Oleh : Ledwina Eti
Orang hebat
bisa melahirkan beberapa karya bermutu, tapi guru yang bermutu dapat melahirkan
ribuan orang-orang
hebat.
(juproni.com)
Jika ditanya mengapa aku
ingin jadi guru? Itu karena terinspirasi bapak kandungku yang paling kuhormati dan
kukagumi. Beliau adalah seorang bapak
yang selalu bersahaja. Hidup tenang
dan selalu jadi panutan dimana saja
berada. Jadi penasehat yang disegani oleh orang-orang di sekitar kami.
Bapak saya adalah seorang guru. Setiap hari
pergi mengajar. Dengan motor tuanya L2S yang selalu menemani. Dia
paling setia untuk tugas-tugas pengabdiannya. Demi untuk mencukupkan kehidupan keluarga, bapak harus mengajar di
beberapa tempat. Yaitu :SPG Van-Lith, STM Pangudiluhur dan SMA K. Pendowo
Muntilan. Setiap pagi harus bawa bekal makan karena bapak pulang sore hari
setiap hari.
Dengan sifat yang bapak miliki: Rendah
hati dan suka mengalah. Kakek dan
nenekku begitu sayang dan bangga dengan profesi bapakku. Setelah kakek
saya meninggal warisan tanah seharusnya dibagi 3, karena ketiga anak kakek adalah laki-laki. Tapi
kenyataannya tidak begitu. Bapak menerima
seberapa saja yang diberikan kakek.
Bapakku adalah anak bungsu dari 3
bersaudara. Kebetulan bapak sendiri yang mau sekolah waktu itu. Kakaknya tidak mau sekolah. Mereka suka dirumah saja membantu orang tua kerja
sawah. Kakek dan nenekku adalah petani tulen.
Berkat kerja keras dan tekun
belajar maka bapak lulus kuliah, dan akhirnya jadi guru. Bahkan sebagai bukti
ijazah bapak saat masih SGB ( Sekolah Guru Bawah) masih ada dan beberapa nilainya 10.
Kami sungguh terkesan.
Saat itu “sang Guru” masih sering dilihat dengan sebelah
mata. Jaman pak Umar Bakri. Guru tua, naik sepeda ontel, hidup sangat sederhana
karena gaji yang diterima tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Akhirnya
harus cari pekerjaan lain. Itulah guru
saat itu. Tapi jasa guru tak pernah
diragukan. Jasanya terlalu besar karena gurulah yang bisa mengantarkan
anak-anak untuk meraih cita-citanya. Maka saat itu guru dijuluki ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Saya masih
ingat lagu guru yang selalu didengungkan diradio-radio dan di TV saat itu ,
bunyinya begini:
Kita jadi pandai karena pak guru.
Kita jadi pintar karena bu guru,
Gurulah pelita, penerang dalam gulita
Jasamu tiada tara.
Saya anak pertama dari empat
bersaudara. Hanya saya saja yang jadi guru. Adik-adik semua
Sarjana Teknik almamater UGM dan Univ. Atmajaya. Saya ingin jadi guru karena guru pasti
akan selalu dibutuhkan. Mudah cari kerja dan pasti laku di sekolah untuk
mengajar. Guru akan dihormati dan
dihargai. Guru bisa melatih, mendidik,
mengajar peserta didik. Seolah ada
kebanggaan tersendiri di sanubari dan di hati yang tak bisa diungkapkan. Mudah
dirasakan tapi susah dikatakan. Begitulah. Bangga bisa menjadi orang yang
bermanfaat untuk ikut mencerdaskan anak bangsa.
Hal itulah yang membuat saya selalu
mengagumi bapak. Banyak nasehat-nasehat yang selalu kami dengar dari bapak yang
seorang ‘guru’. Serasa Indah dan
menyejukkan hati. Dengan begitu akhirnya saya begitu tertarik menjadi guru.
Lulus
SMA saya langsung daftar di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Sanata Dharma Yogyakarta. Saya ambil FPMIPA
jurusan matematika. Tanpa menunggu lama, setelah lulus kuliah saya
langsung bisa mendapatkan SK CPNS dan ditempatkan di daerah konflik
Timor-Timur. Saat itu, tahun 1990 Tim
tim masih ‘agak’ genting. Tapi namanya abdi negara, harus rela ditempatkan
dimana saja, di seluruh pelosok Nusantara. SK pertama kami mengajar di SMA
Negeri Maliana Bobonaro . Sebuah kota kecil di Tim Tim. Saat itu baru
satu-satunya SMA di kabupaten itu. Semua
adalah guru pendatang dari seluruh
Indonesia. Ada yang dari batak,
sulawesi, kalimantan, Jawa dan lain-lain. Yang
jelas seru deh saat itu bisa
berteman dan akrap dengan mereka. Serasa
senasib sepenanggungan.
Bukan
kebetulan, SK saya datang bersamaan dengan bapak kandung saya di Timor Timur.
Di sekolah yang sama pula. SMA Negeri Maliana, Bononaro , Timor Timur. Saya sebagai guru biasa dan bapak sebagai
kepala sekolah. Selama bapak kandung jadi kepala sekolah, saya tak pernah punya
tugas tambahan. Bahkan jadi wali kelas saja tidak. Jadi saya pribadi tak ada kemajuan,
seolah tak kompeten. Seolah bapak tidak mempercayai kemampuan anaknya, hehe…Di Maliana
tiga tahun lamanya.
