan mengutus  orang baik  di sekitar rumah untuk  memberi bantuan. Sebagai keluarga, kami dari jauh hanya bisa mengucapkan terimakasih  yang berlimpah atas kebaikan mereka .

Waktu terus berjalan. Hari-hari dilalui dengan kelam. Doa  selalu didaraskan disetiap kesempatan. Banyak orang sehat dengan caranya sendiri memberikan bantuannya.  Mengadakan menyemprotan. Mengirimkan disinfektan, memberi mi, telur dan banyak bantuan lain.  Trimakasih Tuhan  untuk tangan-tangan kasih Tuhan  yang rela mengulurkan tangannya bagi yang menderita.

Lain lagi cerita adikku di Jakarta. Dik Rita adikku yang kedua,  Yang tinggal di Griya Bintara . Dua anaknya  adalah dokter, yang satu  baru selesai wisuda S.ked. dan yang satu sudah praktek di puskesmas Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Dokter Devi, cerita bahwa dia bersama beberapa rekan kerjanya juga positif. Begitu panik mamanya. Mereka yang selalu memberi nasehat penguatan, penghiburan kepada orang lain termasuk  saudara di Muntilan dan Jogya, sekarang giliran dia sendiri yang  terpapar.

Sedih  dengarnya. Obat Cina yang  seperti diberikan Anto  anakku, ternyata  habis diperedaran. Padahal obat itu  yang meyakinkan untuk menyembuhkan. Mamanya cari-cari diberbagai  penawaran online, semuanya habis stok. Kami semua hanya  bisa  memberi penguatan dan  doa. Memotivasi supaya  jangan terlalu panik. Devi cerita bahwa setiap hari  5 orang yang meninggal, saya  agak takut juga, katanya. Kata dr Devi  yang  kelihatan pasrah tak berdaya.

Adikku nomor 3  yang tinggal di Halim , jl. Baliraya , mereka  juga tak lepas  dari serangan ganasnya Corona. Jakarta Zona merah terus. Kabar lagi mengejutkan, mama dari dik Ita Positif Covid, karena komorbit beliau sampai tak sadarkan diri akhirnya langsung masuk ICU. Tiga hari kemudian meninggal. Sedih sekali. Kita semua masing-masing diuji dengan datangnya pandemi ini. Belum  sembuh yang satu  terpapar lagi yang  lain. Tak  satupun yang  terlewatkan, kita bukan hanya jadi penonton, tapi  benar-benar kita merasakan sakitnya. Merasakan penderitaannya. Tangisan dimana-mana , termasuk di dalam rumah saya sendiri.

Tanggal 20 Mei Ibu Mertin , istri dari camat kota meninggal  karena covid-19. Ceritanya sedih. Suami yang seorang pejabat dengan setia  selalu menemani sejak  sakit hingga meninggal dunia. Setelah Istri meninggal mungkin beliau depresi, sakit dan  sesak nafas hingga tidak pernah bisa tidur  sejak sang istri meninggal (2 bulan).  Tak ada  hujan tak ada angin, tiba-tiba juga dengar pak camat sendiri yang meninggal mendadak. Kami sebagai rakyatnya   turut  mendoakan semoga diampuni segala dosanya sehingga  mendapat tempat yang layak di Sorga. Kini Anaknya Varel dan Vanya jadi yatim piatu.

Sudah 2 minggu Bapak (suami) mengeluh  badannya  meriang.  Bapak seorang pengawas. Dia sendirian tanpa ada teman pengawas lain di kabupaten Sumba Timur. Jadi  merangkap sebagai koordinator, sekaligus sebagai anggota. Ditemani 1 orang pak Erik sebagai stafnya.  Walau sakit dia nekat saja pergi kantor setiap hari. Sudah  4 kali bapak batal vaksin  karena kondisi yang tidak memugkinkan. Pertama tensi 180, kedua  tensi  masih  tinggi ditambah deman, ketiga  badan lemas, vaksin ke-4 saking  lamanya antri di kodim hingga  malam akhirnya batal lagi.

