Kamis, 11 Agustus 2022

GURU PROFESIKU, SEKOLAH LADANG AMALKU

 


Oleh : Ledwina Eti

 

Orang hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu, tapi guru yang bermutu dapat melahirkan ribuan orang-orang hebat.  (juproni.com)

 

               

Jika ditanya mengapa aku  ingin jadi guru?  Itu karena terinspirasi  bapak kandungku yang paling kuhormati dan kukagumi.  Beliau adalah seorang bapak yang  selalu bersahaja. Hidup tenang dan  selalu jadi panutan dimana saja berada. Jadi penasehat yang disegani oleh orang-orang di sekitar kami.

Bapak saya adalah seorang guru. Setiap  hari  pergi mengajar.  Dengan  motor tuanya L2S yang selalu menemani. Dia paling setia untuk tugas-tugas pengabdiannya. Demi untuk mencukupkan  kehidupan keluarga, bapak harus mengajar di beberapa tempat. Yaitu :SPG Van-Lith, STM Pangudiluhur dan SMA K. Pendowo Muntilan. Setiap pagi harus bawa bekal makan karena bapak pulang sore hari setiap hari.  

Dengan sifat yang bapak miliki: Rendah hati dan suka mengalah.  Kakek dan nenekku  begitu sayang  dan bangga dengan profesi bapakku. Setelah kakek saya meninggal warisan tanah seharusnya dibagi 3, karena  ketiga anak kakek adalah laki-laki. Tapi kenyataannya tidak begitu. Bapak menerima  seberapa saja yang diberikan kakek.

Bapakku adalah anak bungsu dari 3 bersaudara. Kebetulan bapak sendiri yang mau sekolah waktu itu.  Kakaknya tidak mau sekolah. Mereka  suka dirumah saja membantu orang tua kerja sawah. Kakek dan nenekku adalah petani tulen.  Berkat  kerja keras dan tekun belajar maka bapak lulus kuliah, dan akhirnya jadi guru. Bahkan sebagai bukti ijazah bapak saat masih SGB ( Sekolah Guru Bawah) masih ada dan beberapa  nilainya 10.  Kami sungguh terkesan.

Saat itu “sang Guru” masih sering dilihat dengan sebelah mata. Jaman pak Umar Bakri. Guru tua, naik sepeda ontel, hidup sangat sederhana karena gaji yang diterima tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Akhirnya harus cari pekerjaan lain.  Itulah guru saat itu. Tapi jasa guru tak pernah  diragukan. Jasanya terlalu besar karena gurulah yang bisa mengantarkan anak-anak untuk meraih cita-citanya. Maka saat itu guru  dijuluki ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Saya masih ingat lagu guru yang selalu didengungkan diradio-radio dan di TV saat itu , bunyinya begini:

Kita jadi pandai karena pak guru.

Kita jadi pintar karena bu guru, 

Gurulah pelita, penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara.

 

 

              Saya anak pertama dari empat bersaudara. Hanya saya saja yang jadi guru. Adik-adik  semua  Sarjana Teknik almamater UGM dan  Univ. Atmajaya.  Saya ingin jadi guru karena  guru pasti  akan selalu dibutuhkan. Mudah cari kerja dan pasti laku di sekolah untuk mengajar.  Guru akan dihormati dan dihargai.  Guru bisa melatih, mendidik, mengajar  peserta didik. Seolah ada kebanggaan tersendiri di sanubari dan di hati yang tak bisa diungkapkan. Mudah dirasakan tapi susah dikatakan. Begitulah. Bangga bisa menjadi orang yang bermanfaat untuk ikut mencerdaskan anak bangsa.

 

Hal itulah yang membuat saya selalu mengagumi bapak. Banyak nasehat-nasehat yang selalu kami dengar dari bapak yang seorang ‘guru’.  Serasa Indah dan menyejukkan hati. Dengan begitu akhirnya saya begitu tertarik  menjadi guru.

              Lulus SMA saya langsung daftar di IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan)  Sanata Dharma Yogyakarta. Saya ambil  FPMIPA  jurusan matematika. Tanpa menunggu lama, setelah lulus kuliah saya langsung bisa mendapatkan SK CPNS dan ditempatkan di daerah konflik Timor-Timur.  Saat itu, tahun 1990 Tim tim masih ‘agak’ genting. Tapi namanya abdi negara, harus rela ditempatkan dimana saja, di seluruh pelosok Nusantara. SK pertama kami mengajar di SMA Negeri Maliana Bobonaro . Sebuah kota kecil di Tim Tim. Saat itu baru satu-satunya SMA di kabupaten itu.  Semua adalah guru pendatang dari seluruh  Indonesia.  Ada yang dari batak, sulawesi, kalimantan, Jawa dan lain-lain. Yang  jelas seru deh saat itu  bisa berteman dan akrap dengan mereka.  Serasa senasib sepenanggungan.

              Bukan kebetulan, SK saya datang bersamaan dengan bapak kandung saya di Timor Timur. Di sekolah yang sama pula. SMA Negeri Maliana, Bononaro , Timor Timur.  Saya sebagai guru biasa dan bapak sebagai kepala sekolah. Selama bapak kandung jadi kepala sekolah, saya tak pernah punya tugas tambahan. Bahkan jadi wali kelas saja tidak. Jadi saya pribadi tak ada kemajuan, seolah tak kompeten. Seolah bapak tidak mempercayai kemampuan anaknya, hehe…Di Maliana tiga tahun lamanya.

Seiring berjalannya waktu bapakku (HR. Sudayat) dimutasikan di kota provinsi menjadi kepala sekolah di SMA Negeri 1 Dili Timur-Timur. Suamiku juga  adalah  seorang guru. Dia orang NTT, karena belum juga lulus PNS di tempat kelahirannya, akhirnya  ikut serta bergabung dengan kami di Tim Tim.  Sekali tes  CPNS langsung Lulus.  Dia ditempatkan di SMKK Negeri 1 Dili Timor Timur.