Seiring berjalannya waktu bapakku (HR. Sudayat)
dimutasikan di kota provinsi menjadi kepala sekolah di SMA Negeri 1 Dili
Timur-Timur. Suamiku juga adalah seorang guru. Dia orang NTT, karena belum
juga lulus PNS di tempat kelahirannya, akhirnya
ikut serta bergabung dengan kami di Tim Tim. Sekali tes
CPNS langsung Lulus. Dia
ditempatkan di SMKK Negeri 1 Dili Timor Timur.
Kami bertiga berprofesi guru. Saat
itu saya masih di Maliana, setelah suami PNS
saya mengajukan permintaan untuk mutasi di Dili. Benar, akhirnya saya dimutasikam di SMA
Negeri 3 Dili Timor Timur. Sebagai guru bersyukur saya diberi kesempatan untuk
mengajar PGSD menjadi Tutor. Selain itu saya juga diminta untuk menatar di BPG ( Balai Penataran Guru )
bahkan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan Widyaiswara tingkat nasional
di P4TK Yogyakarta 2 kali.
Sebuah kebanggaan bagi saya, karena
tidak semua guru mendapatkan kesempatan itu. Itu berkat, menjadi fasilitator di
BPG, nota bene punya tambahan
penghasilan. Puji Tuhan. Dengan begitu saya bisa membangun rumah untuk tinggal.
Hari demi hari kita lalui dengan penuh syukur, sebagai keluarga baru kami
menikmati seluruh anugerah yang sudah Tuhan berikan padaku. Kami menyadari Kabahagiaan
tidaklah muncul dari harta yang
melimpah, tapi muncul dari kebiasaan
hidup yang wajar dan normal.
Kebahagiaan tidak
berjalan lama. Suasana Timor Timur semakin mencekam.
Pemberontakan terjadi dimana-mana. Beruntung saat itukedua anak saya sudah saya
titipkan di Jawa bersama Eyangnya.
Suasana Timor Timur bukannya
semakin membaik tapi akhirnya……Timor Timur
merdeka! Kami Warga Indonesia harus
‘dipulangkan’.
Korban berjatuhan. Suasana panik. Saya pun harus meninggalkan Tim Tim dengan
segera. Harta benda yang ada kita tinggalkan semua.
Tahun 2000 SK pun turun di SMA Negeri
2 Waingapu, Sumba Timur, NTT. Kami merangkak dari ‘nol’.
Penuh keprihatinan. Penuh perjuangan. Kini di tempat baru
rumahpun masih ‘numpang’ di kakaknya
suami. Bersyukur kami punya SK PNS. Gaji kami tak berkendala.
Hari-hari kami
jalani dengan penuh syukur. Kita berusaha untuk selalu bahagia atas nikmat
Tuhan. Kita lupakan yang sudah berlalu, kita
membangun semangat yang baru di tempat yang baru. Trimakasih Tuhan kami
masih diberikan nafas dan kehidupan.
Kami tak pernah menyesali yang sudah terjadi. Harta bisa dicari. Itu
hanya ‘titipan’ dariNya.
Waktu terus
berjalan tak terasa kini saya meninggalkan
Timor-Timur sudah 22 tahun. Jika tak kami tulis disini berarti keluarga tak pernah tahu kalau kami
adalah korban konflik bencana. Sebagai guru, kami akan setia terus mengabdi hingga pension nanti. Aku tetap bangga dengan profesiku. Di bulan April tahun 2026 tugas sebagai guru
selesai. Empat tahun tak lama. Semoga Tuhan memberikan umur yang panjang.
Semoga di masa pensiun nanti masih bisa
berkarya dan bermanfaat bagi sesama. Amin.
#Pembelajar sejati,
Longlifeeducation, Rela terus belajar mengeluarkan tenaga, pikiran,
mengeluarkan anggaran untuk membeli fasilitas/sarana yang diperlukan. Misal
Komputer, HP, Printer, data yang memadai.
Jadilah
pensil yang bisa menuliskan cerita bahagia. Jadilah penghapus yang bisa
menghilangkan kisah sedih.
Jika kamu hanya
membaca buku orang lain, kamu hanya memiliki apa yang orang lain pikirkan.
Maka, tulislah kisahmu dalam buku,
agar orang lain tahu ceritamu. Buku adalah sahabat paling setia. Dia rela
mendampingi sepanjang waktumu. Dimanapun kamu berada.
Salam literasi... Penulis bernama Ledwina Eti Wuryani, Asli Magelang Jawa Tengah yang tinggal dirantauan sejak tiga puluh
tahun yang lalu. Lulusan IKIP Sanata Dharma tahun 1989. Seorang ibu dengan 2 putra ( Marcel dan Anto), ibu
rumah tangga dari suami Drs Adi Ch.
Muhu, mantan korwas Sumba Timur. Penulis adalah guru di SMA Negeri 2 Waingapu Sumba Timur,
NTT. Pernah juara 2 gupres tingkat UPTD wilayah 10
NTT. Pernah jadi Tutor PGSD , penatar
(Widyaiswara) di BPG Timor-Timur. Sudah banyak artikel ditulis oleh penulis dan yang ditulis di
berbagai media masa ,lokal ada juga
yang propinsi NTT. Sudah 50-an buku solo dan Antologi sejak ada
wabah Pandemi corona Maret 2020. Tulisan antologi ada cerpen, puisi, story telling, Cerita tentang Belajar dari
rumah ( PJJ) dan lain-lain. Penulis bisa dihubungi melalui email ledwinaetiwuryai@gmail.com , ledwinaastiwi44@guru.sma.belajar.id
, fb, IG dan You tube : Ledwina Eti dan blog
etiastiwi66.blogspot.com HP WA 085 230 708 285
Tidak ada komentar:
Posting Komentar