Rencana mau pergi ke kampung Tanarara ( 60 km ) dari rumah untuk vaksin, tiba-tiba  badan drop. Cepat-cepat  kami menuju RSU Emanuel. Tahun 2019 bapak  operasi jantung ( Bentall Procedural = ganti katup jantung). Artinya bapak  ada komorbit. Benar saja hasil antigennya positif. Badan lemas tak berdaya, batuk kering semakin menjadi-jadi. Nafassesak,  nyeri di dada dan hilang kemampuan  berbicara  atau bergerak tambah  lagi diare.   Tapi dokter tidak menyarankan  bapak opname, akhirnya kami pulang.

Beruntung kami  banyak saudara yang paramedis dari dokter hingga perawat, jadi  curhat di grup keluarga semua bisa bantu memantau memberi solusi. Kami beli alat tensi, ada yang  meminjami Oksimeter  dan  pengukur  suhu tubuh. Syukurlah. Begitu banyak teman-teman peduli pada kami.  Ada yang antar makan , buah, makanan kecil, madu, vitamindan lain-lain, hingga tidak mampu makan. Kami jadi terharu  atas kebaikan teman-taman. Ingin menangis, ternyata banyak sekali orang yang menyayangi kami.

Banyak sekali yang mendoakan keluarga kami. Kami tinggal 14 orang, bersama anak-anak keluarga yang sekolah. Namun bapak kondisi paling parah karena selain belum  vaksin  , komorbit pula.Bapak empat kali gagal vaksin lantaran tensi selalu tinggi, jadi  tertunda terus, alhasil  akhirnya terserang ganasnya covid-10. Kami yang lain sudah vaksin jadi walaupun positif sudah ada anto bodi, kami  tetap sehat. Kami termasuk  OTG ( orang tanpa gejala).

Banyak  masukan-masukan dari mereka, nasehat-nasehat yang harus  saya lakukan selama mengurus bapak isoman di rumah. 5 hari berjalan lancar. Obat yang  dibeli adalah Vit-D3, Vit-B kompleks, Vit C1000  , Paracetamol, zinc sulfate Motnohydrate dan Acetylcystelne ( obat batuk). Dan obat jantung yang diminum seumur hidup juga tak ditinggalkan, yaitu Simarc, Ramipril , furosemide, Bisoprolol dan  spironolaktone. Saya sampai hafal nama-nama obat karena harus diminum setiap hari. Ada obat  cina yang dikirim adaik di Jakarta ‘lianhua’ tapi belum berani dinimumkan. Perkembangan keadaan bapak terus saya catat.  Ternyata  bapak semakin drop  tambah  lagi tak mau makan. Badan  terasa panas tetapi bapak bilang dingin hingga pakai 2 lapis selimut tebal. Saturasi 80, tensi 85/55 dan suhu tubuh 38,5.

Saat itu  pikiran saya mulai panik. Pikiran tak karuan, pandangan bapak kosong. Kutelpon anakku, tetanggaku 2 yang perawat, kusampaikan  keadaan bapak. Semua datang  lengkap dengan pakaian APDnya.  Bapak  mulai lemah tak berdaya. Tapi  bapak bersikeras tak mau ke rumah  sakit. Bapak  macam trauma ke rumah sakit umum, entah  apa yang dipikirkan. Kutahan menangis walau sudah sesak didadaku. Semua teman-teman yang datang menguatkanku.

Mereka mulai berdatangan merayu bapak supaya mau ke rumah sakit umum. Bapak perlu oksigen, infus dan lain-lain. Dirumah tak ada fasilitasi itu. Sampai  anakku  telpon tempat penyewaan  oksigen, tapi itupun kosong.  Dengan berbagai cara kami memohon-mohon supaya bapak mau pergi ke rumah sakit, sampai dokter dari rumah sakit rela datang ke rumah ikut membujuk bapak! Bapak tetap tidak mau. Dengan  tangis dan  memohon-mohon  akhirnya  bapak menganggukkan kepala tanda setuju. Puji Tuhan. Sebenarnya  ambulan juga siap  untuk menjemput bapak,  tapi  syukurlah  bapak  bisa  dipapah dan akhirnya  mau pakai mobil sendiri.  Di dalam mobil  saya  hanya  bisa berdoa. Cemas, was-was, takut, campur aduk berkecamuk di dada saya.  Tuhan  semoga  semua dilancarkan.  Aku tak tahan  melihat bapak yang  tak berdaya, lesu, kondisinya sangat lemah.