Kami bertiga berprofesi guru. Saat itu saya masih di Maliana, setelah suami PNS  saya mengajukan permintaan untuk  mutasi di Dili.  Benar, akhirnya saya dimutasikam di SMA Negeri 3 Dili Timor Timur. Sebagai guru bersyukur saya diberi kesempatan untuk mengajar PGSD  menjadi Tutor.  Selain itu saya juga diminta untuk  menatar di BPG ( Balai Penataran Guru ) bahkan diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan Widyaiswara tingkat nasional di P4TK Yogyakarta 2 kali.

Sebuah kebanggaan bagi saya, karena tidak semua guru mendapatkan kesempatan itu. Itu berkat, menjadi fasilitator di BPG,  nota bene punya tambahan penghasilan. Puji Tuhan. Dengan begitu saya bisa membangun rumah untuk tinggal. Hari demi hari kita lalui dengan penuh syukur, sebagai keluarga baru kami menikmati seluruh anugerah yang sudah Tuhan berikan padaku. Kami menyadari Kabahagiaan tidaklah muncul  dari harta yang melimpah, tapi muncul dari kebiasaan  hidup yang wajar dan normal.

Kebahagiaan tidak berjalan lama. Suasana Timor Timur semakin mencekam. Pemberontakan terjadi dimana-mana. Beruntung saat itukedua anak saya sudah saya titipkan di Jawa bersama Eyangnya.  Suasana Timor Timur  bukannya semakin membaik tapi  akhirnya……Timor Timur merdeka!  Kami Warga Indonesia harus ‘dipulangkan. Korban berjatuhan. Suasana panik. Saya pun harus meninggalkan Tim Tim dengan segera. Harta benda yang ada kita tinggalkan semua.

Tahun 2000 SK pun turun di SMA Negeri 2 Waingapu, Sumba Timur, NTT. Kami merangkak  dari ‘nol’. Penuh keprihatinan. Penuh perjuangan. Kini  di tempat baru rumahpun  masih ‘numpang’ di kakaknya suami. Bersyukur kami punya SK PNS. Gaji kami tak berkendala.

Hari-hari kami jalani dengan penuh syukur. Kita berusaha untuk selalu bahagia atas nikmat Tuhan. Kita lupakan yang sudah berlalu, kita  membangun semangat yang baru di tempat yang baru. Trimakasih Tuhan kami masih diberikan nafas dan kehidupan.  Kami tak pernah menyesali yang sudah terjadi. Harta bisa dicari. Itu hanya ‘titipan’ dariNya.

Waktu terus berjalan tak terasa kini saya  meninggalkan Timor-Timur sudah 22 tahun. Jika tak kami tulis disini berarti  keluarga tak pernah tahu kalau kami adalah  korban konflik bencana. Sebagai guru, kami akan setia terus mengabdi hingga pension nanti. Aku tetap bangga dengan profesiku. Di  bulan April tahun 2026 tugas sebagai guru selesai. Empat tahun tak lama. Semoga Tuhan memberikan umur yang panjang.  Semoga di masa pensiun nanti masih bisa berkarya dan  bermanfaat bagi sesama. Amin.

 

#Pembelajar  sejati,

Longlifeeducation, Rela  terus belajar mengeluarkan tenaga, pikiran, mengeluarkan anggaran untuk membeli fasilitas/sarana yang diperlukan. Misal Komputer, HP, Printer, data yang memadai.

Jadilah pensil yang bisa menuliskan cerita bahagia. Jadilah penghapus yang bisa menghilangkan  kisah sedih.

Jika kamu hanya membaca buku orang lain, kamu hanya memiliki apa yang orang lain pikirkan.

Maka, tulislah kisahmu dalam buku, agar orang lain tahu ceritamu. Buku adalah sahabat paling setia. Dia rela mendampingi sepanjang waktumu. Dimanapun kamu berada.

 

 

Salam literasi...      Penulis bernama Ledwina Eti Wuryani, Asli Magelang Jawa Tengah  yang tinggal dirantauan sejak tiga puluh tahun yang lalu.  Lulusan  IKIP Sanata Dharma tahun 1989.  Seorang ibu dengan 2 putra ( Marcel dan Anto), ibu rumah tangga dari suami Drs Adi Ch. Muhu, mantan korwas Sumba Timur.  Penulis adalah guru di SMA Negeri 2 Waingapu Sumba Timur, NTT. Pernah  juara 2 gupres tingkat UPTD wilayah 10 NTT.  Pernah jadi Tutor PGSD , penatar (Widyaiswara)  di BPG Timor-Timur. Sudah  banyak artikel  ditulis oleh penulis dan yang ditulis di berbagai media masa  ,lokal ada juga yang  propinsi NTT.  Sudah 50-an  buku solo dan  Antologi sejak  ada  wabah Pandemi corona Maret 2020. Tulisan antologi ada cerpen, puisi,  story telling, Cerita tentang Belajar dari rumah ( PJJ)  dan lain-lain.  Penulis bisa dihubungi melalui email ledwinaetiwuryai@gmail.com , ledwinaastiwi44@guru.sma.belajar.id , fb, IG dan You tube :  Ledwina Eti  dan blog  etiastiwi66.blogspot.com  HP WA 085 230 708 285

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menulis untuk Menyiapkan Generasi Literasi Masa Depan

   RUANGMENULIS    4 SEPTEMBER 2022  3 MIN READ   Oleh: Eli Halimah “ The youth today are the leader tomorrow” Ungkapan di atas artinya, “Pe...