Sampai di rumah sakit, sudah siap dijemput  dengan kursi roda. Dengan sigap dan  cekatan para  perawat menghampiri kami. Akhirnya  kami di bawa ke rung anggrek.  Ya Tuhan,  suasananya begitu mencekam. Sebelah ruang persis ruang adalah kamar jenazah. Saat itu jam 11 malam. Suasana sepi sekali, menyayat hati.  Peraturan  yang terpapar tidak boleh ditunggu oleh keluarga. Berkat  alasan  bapak jantung dan sangat parah  akhirnya  saya diperbolehkan menunggu. Dengan catatan, tidak boleh keluar dari kamar/ ruangan.  

Dilemalah aku. Pada dasarnya aku ini penakut. Berkat  doa dan keyakinan  aku niatkan diriku untuk ‘siap’ menjaga. Apapun yang terjadi, demi suamiku tercinta.  Hidup mati di tangan Tuhan. Tuhan  kuatkan aku. Yakin. Siap!. Apapun yang terjadi  harus  yakin, Tuhan pasti   mendampingi  saya setiap saat. Malam pertama aku nginap di rumah sakit, satu kamar berdua. Aku tidur di lantai. Sungguh  suasana  yang menyayat  membuat aku tak bisa tidur buku kuduk berdiri. Gelisah terus rasanya. Kubaca doa Orasi,doa rosario,  terus  kudaraskan doa untuk  menghibur diriku. Ketakutan belum juga sirna.

Ku dengar erangan bapak tua yang sakit di sebelah. Benar-benar mencekam. Seluruh pasien di runag ini  terpapar covid-19. Dari bayi hingga  usia lanjut.  Hanya aku saja yang masih kelihatan sehat. Dan aku sendirian yang menjaga orang sakit. Ngeri. Karena badan  panas inggi, bapak terus mengigau. Ujian malan  ini terlalu berat bagiku. Ku dengar  lagi tangisan dan ratapan  melewat jalan di depan kamarku.  Yakin  itu pasti  tangisan duka  yang keluarganya meninggal. Untuk menjemput jenasah. karena  keluarga tak  diperkenankan masuk ruang, mereka menunggu di depan pintu ruang. Berulang-ulang kejadian yang sama,  suara tangisan  yang menyayat hatiku dan tentunya bapak.

Hari terus berjalan dengan  rasa penuh duka lara, hanya  doa yang menguatkan saya.  Sering kuajak  bapak untuk bersama-sama berdoa, supaya ada semangat hidup. Kondisi bapak belum ada perubahan,  karena sesak nafas  sampai dibantu dengan 2 tabung oksigen. Bapak terus mengigau.  Pikiranku kalut tak bisa berbuat banyak. Hanya rasa sesak di dada dan tangisan dalam hati yang selalu ada. Akhirnya bapak di EKG, di rongen juga, tapi aku tak berasi tanya hasilnya bagainya. Perawat cek  gula juga, ternyata  gulanya bapak 193, normalnya  maksimun 150 katanya.  Akhirnya bapak disuntik insulin untuk menstabilkan.

Aku masih dikuatkan di hari ke-5. Bapak selalu ketakutan dan gelisah. Aku menjaganya dengan tidur dilantai. Tapi tak pernah bisa tidur, ikut gelisah. Suasana  dingin sekali. Dipanggilnya aku dan dipegang tanganku, aku tak boleh jauh. “Temani aku terus”, katanya. “Mana Marcel”, tanya-tanya bapak terus. Pandangan bapak  seperti orang asing, kosong. Bapak bilang sakitnya jauh melebihi waktu operasi jantung, bentall procedural.  Deg-degan terus  jantung saya, perasaan mulai tak nyaman. Ku telpon marcel anakku.  Tak nyambung-nyambung  ku bel terus terus terus,  tak nyambung juga. Akhirnya ku telpon aber yang di rumah yang berbeda 1 km jaraknya  untuk  menjembut marcel anakku dan segera datang.

Akhirnya  aber dan Marcel muncul  di jendela. Mereka memang tak boleh masuk, mereka hanya bisa mengintip  lewat jendela melihat keadaan kami. Kusampaikan semua kejadian malam ini padanya,  kuputuskan supaya Pastur memberikan  sakramen minyak  suci atau  sakramen pengurapan orang sakit atas persetujuan bapak.

Sekitar 03.00  dini hari marcel ke pasturan mau telpon tidak sopan. Dia ketuk pintu pasturan tapi   pastinya Pater masih  tisur. Akhirnya  dia menunggu hingga jam 5, Pater Raffi membukakan pintu dan mendoakan kami dengan zoom meet. Pater memberikan semangat, nasehat  dan siraman rohani. Puji Tuhan bapak dikuatkan saat itu. Bapak kelihatan tenang. Syukur puji Tuhan  tak henti-henti kusampaikan kepadaNya.

Sehari berlalu dengan tenang bapak  mau makan. Terus tetap kujaga.  Kami masing-masing berdoa  dalam hati dan terus  berdoa semoga  kuat melewati ujian ini. Chatt teman-teman keluarga, saudara, teman  memberi kekuatan. Trimakasih  Tuhan,  tak henti aku terus mengucapkan syukur.

Kembali Pater Lino mendoakan kami juga dengan zoom meet bersama pak Ande guru agama. Merasa ada pencerahan,  walau bapak belum bisa konsentrasi penuh. Berkat kekuatan doa dan terus berdoa membuat hati tidak takut menghadapi sakrat maut. Tidak rasa  takut  jika Tuhan menjemput.  Dengan begitu  kami ini rasanya  begitu dekat dengan Tuhan, kami merasa akrab merasa damai dan sejuk di hati jika bersama Tuhan

Berkat Doa mujizat datang yang tak pernah terduga.  Hasil PCR  2 kali bapak hasilnya negatif.  Duh Tuhan...rasanya  hati seperti  disiram air sorgawi. Antara menangis, terharu bahagia yang tak terkira. Puji Tuhan, namaMu terus kami puji sepanjang hidup kami. Hasil negatif, artinya bapak sudah tidak  terpapar lagi dan  siap untuk meninggalkan ruangan covid.

Sebenarnya  kami ingin sekali pidah rumah sakit yang berbeda, Di RSUD ini  dikhususkan untuk Rumah sakit covid. Saat dokter Anry memeriksa  bapak akhirnya  saya  bisa sharing dengan beliau dan saya menyampaikan  isi hati kami untuk pindah di rumah sakit lain. Menurut dr Anry, Di Rumah sakit Lindimara  dokter penyakit dalam satu-satunya sekarang terpapar  covid-19. Di RSU Emanuel  peralatan tidak lengkap, bahkan oksigen-pun tidak ada. Sementara bapak sakit jantung dan peralatan  semua ada di RSUD Rara Meha ini. Akhirnya kami putuskan untuk tetap di rumah sakit ini saja.

Sekitar jam 21.00 perawat menjemput kami untuk pindah ruangan ICU. Terlihat wajah bapak yang merasa lega. Termasuk kita semua keluarga yang menemani, bisa 11 orang yang mengantar bapak pindah. Kini bapak sudah di ruangan baru, ruang ICU yang sangat luas, nyaman ditemani perawat  yang ramah-ramah. Duh Tuhanku,  trimakasih..... hati mulai lega dan lapang. Selapang luasnya ruangan ini. Hanya ada 1 pasien juga di ruangan itu.

Kritis sudah terlewati, kini kami menjalani suasana baru. Di ICU punya peraturan yang berbeda. Tidak sembarang orang masuk. Setiap masuk harus pakai baju khusus, Tak boleh lupa cuci tangan sebelum masuk.  Masuk harus  satu persatu di jam yang sudah ditentukan. Jadi kami semua menunggu  di luar, ada memang ruang tunggu yang  sudah disipkan pihak rumah sakit.

Hari Sabtu, 21 Agustus bapak masuk ICU menurut ibu Lisa, salah seorang kepala bagian di Rumah sakit memberitahukan bahwa mulai hari Senin, 23082021 sudah ada dokter spesialis jantung. Tuhan memang baik, Tuhan Maha Baik. Sebenarnya  kami ada rencana setelah bapak membaik pergi ke Sumba barat yang ada dotter jantung, eh ternyata sekarang di Waingapu juga sudah ada.  Padahal anak saya sudah janjian dengan  dokter di sumba barat kalau dalam waktu dekat akan meluncur kesana. Semua Tuhan  sudah atur, trimakasih Tuhan.

Bapak sudah berangsur membaik. Hari ini mulai latihan jalan. Senyum  sudah mulai muncul. Hati mulai tenang, kalau ingat aku justru jadi menangis. Semuanya  berkat Tuhan, berkat doa dan penguatan dari keluarga dan teman yang masih sehat. Ini Tuhan yang mengingatkan. Hidup ini sementara saja. Kita tak pernah tahu kapan Tuhan menjemput kita. Setiap saat kita harus siap. Kita jadi menghargai kesehatan,  lebih dekat dengan Tuhan dan ingat untuk memohon pengampunanNya.

Kumpulkanlah apa yang  menjadi bekalmu  dan kekuatanmu saat ini , sehingga ketika Tuhan datang nanti  kita siap menghadapNya. Kumpulkan kekayaan rohani yang kita miliki, yakni iman, harapan dan kasih. Yakinlah, jika Tuhan datang menjemput  kita sudah siap untuk menyerahkan diri kita kepada Tuhan. Akhirnya  kita akan berbahagia bersamaNya. Dimasa pandemi ini begitu banyak orang yang meninggal baik yang  terpapar maupun yang tidak. Semoga dengan bekal kekayaan rohani yang kita miliki  kita sudah siap, maka teruslah berjaga-jaga. ( renungan pagi P. Ofan CssR, kamis 26082021)

Kini kami masih menjalani Isoman. Sedih rasanya. Merasa tak bebas, terisolir. Makan tak enak, duduk bosan. Tidur pun tak pernah nyenyak. Kerja juga tidak ada gairah. Campur aduk deh.Ya Tuhan, semoga kami baik-baik saja. Semoga kami segera disembuhkan, dipulihkan seperti sedia kala. Agar kami bisa menjalani hidup ceria dan penuh semangat. Kami sudah capek.  

Tapi apapun itu kami tetap bersyukur, masih diberikan nikmat kehidupan. Ini Ujian yang harus dilalui. Harus  bisa lulus. Kami jalani dengan iklas dan pasrah. Yakinlah, Pasti Tuhan akan memberikan yang  terbaik bagi umatnya yang setia. Kami akan terus  berdoa untuk yang ‘terbaik’. Salam Sehat. Semoga Corona  cepat berlalu.

 

#IMarikitaterustaatiprokes5M

(Memakai masker,menjaga jarak, mencucitangan dengan air yang mengalir, menjauhi kerumunan dan mengurangi mobilitas)

 

 

  “ Salam.....Ledwina Eti adalah nama facebook dan IG,  nama lengkap Ledwina Eti Wuryani, SPd. Lahir di Magelang, pada tanggal 14 April Mengajar di SMA Negeri 2 Waingapu. Riwayar sekolah SDK kamal, SMP K Muntilan, SMAK Tarakanita Stella Duce Yogyakarta.  Buku antologi dan solo ber-ISBN yang sudah terbit  adalah Untaian Pelangi Nusantara, Menuai Berkah Bertaut Aksara ,Kidung Rindu, Refleksi dan Resolusi Saat Pandemi, Dermaga Hati dll  . Buku Solo, Kumpulan cerpen “Mengungkap Rahasia”, “Goresan Pena Mengukir Prestasi”, Aku Bangga Jadi Penulis”, Trik Jitu Jadi Penulis masa Kini” Penulis tinggal  di  Jl Trikora RT/RW: 010 / 003 Kel. Hambala, Waingapu, Sumba Timur. NTT PO BOX 87112 surel, ledwinaetiwuryani@gmail.com. ledwinaastiwi44@gru.sma.belajar.id


etiastiwi66.blogspot.com   No HP / WA 085 230 708 285.


 

 

 

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...